Minggu, 07 Desember 2014

makalah pertama ahmad fauzi


RELASI GENDER DALAM AGAMA BUDHA

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Relasi Gender Dalam Agama-agama
Dosen : Siti Nadroh, M.Ag
  








 Oleh :

Ahmad Fauzi
 (1112032100055)


JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014






A.      Pendahuluan
      Bias gender di zaman ini masih terlihat kental. Para tokoh-tokoh feminis terus mengkaji penyebab terjadinya bias gender. Ada yang menyimpulkan bahwa bias gender terjadi karena dilegitimasi oleh agama. Wanita-wanita yang selalu menjadi korbannya, mulai dari diharamkannya jadi pemimpin, dikucilkan peran dan prestasinya, bahkan tidak dianggap sama sekali. Kasus yang terjadi dengan malala seorang wanita berasal dari Afganistan yang menjadi korban dari ekstrimis Taliban. Taliban berpendapat bahwa wanita tidak boleh mengenyam pendidikan, kodratnya ialah hanya mengatur rumah tangga dan mengurus suami. Tapi Malala tidak setuju, dia terus memperjuangkan pendidikan walaupun resikonya besar. Dia terkena tembakan oleh pasukan Taliban di bagian wajahnya, untung dia hanya mengenai angin dari peluru tersebut dan peluru tersebut meleset mengenai dia sehingga nyawanya dapat terselamatkan. Kasus lain terjadi di abad pertengahan, ketika kepemimpinan didominasi oleh Gereja, banyaka wanita yang dibakar hidup-hidup hanya karena dianggap penyihir. Kita ketahui bahwa pada abad pertengahan Eropa masih sangatlah primitif, masih percaya dengan tahayul dan mistis, sehingga rasionalitaspun dikebelakangkan.
      Inilah problem yang dialami wanita yang haknya dimarjinalkan. Mereka mengalami ini atas nama agama, yang mana agama bisa menjadi motif untuk menjadikan wanita hanya perlengkapan laki-laki. Para feminis berusaha untuk menafsirkan ulang ayat-ayat yang bias gender. Sehingga, hak-hak wanita setara dengan laki-laki. Seharusnya agama bisa menjadi suatu pemersatu antara umat manusia, karena Tuhan menciptakan manusia dengan hak dan status yang sama. Manusia tidak dijadikan Tuhan berbeda karena jenis kelamin. Tetapi yang membuat berbeda ialah bagaimana seseorang itu bisa berbuat baik dengan sesame, tidak berbuat jahat, dan selalu menebar kedamaian.
      Dalam makalah ini kami bermaksud akan membahas gender dalam agama Buddha beserta peran-perannya. Kita sudah ketahui bahwa Buddha seorang laki-laki, lalu bagaimana peran perempuan dalam agama ini, apakah bias gender atau tidak? Lalu bagaimanakah posisi perempuan di dalam agama Buddha itu sendiri? Mari kita bahas satu persatu.
B.   Status Perempuan Dalam Ajaran Agama Buddha
      Dalam agama Buddha, konsep keadilan gender secara tersirat terdapat dalam kitab Tripitaka. Didalam Sigalavada Sutta, Sang  Gotama telah memaparkan patokan bagi umat Buddha untuk melaksanakan pergaulan dengan umat manusia yang berbeda kelompok, kedudukan dan perannya[1]. Menurut agama Budha, karakteristik semua manusia adalah sama, baik ketika lahir dan selama masih hidup mereka. Umat manusia hadir dalam dua gender dan kedua gender sama-sama manusia. Pesan yang Budha umumkan secara universal berlaku dan bermanfaat bagi umat manusia secara keseluruhan[2].
      Kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan. Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya, salah satu keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orang tuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
      Buddha menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi (konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau seksisme dalam ‘ajaran Buddha yang fundamental dan universal.
Setelah Buddha meninggal timbul pandangan bahwa kelahiran sebagai perempuan lebih rendah karena karma buruk telah hilang sebelumnya. Jadi ada anggapan bahwa sampai saat ini kelahiran sebagai perempuan sebagai karma buruk masa lampau dibanding kelahiran sebagai laki-laki. Dikitab Jataka Pali (cerita kehidupan Buddha Gotama saat menjadi Bhodisatwa) Bhodisatwa tidak pernah terlahir sebagai perempuan, padahal sebagai hewan ada dalam cerita tersebut[3]
      Anggapan dilahirkan sebagai perempuan lebih rendah mungkin karena desakan kaum Brahmanisme pada saat itu semakin kuat (sekitar abad ke-3 sM). Apalagi ditambah dengan anggapan bahwa Buddha haruslah seorang laki-laki sehingga saat ini masih ada sebagian kecil umat Buddha yang menganggap kelahiran sebagai wanita adalah lebih rendah, padahal perempuan juga bisa mencapai nirwana atau setara dengan Buddha.
      Pendapat lain adalah Setelah Buddha mangkat (Parinibbana), status perempuan mengalami kemerosotan lagi. Perkembangan Buddhisme belakangan, terutama sejak munculnya sekte-sekte, telah melahirkan pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan yang bertentangan dengan semangat ajaran Buddha yang egaliter. Sifat non-egaliter dalam agama Buddha muncul karena pengaruh Hindu dan Konfusianisme, serta kepercayaan-kepercayaan lokal yang patrtiarkis.
      Diskriminasi selanjutnya adalah terhadap Bhikuni, yaitu hilangnya hak perempuan untuk ditahbiskan menjadi bikhuni[4]. Dikatakan sejak awal kemunculan Sangha perempuan, Sangha Bhiku akan berkurang umurnya (menjadi setengahnya dari 1000 tahun menjadi 500 tahun). Namun kenyataannya Sangha Mahayana hingga saat ini mempunyai Bhikuni tetap dan bahkan salah satu Bhikuninya amat dihormati[5].
      Dikatakan juga Buddha menolak tiga kali permintaan ibu tirinya untuk menjadi bikkhuni. Mungkin pada kasus ini, ibu tirinya adalah seorang ratu sehingga jika Buddha menerimanya, akan terjadi ketidakstabilan politik kerajaan dan Sangha Bhikkhu akan mengalami masalah. Buddha adalah orang yang sangat bijaksana sehingga beliau berhati-hati ketika mengambil keputusan.Atau mungkin saja cerita penolakan tersebut belakangan timbul untuk maksud tertentu.
      Selanjutnya adalah delapan garu dhamma atau delapan aturan keras yang dua diantaranya disebutkan sebelumnya. Ini terkesan sangat merugikan bikkhuni. Pertanyaannya adalah mengapa bhikkhuni tidak boleh menasehati bhikkhu? apakah kebijaksanaan bhikkhuni/perempuan lebih rendah dari bhikkhu/laki-laki? Tentunya kita semua sudah sangat jelas mengenai ajaran Buddha di mana kebijaksanaan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelaminnya. Jadi mengapa peraturan itu ada? Temuan terkini mulai meragukan sumber peraturan tersebut apakah memang dari Buddha Gotama sendiri atau dibuat belakangan.
      Memang terjadi bias gender dalam penahbisan seorang Bhikuni dengan seorang Bhiku, jika seorang yang hendak menjadi Bhiku itu hanya ditahbis satu kali oleh Budha, sedangkan seorang yang hendak Menjadi Bhikuni Harus ditahbis dua kali, yakni yang pertama oleh Bhikuni sedangkan yang kedua harus ditahbis pula oleh Bhiku, barulah seorang perempuan resmi menjadi seorang Bhikuni[6].
      Setelah kematian Buddha, ucapan-ucapan beliau belum ditulis. Hanya diturunkan melalui ucapan-ucapan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sehingga memungkinkan adanya penafsiran-penafsiran atau tambahan-tambahan di dalam kitab suci Tripitaka. Tripitaka Pali (Therawada) ditulis 4 abad setelah kematian Buddha sehingga ada kemungkinan tidak sama persis seperti yang Buddha katakan. Begitu pula Tripitaka Cina (Mahayana) dan sutra-sutra tambahan dibuat beberapa abad setelah kematian Buddha. Namun demikian, bagi umat Buddha hal tersebut tidak menjadi masalah karena ajaran Buddha perlu dilaksanakan untuk dibuktikan bukan menerima mentah-mentah isi kitab suci. Saatnya kita mulai berpikir lebih kritis dan memandang biksuni sama ketika kita memandang biksu. Penghormatan seseorang terhadap biksuni juga harus sama dengan penghormatannya terhadap biksu[7].
      Cerita penolakan Buddha sebanyak 3 kali terhadap ibu tirinya yang ingin ditahbiskan menjadi bikkhuni. Akhirnya Buddha menerima bhikkhuni dengan syarat 8 garu dhamma.
      Delapan garu dhamma atau delapan aturan keras bagi bhikkhuni, diantaranya adalah:
a. Seorang bukhuni, bahkan yang sudah tahbis 100 tahun, harus menyapa dengan sopan, berdiri pada saat kehadiran, membungkuk, dan melakukan tugas-tugasnya seorang bhikkhu yang baru di tahbis sehari.
b. Seorang bhikhuni tidak boleh melaksanakan masa vassa-nya di daerah yang tidak ada bhikkhunya.
c. Setiap dua minggu, seorang bhikhuni yang mengnunggu dua hal dari bhikhuni sangha; tanggal upacara aposattha dan waktu para bhikkhu untuk memberi ajaran.
d. Selesai masa vassa para bhikhuni melakukan pavarana(memohon nasihat tentang apakah kesalahan yang telah di perbuat kepada kedua sangha, sangha bhikhu dan sangha bhikhuni, dalam hubungannya dengan apa yang dilihat, didengar, dan apa yang dicurugai.
e. Seorang bhikhuni yang melanggar pelanggaran serius harus menjalani hukuman dihadapan kedua sangha (sanhgha bhikhuni dan sangha bhikhu[8].
f. Ketika seorang samaneri telah berlatih melakukan 6 sila (5 sila yang pertama ditambah sila yang mengatur makan sekali dalam sehari sebelum makan siang) selama dua tahun , bhikkhuni gtersebut dapat diminta pentahbisan dari kedua sangha.
g. Seorang bhikhuni tidak boleh menghina atau melecehkan seorang bhikhu dalam kesempatan apapun.
h. Seorang bhikhuni tidak diperbolehkan untuk menasehati seorang bhikhu, seorang bhikhu boleh menasehati seorang bhikhuni.
      Dalam teks Therawada sendiri (Tripitaka Pali) dikatakan bahwa Buddha adalah orang yang tercerahkan yang mencapai nibbana (nirwana), yaitu terbebas dari keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan ketidaktahuan/kebodohan batin (moha). Bahkan di Tripitaka Pali banyak disebutkan bahwa perempuan juga bisa mencapai pencerahan. Jadi sangat tidak masuk akal jika dikatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi Buddha. Pemikiran inilah yang kemudian berkembang di dalam pemikiran buddhisme tradisi Mahayana sehingga ada konsep Buddha wanita[9].
      Pada tahun 1993, Rita Gross mengkritik Delapan peraturan Khusus atau Guru Dhama didalam bukunya, Buddhism After Patriarchy. Di Asia juga sudah ada keluhan-keluhan yang menentang Delapam Peraturan Khusus belakangan ini. Contohnya BHiksuni Taiwan Y. M Zhouhui memimpin sebuah gerakan untuk menghapuskan Delapan Peraturan Khusus pada tahun 2001 sementara BHiksuni Srilanka menentang keras keabsahan Delapan Peraturan Khusus di tahun 1999[10].
C. Status Perempuan Dalam Aliran Budha Teravada
      Budha menginginkan kaum perempuan terbebas dari penderitaan, jangan menyerah terhadap naluri mereka yang melemahkan, beliau menciptakan kondisi bagi kaum perempuan untuk masuk ke jalur kebijaksanaan dan setuju bahwa perempuan mampu untuk mencapai tingkat arahat. Dalam winaya pitaka menjabarkan tentang disiplin bagi para bhiksuni dan institusi pada masa itu.
      Semua teks pali ini merupakan sumber untuk memahami hakikat perempuan dalam tradisi theravada, jelas bahwa pada jaman Budha, ada banyak kasus perempuan dari berbagai golongan masyarakat yang menjdi bikhuni dan jelas beberapa dari mereka meraih tingkatan arahat.
      Akan tetapi pada abad kekinian, tradisi teravada yang dianut di Srilanka, Thailand, Laos, Kamboja, Myanmar. Tidak lagi punya Bhiksuni maka dari itu aliran tervada di Negara-negara tersebut dipandang sempit dan jelas bertentangan dengan ajaran-ajaran Budha. walaupun sangha Bhiksuni ada di zaman Budha dan sila Bhiksuni termasuk di dalam Winaya dari kitab Pali. Menurut perspektif kontemporer, lenyapnya bhiksuni ari Sangha di negara-negara Tervada menunjukan ketiadaan dan keterbatasan perkembangan ajaran –ajaran Budha.
D. Status Perempuan Dalam Tradisi Mahayana
      Dalam naskah Budhis Mahayana banyak ditemukan contoh-contoh perempuan yang dilukiskan sebagai Bhodisatwa yang maju yang mampu mencapai pencerahan. Kita juga menemukan beberapa ketidak jelasan antara Bhiksuni dan wanita Budha awam. Beberapa kisah yang terkenal dalam Sutra Sadharmapundarika, Sutra Wirmalakirtinirdesa, Sutra Astasahasrika Prajnaparamita, dan Sutra Sirmalasimhanada menggambarkan umat awam wanita, kadangkala bahkan anak-anak perempuan berusia delapan tahun, yang menguasai doktrin yang mendalam terlibat dalam praktik Bhodisatwa.
E. Perbedaan Status Perempuan Dalam Tradisi Theravada Dan Mahayana
      Sudut pandang tradisi Mahayana mengenai umat manusia sangat berbeda dari Theravada. Sementara tujuan spiritual Theravada adalah menjadi seorang Arahat, dalam Mahayana tujuannya menjadi seorang Bodhisatwa dan akhirnya menjadi seorang Buddha. Mahayana berarti kendaraan besar, berlawanan dengan Theravada yang berarti kendaraan kecil[11]. Gagasan bahwa kendaraan Mahayana itu cukup besar untuk mengankut semua makhluk mencapai keselamatan, sementara kendaraan kecil Hinayana hanya bisa mengangkut sedikit saja. Sekarang tradisi Mahayana hanya bisa mengangkut sedikit saja. Sekarang tradisi Mahayana berpandangan lebih liberal dan modern mengenai umat manusia, membuatnya memiliki sudut pandnag yang lebih tepat demi kemajuan dalam masyarakat. Oleh karena itu, aliran Mahayana menyebar dengan pesat. Salah satu contohnya adalah banyaknya biksuni seperti di Negara Cina, Taiwan, Korea, dan Vietnam.
      Sekarang ini, tradisi Hinayana dianut di Sri Lanka, Thailand, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Namun tradisi-tradisi ini tidak lagi punya biksuni. Karena itu, tradisi Hinayana dipandang sempit dan jelas bertentangan dengan ajaran-ajaran Buddha. Walaupun sangha biksuni ada di zaman Buddha dan sila biksuni termasuk di dalam bagian Winaya dari kitab Pali, sedikit sekali dukungan untuk mendirikan kembali sangha biksuni di Negara-negara Hinayana sekarang. Dari naskah Winaya, jelas bahwa sejak zaman Buddha hingga sangha biksuni lenyap, Hinayana dan aliran-aliran yang terkait mempunyai sangha biksuni. Menurut perspektif kontemporer, lenyapnya biksuni dari sangha di Negara-negara Hinayana menunjukan ketiadaan dan keterbatasan perkembangan ajaran-ajaran Buddha.
      Sekarang ini, kemajuan sosial menuntut kesetaraan gender. Ajaran-ajaran Buddhis juga berkaitan dengan pentingnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Agar lebih efektif di dunia modern, tradisi Hinayana akan berjalan baik dengan membuka pintu-pintunya dan menerima penahbisan biksuni, daripada hanya mengizinkan para biarawati mengambil delapan atau sepuluh sila dasar bagi pemeluk agama Buddha.
F.       Sejarah Munculnya Kerahiban Perempuan
      Sejarah munculnya kerahiban dalam agama Buddha tak bisa terlepas dari ibunda Sidarta Gautmana, yaitu Prapajati Gautami. Lebih dari 2.500 tahun yang lalu Buddha telah memberikan kedudukan sama bagi wanita dalam pengabdiannya. Pada jaman Buddha organisasi Buddha di dunia didirikan oleh Buddha, ialah Sangha Bhikkuni, organisasi para rohaniwati wanita yang telah meninggalkan hidup keduniawian dan mengabdikan hidupnya untuk menyebarkan Dharma dan kebajikan. Masa itu wanita masih dianggap rendah dan kedudukan rohaniawan merupakan titian usaha manusia yang tinggi. Maka usaha Maha Prajapati Gautami, ibu asuh Sidarta Gautama bersama 500 wanita yang menghadap Buddha, bermohon untuk ditahbiskan menjadi Bhikkuni merupakan perjuangan wanita yang gigih.
      Sesudah Sidarta menjadi Buddha, banyak bangsawan mengikuti jejak kesucian menjadi Bhikku. Sesudah Buddha berkotbah kepada 500 putri bangsawan ditepi sungai Rohini, para putri bangsawan tersebut ingin ditahbiskan menjadi anggota Sangha[12]. Banyak yang meminta ijin suami mereka, yang kemudian menganjurkan agar meminta nasihat ibu suri Prajapati Gautami. Sesudah mendengarkan mereka, Prajapati Gautami memutuskan untuk menemui Buddha diikuti kelima ratus putri bangsawan, meminta ijin untuk ditahbiskan menjadi pengikut dan mendirikan perkumpulan Bhikkuni. Semula Buddha menolak permintaan mereka, karena tidak ada tempat untuk wanita dalam perkumpulan bhikku. Untuk kedua kalinya diulang permohonan tersebut, dan masih juga ditolak. Tetapi putri yang gigih tidak kenal menyerah. Sewaktu mendengar Buddha telah pergi meninggalkan kota Kapilawastu dan pergi beberapa mil jauhnya, dipanggilah ke lima ratus pengikutnya dan berbicara kepada mereka:
“Saudari-saudariku, Buddha belum bersedia menahbiskan kita sewaktu disini dan kini telah pergi. Marilah kita cukur kepala dan memakai jubah kuning. Marilah pergi kepada Buddha dan sekali lagi meminta ijin untuk memasuki perserikatan kebhikkuan. Tentu Buddha akan kasihan dan akan memberikan ijin kepada kita.”
      Setelah mereka mencukur rambut dan memakai jubah berwarna kuning, banyak para raja yang menyediakan kendaraan untuk mereka. Tetapi para putri menolak dan lebih memilih berjalan kaki untuk membuktikan bahwa mereka siap menjalani hidup yang ketat dan keras. Walaupun kaki mereka bengkak, berdarah dan badan mereka kotor berdebu, mereka tidak pantang menyerah untuk memperjuangkan keinginan mereka menjadi Bhikkuni. Bhikku Ananda yang terharu kemudian menghadap Buddha, ikut memperjuangkan permohonan:
“Yang mulia Buddha, apakah perempuan dapat pula mempunyai kemampuan menaiki titian kesucian sebagai Sotapanna, Anagami, dan Arahat bila ia membebaskan diri dari keduniawian ke arah pembebasan agung Nirvana dibawah disiplin yang diajarkan Buddha?”
Jawab Buddha:
“Bila Prajapati Gautami bisa menerima peraturan-peraturan, dapatlah ia diakui sebagai pentuk pentahbisan.”
      Sesudah diuraikan peraturan Vinaya dan semua bersedia mengikutinya. Selesai mengucapkan, ditahbiskan Gautami sebagai Bhikkuni pertama yang kemudian disusul kelima ratus pengikutnya. Dengan demikian terbentuklah Sangha wanita pertama. Perjuangan mereka tak sia-sia. Mereka telah menjadi Bhikkuni yang menjalankan latihan yang sama-sama berat dengan Bhikku.
      Pada awalnya Buddha menolak mentahbiskan Bhikkuni, sang Buddha khawatir jika mereka membawa efek negatif. Tetapi karena perjuangan mereka, maka sang Buddha mentahbiskan mereka menjadi Bhikkuni. Setelah mereka menjadi Bhikkuni mereka dituntut melakukan aturan yang lebih ketat dari para Bhikku[13]. Para Bhikkuni diharuskan memberikan hormat yang lebih besar terhadap para Bhikku daripada hormat yang diberikan para Bhikku kepada para Bhikkuni, tanpa memandang betapa senior atau mapannya para Bhikkuni, dan betapa mudanya Bhikku bersangkutan. Akhirnya berkembang peraturan yang terpisah untuk para Bhikkuni. Mereka tinggal di tempat yang terpisah dari para Bhikku, meski kedua jenis kelamin itu menuju ke cita-cita rohaniah yang sama. Belakangan, menurunnya jumlah Bhikkuni menyebabkan kacaunya peraturan yang tersendiri itu, sehingga akhirnya diberhentikanlah penahbisan para perempuan untuk menjadi Bhikkuni. Para wanita masih tetap bergabung dalam pengajaran, tetapi sekarang tidak lagi ditahbiskan atau memiliki status yang sama dengan sebelumnya. Penahbisan autentik dari para Bhikkuni Theravada berakhir sekitar tahun 456 M, meskipun dalam peraturan Buddhis modern, terutama di Amerika, diijinkan adanya Bhikkuni. Di negara-negara lain pada saat ini, para perempuan boleh bergabung dengan Sangha, tetapi tetap menjadi bawahan dan tidak ditahbiskan, walaupun mereka mempunyai posisi penting.
      Untuk bisa ditahbiskan sebagai umat Buddha, perlu menjalani sepuluh sila atau janji. Anggota kaum awam, yang tidak meninggalkann kehidupan umum, hanya mmenjalani lima sila pertama.
a. Tidak membunuh.
b. Tidak mencuri.
c. Tidak melakukan perbuatan seksual yang tak senonoh.
d. Tidak berdusta, berpikir, atau berbicara yang tak senonoh.
e. Tidak meminum minuman keras.
f. Tidak makan diluar waktu yang ditentukan.
g. Tidak menyanyi dan menari.
h. Tidak menggunakan alat-alat kosmetik.
i. Tidak tidur ditempat tidur yang nyaman.
j. Tidak menerima pemberian berupa emas atau perak.
      Sang Buddha sendiri yang menahbiskan para Bikhhu pertama, dengan memberikan ijin bagi mereka untuk meninggalkan rumah mereka dan bergabung dalam penyebaran ajarannya. Penahbisan dilakukan dengan suatu perintah sederhana agar datang dan mendengarkan Dharma serta mengakhiri penderitaan[14]. Ketika para Bhikku mengelilingi negeri, mereka menahbiskan banyak kandidat dengan mencukur rambut mereka, mengenakan pakaian kuning yang khas, dan mendeklarasikan tiga permata Agama Buddha.
Aku berlindung kepada Buddha.
Aku berlindung kepada Dharma.
Aku berlindung kepada Sangha (komunitas para Bhikku).
      Sang Buddha mendorong peminat untuk meninggalkan rumah dan peran Brahman mereka yang tradisional itu dalam rangka mengabdi kepada kehidupan masa mendatang untuk mencari kebenaran pribadi. Mereka akan hidup di dalam komunitas pelindung Sangha, bukannya dalam suatu rumah tangga, serta meninggalkan ritual religius yang sebelumnya maupun harapan keluarga.
G. Perempuan-perempuan dalam aliran agama Buddha
      Sang Buddha sudah memberikan petunjuk kepada seluruh manusia bahwa wanita dan laki-laki adalah sama derajatnya. Sang Buddha hanya menilai seseorang dari perbuatan baik bukan dari jenis kelamin. Di masa Buddha sudah terbentuk komunitas Sangha wanita yang di pimpin oleh Prajapati Gautami kemudian diikuti oleh 500 putri bangsawan. Mereka berjuang agar sang Buddha mentahbiskan mereka sebagai Bhikkuni walaupun tubuh dan badan mereka tersiksa. Mereka juga bersedia melakukan aturan-aturan yang ketat demi mencapai Nirvana.
      Tetapi dalam perkembangan sejarah, terdapat perselisihan mengenai apakah perlu ada Bhikkuni? Ada sebagian yang berpendapat bahwa Bhikkuni tak perlu ada dalam Sangha. Sebagian lain juga berpendapat bahwa Bhikkuni harus tetap ada karena sang Buddha pun mentahbiskan Bhikkuni pada masanya. Pandangan ini telah terpecah kedalam dua aliran besar dalam agama Buddha yaitu Mahayana dan Theravada. Konflik yang menandai pemisahan aliran ini ialah sebagaian Bhikku mendemo atau memprotes kebijakan Sangha yang terlalu ketat, mereka menganggap Sangha telah keluar dari ajaran Buddha. Maka Sangha mulai rapat dan merekontruksi ulang ajaran sang Buddha[15]. Tetapi upaya ini tidak berhasil, para Bhikku yang merasa kecewa memisahkan diri dan membentuk komunitas yang bernama Mahayana.
      Dari terpisahnya aliran ini, tentu mempunyai corak pemikiran yang berbeda. Dalam hal kebijakan wanita juga kena imbasnya. Misalnya dalam aliran Theravada, ketika saya mengunjungi Vihara Vippasana Bandung, saya sempat menanyai seorang Bhikku ketika berjalannya sesi dialog. Saya menanyakan apakah ada Bhikkuni di Vihara ini? Sang Bhikku menjawab bahwa dalam aliran Theravada sudah tidak ada lagi Bhikkuni. Mereka boleh tinggal di Vihara tapi hanya sebagai pelajar bukan sebagai pemimpin upacara. Hal ini dikuatakan oleh pengumuman bahwa Bhikkuni tidak ada lagi di aliran Theravada.
H.      Kedudukan Wanita Dalam Perspektif Agama Budha
      Dulunya, dalam agama Budha wanita dinilai tidak murni dan derajatnya lebih rendah daripada laki-laki karena perbedaan bentuk tubuh mereka dan factor factor biologis, seperti mengalami menstruasi dan kehamilan. Oleh karena itu, umumnya perempuandianggap tidak bisa mencapai pencerahan; hanya kelahiran ulang menjadi laki-laki memungkinkan mereka untuk mencapai ke-Buddha-an. Akibatnya, wanita di berbagai wilayah ditolak ditahbiskan menjadi biarawati dan menjalani kehidupan di Vihara. Di tempat-tempat di mana perempuan diizinkan untuk menerima penahbisan penuh oleh para Bhikkhu, mereka menggunakan jubah yang sama seperti rekan laki-laki mereka, tetapi mereka hidup terpisah dan harus mematuhi lebih banyak peraturan daripada para Bhikkhu. Sejak adanya Bhikkhunī di India kuno, mereka didiskriminasi oleh para Bhikkhu, mencerminkan status rendah dari perempuan dalam masyarakat India pada waktu itu[16]. Doktrin utama yang mendukung tesis tentang status rendah Bhikkhuni. Kedudukan kaum wanita meningkat setelah Ananda berhasil mendekati Sang Budha agar diberi hak dan kesempatan yang sama seperti halnya laki-laki. Hal ini termasuk dalam beribadah, adat, dan kehidupan sehari-hari.
      Perkembangan Agama Buddha di Indonesia juga tidak terlepas dari peran kaum wanita. Sejak bangkitnya kembali Agama Buddha di Indonesia, sudah terdapat seksi-seksi wanita yang berperan dalam berbagai vihara, yang kemudian pada tahun 70-an terbentuklah organisasi dan koordinator berbagai cabang dan seksi Wanita Buddhis. Pada saat itu tidak ada sekte-sekte atau Majelis Agama, semuanya masih merupakan kesatuan dari perjuangan umat Buddha di bawah panji Persaudaraan Upasaka - Upasika Indonesia (PUUI). Perlu diingat jasa ibu-ibu yang telah mempelopori pergerakan para wanita yang berAgama Buddha di wihara masing-masing, seperti Ibu Sujata, Ibu Visakha Gunadharma, Ibu Djamhir, dll.
I.   Peran Perempuan dalam Sejarah Perkembangan Agama Buddha
      Dalam bidang bermasyarakat, Sang Buddha tidak membedakan peran serta laki-laki dan perempuan. Mereka mempunyai peran yang setara dan adil. Seperti juga laki-laki seorang perempuan juga dapat menjadi majikan, atasan atau guru (Brahmana) sesuai dengan khotbah Sang Buddha.
        Mengacu pada perkembangan Buddha Dharma 2555 tahun yang lalu, pemberdayaan dan kemitrasejaajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbuh kembangkan oleh Sang Buddha. Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Buddha yang sebagian adalah perempuan dan diterangkan pula bahwa perempuan membawa peran penting dalam perkembangan agama Buddha[17].
      Adil dalam perspektif Buddha diartikan dengan menempatkan atau memposisikan sesuatu sesuai dengan peranannya.Contoh seorang perempuan yang sudah menikah berarti dia harus menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri kepada suami, tetapi hal ini tidak menjadikannya mutlak, dan hal tersebut tidak memposisikan seorang istri sebagai orang kedua atau memarginalkannya.
      Konsep gender sesungguhnya menyiratkan bahwa tidak ada suatu sifat yang mutlak melekat pada suatu jenis kelamin tertentu. Ini berarti juga bahwa setiap jenis kelamin memiliki sifat yang tidak selalu mutlak sama. Perempuan  juga tidak melulu hanya memiliki sifat tertentu dan mutlak, melainkan bervariasi dan relatif. Dalam Budhadharma perbedaan jenis kelamin (sex) jugadianggap bukanlah masalah, artinya adanya perbedaan jenis sex laki-laki dan perempuan bukanlah berarti ketidaksetaraan.
      Perempuan juga dapat berperan besar dan memberi sumbangan kemanusiaan yang tak terkira. Seperti ungkapan Buddha yang sering menyebut perempuan dengan kata "Matugama" yang artinya "Ibu Rakyat" sebagai gambaran betapa besarnya peranan perempuan. Hal ini menunjukkan penghargaan yang tinggi dari Sang Buddha kepada kaum perempuan sebagai ibu, peranan perempuan memegang peranan terhormat karena seorang ibu merupakan tangga untuk naik ke surga dan seorang istri merupakan sahabat karib suami (Parama Sukha). Kaum perempuan memperoleh pujian sebagai manusia yang dapat memancarkan cinta kasih tanpa batas terhadap sesame makhluk.Sebagaimana yang terjadi terhadap anaknya yang dilahirkannya.
      Yang terpenting adalah bahwa perempuan dapat menunjukkan kesetaraannya dan bebas dari periakuan tidak adil kaum laki-laki, sekalipun itu mungkin harus memperjuangkannya dalam gerakan feminisme.Sebagaimana yang telah diawali oleh prajapati, bibi dan Ibunda asuh Sidharta Muda, yang merupakan tokoh dan ibu yang mengawali gerakan feminisme pejuang kesetaraan perempuan di dunia.
      Berbicara tentang kesetaraan, keadilan, kebebasan dan kemerdekaan kaum perempuan di bidang agama, dan bidang-bidang lainnya yang kini masih diperjuangkan, maka di dalam Buddha Dharma hak tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Bahwa Sang Buddha 2500 tahun yang lalu dengan usaha-usahanya telah mengembalikan citra kaum perempuan pada tempat yang selayaknya justru ketika kedudukan perempuan dalam masyarakat waktu itu sedemikian direndahkan. Suatu nilai yang tak terhingga yang disumbangkan sang Buddha, disebutkan bahwa nilai yang tak terhinggga itu tampak dengan dibukanya pentahbisan secara penuh bagi kaum perempuan, terbentuknya Sangha Bhikkuni serta lingkungan kebiasaan yang sepenuhnya ditangani biarawati Budhis sejak pertama kali berdiri[18]. Bhikkhuni sasana yang didirikan oleh Sang.
      Budha 2500 tahun lalu itu bisa dikatakan sebagai gerakan feminisme pertama kaum perempuan yang tercatat dalam sejarah. Maha Prajapati, Ibu Asuh SangBuddha bersama 500 perempuan dengan rambut yang telah dicukur bersih, berbaris dalam prosesi menghadap Sang Buddha memohon kepada beliau agar dapat ditahbiskan menjadi Bhikkhuni. Inilah untuk pertama kalinya perempuan memprotes di muka umum meminta hak suara yang samamemperjuangkan kesetaraan dan keadilan dan potensi pencerahan yang sama dengan laki-laki.
      Segala yang telah terwujud itu tidak bisa dilepaskan dari semangat danhakikat ajaran Sang Buddha sendiri. Ajaran Sang Buddha memang bersifat revolusioner dalam banyak hal. Di tengah-tengah ketidakadilan sistem kasta di India yaitu hanya anggota-anggota kasta kelas atas seperti Keluarga Brahmana saja yang punya akses ke kitab Veda, teks-teks suci, namun Buddha mengikis habis sistem sekte.Sang Buddha memaklumkan bahwa Sangha, komunitas pencari kesucian bebas dari segala pembedaan kasta, Buddhisme bukan saja membebaskan dari perbedaan kasta tapi juga bebas dari perbedaan gender.Sang Buddha menerima Maha Prajapati menjadi anggota Sangha dengan dasar bahwa perempuan memiliki potensi yang setara dengan laki-laki untuk mencapai pencerahan atau penyelamatan spiritual. Berbeda dengan Brahmanisme dimana perempuan hanya diizinkan melakukan ibadah dalam status belahan dari sang suami. Dalam Buddhadharma, Sang Budha mengangkat semua beban ketidaksetaraan dan ketidakadilan dari pundak perempuan. Perempuan bisa tercerahkan melalui usaha-usahanya sendiri.Perempuan yang masih lajang ataupun yang berstatus janda diperlakukan setara[19].
I.    Reinterpretasi Dan Adaptasi Peran-Peran Gender Tradisional
      Dalam Buddha Mahayana terdapat berbagai macam tradisi-tradisi kecil. Sebagian pemikir Mahayana mengangkat kaum perempuan sehingga dalam Jataka Cina dapat ditemukan Bhodisatwa yang terlahir sebagai perempuan sebelum akhirnya terlahir sebagai laki-laki yaitu Buddha Gotama.Namun, hal tersebut dirasa tidak sesuai dengan ajaran Buddha sehingga pada akhirnya lahir konsep Buddha perempuan di Cina yang terwujud dalam Avalokiteswara dalam bahasa Cina disebut Guan-Yin.
      Untuk memebuat kesejajaran gender dikembangkan konsep Bhodisatwa. Bodisatwa mempunyai pengertian yang lebih luas daripada Bhodisatta yaitu orang yang mampu menjadi Buddha namun tidak langsung memasuki nirwana, tetapi mengabdikan dirinya demi orang lain. Jadi Bhodisatwa bukan hanya ada satu orang seperti halnya dengan Bhodisatta.Evolusi Bhodisatwa Guan-Yin menjadi perempuan juga memberikan dampak kehormatan terhadap perempuan dan memberikan arti bahwa perempuan juga bisa menjadi Buddha[20].
      Dalam Budha, terdapat aliran Therrawada, yaitu  aliran yang paling ortodoks dan kaku. Mereka meyakini bahwa ajaran Budha tidak hanya doktrin atau teori saja, dengan dibuktikan dengan keputusan Sang Budha untuk mengizinkan perempuan menjadi bikhuni.Keputusan ini diambil oleh Sang Budha karena mendapat pertanyaan dari seorang Bikhu yang bernama Amanda; "Apakah seorang perempuan yang menjalani kehidupan kesucian dapat mencapai kesucian sebagaimana laki-laki.Pertanyaan ini dijawab oleh Sang Budha; "Bisa."
      Tetapi justru keputusan inilah, Therrawada dan Mahayana (aliran lain dalam Budha) memiliki cacat, dalam artian keputusan yang membolehkan perempuan menjalani kehidupan kesucian ini, diwarnai kemelut bahwa Sang Budha sempat ragu-ragu.Apa yang menjadi keragu-raguan Sang Budha ini tidak disebutkan dalam Kitab Suci dan tetap menjadi polemik. Kedua, Sang Budha mengizinkan perempuan menjalani kehidupan selibat, menjadi bikhuni tetap dengan menambahkan 8 peraturan keras.
      Delapan aturan keras ini menjadi perdebatan di antara dua kubu perempuan, yaitu feminis dan idologis.Kubu feminis menyatakan, berarti Sang budha bagaimanapun masih bersifat seksis, yang berarti dia melawan doktrinnya sendiri yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan setara. Tetapi golongan kedua berusaha mengontekstualisasikan, melihat latar belakang kondisi sosio masyarakat India saat itu ketika bikhuni didirikan, pada waktu itu perempuan jangankan menuntut hak sama dengan laki-laki, perempuan hanya berposisi sebagai properti kaum laki-laki, tidak pernah independen. Ketika dia menjadi istri laki-laki maka dia menjadi milik laki-laki tersebut, ketika suaminya mati, dia di bawah kekuasaan saudara laki-lakinya dan seterusnya.Golongan kedua ini melihat bahwa sikap Sang Budha sudah merupakan sesuatu yang luar biasa.
      Tetapi kalau kita melihat dalam konteks sekarang, di mana kesejajaran laki-laki dan perempuan sudah sedemikian gencarnya diperjuangkan, hal tersebut masih cacat karena Sang Budha harus khawatir dengan pergolakan masyarakat. Sang Budha khawatir jika dia membolehkan perempuan langsung naik sedemikian tingkatnya sejajar dengan laki-laki, maka masyarakat dan bahkan bikhu yang belum mencapai kesucian seperti Sang Budha, akan protes belum bisa menerima revolusi sedemikian besar. Tetapi justru hal ini menjadi nperdebatan lagi, kalau memang Sang Budha  dipercaya sudah mencapai kesucian demikian tinggi, kenapa masih khawatir dengan kondisi masyarakat[21]. Hal ini juga berkaitan karena percakapan yang ada dalam Kitab Suci ini juga menjadi legitimasi bagi para bikhu dan kaum laki-laki dalam agama Budha untuk memandang bahwa posisi perempuan sudah selayaknya di bawah laki-laki. Adanya ketidak sejajaran ini berdampak pada permasalahan gender dalam kehidupan sekuler (kehidupan rumahtangga). Dalam agama Budha, kehidupan dicapai dalam dua komunitas, yaitu komunitas religius dan sekuler.
      Dalam komunitas religius, jelas bahwa diskriminasi muncul, yaitu hilangnya hak perempuan untuk ditahbiskan menjadi bikhuni, seperti pada waktu Sang Budha hidup. Karena tangga bikhuni dianggap sudah hancur dan tidak pernah bisa didirikan kembali ketika India dan Srilanka diserang oleh Bangsa Turki dan Holland. Karena syarat pentahbisan bikhuni dianggap sudah mati, maka kaum perempuan sudah tidak bisa dioptimasi.Hal ini sudah melawan doktrin dasar Sang Budha tentang kesetaraan[22].
      Dalam lapangan sekuler (kehidupan rumah tangga), cacat ini tidak begitu terlihat.Sehingga ada ilmuwan yang menyatakan kesempurnaan teori Sang Budha karena tidak menemukan teks-teks yang bersifat metogenis dalam ajaran dasarnya. Maka seakan-akan, dalam ajaran Sang Budha, kesetaraan gender ini sudah terwujud, padahal sebenarnya tidak juga.
      Pembaharuan yang dibawa oleh Buddha tersebut mengajarkan kemuliaan seseorangtidak berasal dari kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan.Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang dari samsara, oleh karenanya salah satu keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orangtuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
Hidup Berkeluarga dalam Agama Buddha
      Buddha memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pengikutnya untuk memilih jalan hidup yang terbaik: Meninggalkan keluarga dan menjadi bhikkhu/bhikkhuni, hidup berumahtangga, maupun tidak berumah-tangga. Salah satu cara untuk hidup bahagia adalah dengan membentuk sebuah keluarga. Keluarga yang hidup rukun dan saling mengasihi mutlak demi terwujudnya kebahagiaan. Jika keluarga tidak harmonis, penuh masalah, dan rapuh, sebaliknya penderitaan yang akan muncul. Perkawinan di dalam agama Buddha bukan merupakan sesuatu yang bersifat sakral, dan oleh karenanya tidak mempunyai sanksi religius.Perkawinan adalah komitmen dua orang yang saling mencintai dan memutuskan untuk hidup bersama dalam satu ikatan lembaga perkawinan.Kesepakatan sebuah pasangan untuk saling mengikat janji disahkansecara agama Buddha dan hukum yang berlaku di masyarakat setempat[23].
      Jika dalam agama Islam, Kristen, Hindu, pernikahan dianggap sakral, di dalam agama Budha tidak. Dalam Budha, ordo apapun, perkawinan semata-mata dianggap urusan duniawi. Oleh karena itu tidak ada sanksi religius di dalam hubungan suami istri.Jadi kalau laki-laki dan perempuan merasa cocok, maka tinggal masalah komitmen saja.
Meskipun Sang Budha tidak banyak berbicara masalah perkawinan, tetapi Sang Budha juga mengajarkan hubungan keluarga, tentang suami istri yang penuh kasih sayang danm setara. Namun dalam Budhisme, dalam hubungan keluarga ini yang diteklankan adalah masalah kewajiban saja, bukan hak dan kewajiban.Hal ini dikarenakan adanya doktrin An Ata, tidak ada aku, tidak ada aku yang berdiri sendiri.Jadi dalam tubuh manusia tidak ada yang disebut sebagai aku, melainkan hanya elemen.
Dalam sejarah Budhisme, lima tahun sejak terbentuknya komunitas bikhu sangga, para kaum laki-laki menjalani hidup suci. Mereka ditahbiskan oleh sang Budha membentuk suatu komunitas besar yang hidup selibat berpetualang di hutan-hutan, tidak menetap di vihara. Karena dalam pandangan Budhisme awal bahwa hidup selibat merupakan cara yang paling efektif untuk mencapai kebebasan tertinggi yaitu valhala.
Dengan adanya kenyataan seperti itu, para perempuan juga menginginkan hal yang sama. Dalam teori hukum karma, kelahiran sebagai perempuan merupakan karma buruk. Sang Budha merevolusi hukum tersebut dengan penemuan baru teori hukum karma bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, tidak dibedakan berdasarkan fisik, kelas kastanya, tetapi dari perbuatan masing-masing. Mendengar ajaran itu, para perempuan dari suku Satya yang semuanya bangsawan (dimulai dari bibi Sang Budha sendiri yang menjadi ibu tiri yang membesarkannya, yaitu Mahapati Gotami) dan istri Sang Budha sendiri, Tias Negara, menghadap kepada Sang Budha dan memohon; "Sang Budha, alangkah baiknya perempuan juga diperbolehkan untuk menjalani hidup suci karena kami ingin mencapai kesucian". Sang Budha menjawab; "Berhati-hatilah dengan keinginanmu itu". Permohonan ini tiga kali ditolak, hingga para perempuan ini meminta bantuan asisten Sang Budha yaitu Bikhu Amanda dan ternyata permohonan masih ditolak.Tetapi pada akhirnya permohonan ini dikabulkan.
Hal yang ditekankan dalam Budhisme tentang kehidupan berkeluraga adalah kewajiban yang harus diberikan kepada anggota keluarga lainnya[24]. Mereka berfikir bagaimana membahagiakan anggota keluarga yang lain daripada berpikir kepentingannya sendiri.
Namun dalam konteks prilaku, hubungan laki-laki dan perempuan masih dipengaruhi oleh budaya India yang patrialistik. Jadi kalau secara teori kelihatannya agama Budha selangkah lebih maju tetapi ternyata beban kultur patrialistik masih tetap ada. Misalnya ada teks yang menyatakan bahwa perempuan yang dianggap sebagai istri sempurna adalah perempuan yang bangun lebih dulu dari suaminya, selalu pergi tidur setelah suaminya tertidur, selalu patuh pada suaminya, selalu bersikap ramah dan sopan, dari mulutnya hanya keluar kata-kata ramah dan sopan.
Teks-teks minor seperti itu setelah dianalisis oleh feminmis Budhis, terlihat ketidaksesuaian teks-teks tersebut dengan teks-teks yang lain, ketidaksingkronan antara teks-teks dengan spirit ajaran Budha yang egaliter[25].
Di Indonesia, umat yang ingin jadi bikhu sangat sedikit, yang pasti biasanya mereka bukan dari kalangan menegah atas dan pasti pendidikannya terbatas. Kemampuan mereka untuk menyelami kitab suci terbatas (hanya beberapa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).Hanya beberapa bikhu yang dapat memahami ajaran Sang Budha secara proporsional.Namun kasus di Indonesia lebioh baik daripada di Thailand, meskipun jumlah bikhu mereka banyak tetapi berasal dari pendidikan tradisional. Jadi apa yang diturunkan itu berasal dari interpretasi paratera. Interpretasi ini disambung interpretasi lagi, interpretasi lagi.Nah karena itulah menjadi kabur apakah suatu ajaran itu berasal dari Sang Budha atau tidak.
Sang Budha, dalam mengajarkan pahamnya, tidaklah mengatakan bahwa punyakulah yang paling benar, tetapi mengatakan; datanglah, pelajarilah, renungkanlah, buktikan apakah itu membawa kebahagiaan atau kehancuran. Jadi Sang Budha tidak membatasi bahwa ajarannya harus dikuti, tetapi juga harus dikritisi.
Sikap seperti inilah yang tampaknya mulai hilang. Mungkin tidak hanya di Therrawada, bahkan betapapun egaliternya Budha di Tibet, tetapi karena kuatnya budaya patrilistik di Tibet, ajaran Sang Budha yang egaliter itu juga hilang.



DAFTAR PUSTAKA
·         http://cfis.uii.ac.id/content/view/43/87/ diunduh pada tanggal 7 November 2014
·         http://dhammacitta.org/artikel/diskriminasi-perempuan-buddhis/ diunduh pada tanggal 7 November 2014
·         Konsep Dasar Gender.Pdf
·         Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Palembang 1995) cet 1.
·         Digha Nikaya, Sutta Pitaka. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia. 1983.
·         K. Sri Dhammananda, What Buddhists Believe. Taiwan:  The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation. 1993.
·         Panjika, Rampaian Dhamma. Jakarta: DPP Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia (PERVITUBI). 2004.
·         Perbandingan Konsep Gender dalam agama Islam dan Buddha.pdf
·         http://www.faithnet.org.uk/KS4/Marriage%20and%20the%20Family/ buddhismsexethics.htm, diakses: 7 November 2014










[1] Konsep Dasar Gender.Pdf
[2] Jani Tandi Wiharja, “Mempertemukan Dunia Suara-Suara Wanita Budha Lintas Generasi” . Hlm 173
[3] Http://Dhammacitta.Org/Artikel/Diskriminasi-Perempuan-Buddhis/ (Diunduh Pada Tgl 11 Desember 2014)
[4] Http://Cfis.Uii.Ac.Id/Content/View/43/87/ (Diunduh Pada Tanggal 7 November 2014 )
[6] Harun Hadiwijono. Agama Hindu Dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, Cet. X, 2010), H.83
[7] Dhammananda, Sri. What Buddhists Believe. Taiwan:  The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation. 1993, hal.24
[8] Bansi Pandit, Pemikiran budha,  hal. 59

[9] Http://Dhammacitta.Org/Artikel/Diskriminasi-Perempuan-Buddhis/ (Diunduh Pada Tgl 7 November 2014)
[10] Jani Tandi Wiharja, “Mempertemukan Dunia Suara-Suara Wanita Budha Lintas Generasi” . Hlm 314
[11] Dhammananda, Sri. What Buddhists Believe. Taiwan:  The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation. 1993. Hal. 31

[12] Dhammananda, Sri. What Buddhists Believe. Taiwan:  The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation. 1993. hal. 37

[13] Nikaya, Digha.gender budhaisme. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia. 1983. Hal. 41

[14] Nikaya, Digha.gender budhaisme. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia. 1983. Hal. 47

[15] K. Sri Dhammananda, What Buddhists Believe. Taiwan:  The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation. 1993. Hal. 24
[16] The Illustrated Encyclopedia Of Buddhism, Lorenz Books. 2009. Halaman 142-143
[17] Konsep Dasar Gender.Pdf Di Unduh Pada Tanggal 7 November 2014
[18] Nikaya, Digha. Gender budhisme. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia. 1983, hal.49

[19] Perbandingan Konsep Gender Dalam Agama Islam Dan Buddha
[21] Dhammananda, Sri. What Buddhists Believe. Taiwan:  The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation. 1993, hal.34

[23]Http://Www.Faithnet.Org.Uk/KS4/Marriage%20and%20the%20Family/Buddhismsexethics.Htm, Diakses: 7 November 2014

[25] K. Sri Dhammananda, What Buddhists Believe. Taiwan:  The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation. 1993. Hal. 29