Minggu, 07 Desember 2014

Perempuan dan Politik di Indonesia

Jika kita berusaha untuk menyelami keinginan perempuan dalam ruang publik. Bisa jadi “demokrasi” merupakan suatu hal yang sangat diharapkan oleh perempuan untuk memperbaiki nasibnya dalam hegemoni kekuasaan laki-laki. Tentunya konsep demokrasi yang diharapkan perempuan adalah demokrasi yang benar-benar memperhatikan kebebasan dan hak individu. Karena kita ketahui bahwa konsep demokrasi yang pada awalnya dibangun pada masa Yunani melanggengkan tradisi yang jelas tidak mengikutkan perempuan dalam keterlibatan di pemerintahan atau di ranah politik.
Kate Millet mengartikan politik sebagai setiap hubungan yang ditata dalam kekuasaan di mana satu kelompok orang dikontrol oleh kelompok orang yang lain. Kalangan feminis kontemporer menolak memakai konsep-konsep politik tradisional (misalnya konsep politik perwakilan politik, atau politik solidaritas) dan lebih memilih konsep politik personal. Sementara itu para feminis juga berusaha menggambarkan tiga wilayah kebebasan yakni:
Gambar Wilayah Kebebasan Perempuan
Hal yang akan menjadi persoalan adalah teori-teori feminis berbeda dalam menentukan wilayah mana yang paling penting untuk didahului. Ann Ferguson menyatakan bahwa kebebasan seksual adalah yang paling penting karena perempuan perlu mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai subjek seksual, dan bukan sebagai objek seksual. Sementara, kalangan feminis memerlukan suatu kesadaran  akan hubungan antara ekspresi seksual dengan wilayah kebebasan lainnya. Dan menurut Weskott, kebebasan individu dan kebebasan semua perempuan dikaitkan pada saat perempuan mencapai sebuah kesadaran kritis bahwa “kita semua disatukan dalam ketidakbebasan kita”. Kemudian sumber pengetahuan yang utama mengenai kebebasan, masih menurutnya akan tampil dari pengalaman hidup daripada teori.
Dalam ranah keindonesiaan, setidaknya terdapat dua persoalan perempuan dalam politik:
Gambar  Masalah Keterwakilan Perempuan dalam Politik
Dua persoalan mendasar keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia adalah pada masalah keterwakilan perempuan yang sangat minim di ruang publik. Perempuan selalu terstigma dan selalu diposisikan hanya dapat berada dalam ranah domestik untuk mengurusi masalah rumah tangga, tanpa bisa berapresiasi dan mengembangkan diri dalam ranah publik. Permasalahn yang kedua adalah minimnya platform partai politik yang secara konkrit membela kepentingan perempuan. Bagi beberapa pemikir dan pemerhati perempuan beranggapan bahwa memberi tempat lebih banyak bagi perempuan dalam dunia politik tentunya akan memberikan suatu suasana baru bagi perubahan politik yang arogan, korup, dan patriarkis.
Perjuangan perempuan Indonesia ini konkrit dengan terus memperjuangkan kuota 30%  perempuan di parlemen. Majunya perempuan ke ruang publik dan menduduki tempat-tempat strategis pengambilan keputusan adalah satu-satunya cara agar kepentingan perempuan itu sendiri terwakili. Tidak ada alasan lain lagi untuk terus memasukkan perspektif gender dalam segala lini kehidupan kita. Tokoh Feminis politik Mary O Brien pernah mengutarakan bahwa perempuan selama ini hanya digunakan sebagai alat oleh partai demi alasan pembaharuan dunia (in the name of a vision that transforms the world). Perempuan hanya semata dijadikan alat politik dan pada akhirnya lagi-lagi menjadi kaum mayoritas yang inferior dan terbungkam (silenced and thwarted majority).
Sejarah yang selama ini terbangun ada melalui rangkaian konvensi yang sangat kuat dan membuat perempuan tersisih dari dunia politik melalui pembedaan antara peran privat dan publik.  Secara serius, pembedaan ini memotong akses perempuan ke lingkup publik. Banyak yang sepakat bahwa gerakan perempuan untuk memulihkan hak-hak politiknya ini erat kaitannya dengan proses transformasi sosial yang identik dengan transformasi demokrasi. Dan pada dasarnya tujuan gerakan perempuan itu sendiri adalah untuk menciptakan suatu hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih adil, dan saling menghargai.
Perempuan di seluruh dunia berkeinginan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang menyangkut keluarga, perekonomian, masyarakat, negara, serta struktur hubungan internasional. Urusan-urusan besar yang pada gilirannya turut mengintervensi wilayah mereka yang paling privat personal. Mereka berangkat dari sebuah kesadaran bahwa apa yang terjadi dalam dirinya, pikiran serta tubuhnya, tidak pernah lepas dari urusan politik. Jelas, perjuangan ini adalah usaha kemanusiaan agar semua masyarakat, laki-laki dan perempuan, dari segala ras, etnis, bangsa, dan agama dapat menikmati hak asasinya.
Politik, terlepas dari segala kontroversi di dalamnya, adalah alat sosial yang paling memungkinkan bagi terciptanya ruang kesempatan dan wewenang, serta sangat memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui berbagai aksi bersama, diskusi, sharing, dalam prinsip kesetaraan dan keadilan. Di sini peran politik sangat jelas yaitu sebagai salah satu sarana yang dapat mendorong perempuan untuk mencurahkan semua kecemasannya. Walaupun begitu, tetap lagi-lagi bahwa budaya, sistem sosial, sistem politik, hingga masalah kemiskinan masih menjadi suatu jurang yang sangat sulit dilalui perempuan. Oleh karena itu segala usaha-usaha yang lebih strategis sangat diperlukan untuk memasuki wilayah pengambilan kebijakan alternatif yang tentunya bersahabat dengan perempuan.
Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 hak perempuan untuk memilih pada dasarnya sudah diakui. Bahkan sejak masa revolusi dua orang perempuan telah dipilih sebagai menteri. Posisi perempuan dalam politik berlangsung sangat fluktuatif di Indonesia. Menurut Blackburn, berubahnya status perempuan itu disebabkan karena proses demokrasi di Indonesia tidak melalui cara-cara bertahap (gradual) tapi melalui lompatan-lompatan (leaps). Setiap lompatan demokrakrasi akan menghasilkan visi-visi politik negara yang berbeda dan terkadang sangat dramatis dalam melihat persoalan perempuan. Oleh karena itu, sebelum sistem politik diperkuat dengan konstitusi dan aturan hukum yang berpihak pada perempuan, dapat dipastikan tidak pernah ada pembangunan nasib perempuan yang bersifat berkesinambungan.
Iris Marion Young mengungkapkan lebih jauh bahwa dalam situasi yang serba multikultural di Indonesia ini, demokrasi sendiri cenderung melakukan pengabaian (eksklusi). Proses debat dan perumusan kebijakan cenderung berlangsung dengan peminggiran terhadap individu atau kelompok tertentu. Debat dan perumusan kebijakan selalu ditandai dengan bias dan  stereotip perumusnya terhadap kelompok-kelompok yang selama ini diberi label negatif oleh masyarakatnya. Hal ini tidak lain disebabkan oleh konsepsi universalitas individu dalam demokrasi. Dalam pemahaman ini warga negara selalu dianggap memiliki kesamaan yang umum (have in common similiarity). Sehingga demokrasi mengandaikan bahwa semua warga negara harus diperlakukan secara sama (equal treatment). Padahal tidak semua warga negara, berdasarkan sejarah dan identitasnya, menempuh pengalaman yang sama dalam memaknai sesuatu, seperti demokrasi misalnya.
Iris lebih jauh mengemukakan bahwa beberapa persoalan yang timbul ketika demokrasi membayangkan kesamaan umum (generality) dan perlakuan yang sama (equal treatment).
1.    Di mana generality dipahami sebagai partisipasi dalam semua keinginan umum (general will), maka demokrasi akan melakukan pengabaian terhadap individu atau kelompok yang karena keterbatasan (kultur atau sistem) tidak dapat turut dalam perumusan keputusan bersama.
2.    Yang kedua perihal pandangan umum (general will) sendiri cenderung memaksa masyarakat sipil dalam homogenitas.
3.    Dan ketiga prinsip akan perlakuan yang sama tidak bisa dilakukan mengingat ada perbedaan-perbedaan budaya, nilai, perilaku, sistem kepercayaan yang tingkat keragamannya sudah tidak dapat diakomodasi dalam prinsip common sense.
4.    Dan yang keempat, faktanya ada sebagian kelompok dalam masyarakat yang plural itu menikmati hak-hak khusus (privelese)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar