Minggu, 07 Desember 2014

ebook MEREDUKSI DIKOTOMI MUHAMMADIYAH DAN AISYIAH UNTUK MENUJU PROFESIONALISASI


MEREDUKSI DIKOTOMI MUHAMMADIYAH DAN AISYIAH
UNTUK MENUJU PROFESIONALISASI
Dr. H. Ali Imron A.M.
Pendahuluan
Di balik keberhasilan gerakan dan kepemimpinan perempuan di berbagai
bidang kehidupan, ternyata masih tersimpan mitos perempuan sebagai manusia kelas
dua (the second class, the second sex) di dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya
masyakat Indonesia yang masih banyak berpandangan bahwa perempuan merupakan
sosok manusia kelas dua, tetapi juga di berbagai negara terutama negara berkembang.
Hal ini tidak lepas dari pandangan sosio-kultural yang membedakan perempuan
dengan laki-laki.
Sejarah mencatat, secara universal perempuan memang berbeda dengan lakilaki.
Perbedaan itu tidak saja tampak dalam biologis yang terjelma dalam jenis
kelamin, tetapi juga dalam hal lain yang lebih dikenal dengan gender. Perempuan
sering dikatakan sebagai sosok makhluk yang lembut, indah, tidak asertif, tidak
agresif, dan cenderung mengalah. Sedangkan laki-laki sering ditampilkan sebagai
sosok manusia yang besar, kokoh, asertif, agresif, dan dominan.
Perbedaan laki-laki-perempuan itu membawa implikasi yang jauh dalam
kehidupan sosial. Termasuk dalam bidang politik, demokrasi, dan kepemimpinan.
Permasalahannya kini adalah bagaimana pola gerakan dan kepemimpinan
perempuan Indonesia kontemporer, dan bagaimana agar gerakan perempuan mampu
mengangkat eksistensinya secara mandiri?
2. Menelusuri Akar Subordinasi Perempuan
Memang secara teoretis dan konseptual kini kaum perempuan dipandang
sebagai manusia yang setara dengan laki-laki. Sayang dalam praktinya, fakta
menunjukkan bahwa perempuan di banyak komunitas berada di bawah dominasi lakilaki.
Mau tidak mau, keadaan ini telah berarti segalanya bagi perempuan dalam
sejarah dalam sejarah kebudayaan manusia. Sejarah manusia, baik yang sakral
(yang diambil dari kitab-kitab suci atau mitos) maupun yang sekular (yang disusun 2
secara ilmiah) senantiasa menunjukkan sebagai sejarah laki-laki. Dari perspektif
sejarah, jelas laki-laki dan perempuan tidak setara. Masyarakat di berbagai negara,
mayoritas masih merupakan masyarakat patriarkal.
Dikotomi laki-laki-perempuan juga tercermin dalam pengkotakan "pekerjaan
laki-laki dan pekerjaan perempuan" yang lebih dikenal dengan pembagian kerja
secara seksual. Jelas perbedaan laki-laki-perempuan tidak saja ditentukan faktor
biologis (tampak pada jenis kelamin) melainkan juga faktor sosial budaya
(tercermin dalam gender).
 Gender memang tidak bersifat universal, tetapi hierarki gender dapat
dikatakan universal. Berbagai studi lintas budaya menunjukkan, bahwa perempuan
selalu berada dalam posisi subordinatif. Karena subordinatif perempuan tidak dapat
dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka timbullah konsep gender. Dan,
sampai saat ini belum ada satu pun teori yang dianggap mampu menerangkan akar
subordinasi perempuan dengan memuaskan.
Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan hierarki gender menurut
Gailey (1987), ada empat kelompok yakni: (1) Teori adaptasi awal, yang
berpandangan bahwa adaptasi awal manusia merupakan dasar pembagian kerja
secara seksual, sekaligus menjadi dasar subordinasi perempuan di bawah laki-laki,
(2) Teori teknik-lingkungan, yang menyatakan bahwa upaya untuk mengontrol
pertumbuhan penduduk sudah menjadi persoalan sejak zaman dulu. Subordinasi
perempuan dalam konteks ini berakar pada peran reproduktifnya, (3) Teori
sosiobiologi, yang menjelaskan bahwa dominasi laki-laki muncul sebagai akibat
seleksi alam, dalam hal ini berkaitan dengan ketahanan tubuh, dan (4) Teori
struktural, yang menyatakan bahwa perempuan mempunyai status yang lebih rendah
dibanding laki-laki, sekaligus otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki. Karena,
perempuan berhubungan dengan arena domestik, sedangkan laki-laki lebih terlibat
dalam arena publik.
Pembagian bidang kehidupan menjadi arena publik dan domestik ini dianggap
universal. Dasar pembagian ini adalah tanggung jawab perempuan dalam proses
kehamilan dan perawatan anak. Dengan demikian status relatif perempuan bergantung
pada derajat keterlibatan mereka dalam arena publik dan partisipasi laki-laki dalam 3
arena publik. Teori struktural berargumentasi, bahwa subordinasi perempuan itu
bersifat kultural, yang berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender.
Di pihak lain, seperti kebudayaan lain, kebudayaan Indonesia --lebih-lebih
Jawa-- menempatkan perempuan sebagai the second sex ataupun instrumen bagi lakilaki.
Bahkan, konsep kebudayaan Jawa menempatkan perempuan sebagai konco
wingking (teman di belakang, dapur). Artinya, perempuan dipandang sekedar teman
hidup yang tugasnya di belakang, menangani urusan rumah tangga. Hal itu tercermin
dalam ungkapan-ungkapan proverbial yang sangat mengagungkan laki-laki.
Padanan perempuan Jawa adalah wanita: artinya wani ditata, sehingga
kebanyakan perempuan Jawa (tradisional) bersikap nerima, termasuk terhadap sikap
dan perlakuan laki-laki terhadapnya. Juga lingkup gerakan perempuan bersifat
domestik, dipandang berkisar sekitar dari dapur ke sumur, dari sumur ke kasur, dari
kasur ke dapur, dan begitu seterusnya. Atau, perempuan itu tugas pokok dan
fungsinya adalah masak, macak, lan manak yang berarti memasak, berhias diri, dan
melahirkan. Ini berarti perempuan dianggap sekadar menjadi pelayan laki-laki dari
memasak, menyajikannya di meja makan, mencuci pakaian, hingga menemaninya di
tempat tidur (lihat Ali Imron A.M., 1995).
Lebih ekstrem lagi adalah ungkapan yang menyatakan perempuan itu swarga
nunut neraka katut (atas laki-laki/suami), yang berarti kebahagiaan dan/atau
penderitaan perempuan sangat bergantung pada laki-laki/suami. Itu semua
mencerminkan bahwa kedudukan perempuan adalah subordinat laki-laki. Betapa
perempuan dianggap tidak mempunyai peran penting dalam kehidupan. Perempuan
sekadar "suplemen" bagi laki-laki, tidak memiliki kemandirian eksistensi nyata.
Perempuan mengalami Cinderella Complex, atau sindrom manusia kelas dua.
Ironisnya perempuan seakan dibenarkan masyarakat jika dia cukup mengharap
pertolongan laki-laki dalam menghadapi tantangan. Akibatnya, perempuan tidak akan
dapat berperan banyak sebagai agen perubahan sosial yang mampu menentukan
jalannya sejarah, bahkan menjadi manusia yang tertindas oleh sejarah. Manusia yang
mampu "menyejarah" demikian memerlukan tantangan besar agar dapat berkarya
besar. Dan, syarat terpenting untuk itu adalah adanya kebebasan dan kemandirian,
meski bukan berarti hidup soliter.4
Cinderella Complex yang menimpa perempuan kelas menengah ke atas akan
menimbulkan kemandulan kreativitas. Sedangkan perempuan kelas bawah, tidak
cukup keberanian untuk menentang diskriminasi yang dialaminya. Karena itu,
tantangan utama perempuan sebelum ia menjadi agen perubahan sosial adalah
kondisi psikologis dalam dirinya selain sistem patriarkis dalam masyarakat yang
sangat tidak kondusif dalam mengangkat eksistensi dan kemandirian perempuan.
Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang dikenal religius dan
mayoritas beragama Islam, maka ajaran Islam (Qur'an S. An-Nisa': 34): Arrijaalu
qawwaamuuna 'ala an-nisaa' yang berarti "Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan"
yang ditafsirkan secara sempit, juga turut mempengaruhi pandangan masyarakat
terhadap eksistensi perempuan yang berada di bawah laki-laki. Hal ini mudah
dipahami bilamana kita memahami kultur masyarakat Indonesia yang religius, yang
menempatkan ajaran agama sebagai landasan hukum dan tradisi kehidupannya.
Hukum dan tradisi yang terformulasikan dalam pola hidup berakar pada ajaran
agama, seperti tercermin dalam ungkapan yang populer di masyarakat (Minang,
misalnya): Hukum basendi adat, adat basendi syara', syara' basendi Kitabullah.
Artinya, hukum berlandaskan adat, adat berlandaskan agama, dan agama
berlandaskan al-Quran".
Padahal jika dicermati, mestinya kata qawwaamuuna itu bukan diartikan
seperti lazimnya kebanyakan penafsiran orang selama ini, yakni laki-laki sebagai
pemimpin atau pengatur perempuan. Kata qawwaamuu merupakan term ekonomis,
dan bukan biologis. Artinya, laki-laki diartikan sebagai pencari nafkah, bukan
pengatur (lihat pandangan Riffaat Hassan dalam Wajidi, 1995). Lebih-lebih jika
dicermati ayat berikutnya, Arrijaalu qawwaamuunaa 'ala an-nisaa' bimaa fadhdhalallaahu
ba'dhahum 'alaa ba'dhin wabimaa anfaquu min amwaalihim. Artinya,
"Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan karena Allah telah memberikan kelebihan
pada yang satu dari yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari hartanya."
Kalimat "Allah telah memberikan kelebihan pada satu dari yang lain, dan karena
mereka memberi nafkah dari hartanya", kiranya jelas menunjukkan (dapat
ditafsirkan) bahwa laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki kelebihan dan
keduanya saling melengkapi. Jadi, dalam Islam laki-laki dan perempuan tidak
bersifat hierarkis atau struktural melainkan bersifat fungsional. 5
Pemahaman ini akan lebih tegas lagi jika kita kaitkan dengan ayat al-Quran
yang lain: Hunnaa libaasul lakum waantum libaasul lahunnaa. Artinya, "Mereka
(perempuan) itu pakaian bagi kamu sekalian (laki-laki), dan kamu sekalian (laki-laki)
merupakan pakaian bagi mereka (perempuan). Jelas, keduanya --laki-laki dan
perempuan-- saling melengkapi dan setaraf, tidak subordinatif. Dapat pula
ditambahkan betapa banyak ayat al-Quran yang menyatakan bahwa "Apabila kamu
sekalian beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, maka Allah akan
memberikan pahala dan surga bagi mereka." Juga ayat yang menyatakan, "Yang
paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik takwanya". Ada juga
ayat yang menyatakan bahwa "Seorang laki-laki tidak akan menerima hasil suatu
pekerjaan kecuali atas usahanya sendiri, demikian pula perempuan tidak akan
menerima hasil suatu pekerjaan kecuali atas usahanya". Ayat-ayat itu jelas
menegaskan, bahwa siapa yang lebih bertakwa --baik laki-laki maupun perempuan--
maka itulah manusia yang paling mulia di hadapan Allah. Sekaligus ayat ini juga
menyejajarkan laki-laki dan perempuan dalam kedudukan yang sama di mata Allah,
hanya bobot ketakwaanlah yang membuat mereka berbeda. Tidak ada pembedaan
laki-laki dengan perempuan.
Hal lain yang membuat pandangan kultural bahwa perempuan itu sekadar
pelengkap laki-laki adalah dongeng tentang Siti Hawa yang terjelma dari tulang
rusuk Adam. Cerita ini jelas bukan bersumber dari Al-Quran (sebab tidak ada satu
ayat pun yang menyatakan demikian), melainkan dari kitab-kitab kuna agama
Kristen dan juga Hadits-hadits --yang tentu saja masih perlu diteliti validitasnya
(keshahihannya)--. Berdasarkan asumsi bahwa hanya Al-Quran satu-satunya kitab
yang memiliki otoritas sebagai sumber yang tak terbantahkan, maka jelaslah
bahwa tidak satu sumber pun yang valid yang menyatakan adanya subordinasi
perempuan dari laki-laki.
Dengan demikian, sebenarnya adanya pandangan atau mitos bahwa
perempuan itu hanya suplemen atau subordinasi dari laki-laki selama ini merupakan
"penyelewengan sejarah" tentang perempuan. Karena itu, jika tidak ada
penyelewengan sejarah itu maka sebenarnya ada gerakan emanspasi perempuan.
Tegasnya, yang diperlukan kini adalah "pelurusan sejarah tentang perempuan". 6
3. Resistensi Kebudayaan dari Kamar Pingitan
Situasi kebudayaan dengan semangat subordinatif perempuan demikian
sangat dominan hingga pertengahan abad XX. Kondisi itu harus berakhir dengan
datangnya kebudayaan modern. Ketika para kawula muda Jawa terpelajar
mendirikan Budi Utomo (BU), maka yang terjadi sesungguhnya adalah
pemberontakan kebudayaan. Pemberontakan itu sangat penting artinya dalam sejarah
Indonesia, karena ia menjadi tonggak bangkitnya nasionalisme (Indonesia) dan
sekaligus mundurnya kebudayaan Jawa. Cara berpikir modern yang berbeda dengan
yang diajarkan tradisi masyarakat saat itu, adalah landasan pemberontakan itu.
Fenomena yang menarik adalah bahwa sebelumnya telah terjadi
pemberontakan kebudayaan serupa dengan skala lebih kecil, yang dilakukan
seorang gadis yang berpikiran amat maju pada zamannya, justru dari dalam salah
satu benteng kebudayaan Jawa saat itu: kamar pingitan dalem kabupaten Jepara.
Pemberontakan gadis Kartini itu menjadi lebih bermakna karena ia mewakili kaum
perempuan yang menjadi manusia kedua dalam kebudayaannya. Meski tidak ada
hubungan langsung antara BU dengan Kartini, keduanya melihat kebudayaan dalam
perspektif baru yang sama, yang lebih banyak mengandalkan dan menghargai
rasionalitas dan kemampuan pribadi manusia.
Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa posisi Kartini sebagai
perintis pemberontakan kebudayaan dilakukannya secara committed. Boleh jadi ia
kebetulan seorang perempuan yang memberontak terhadap dominasi laki-laki, namun
tidak kebetulan bahwa itu semua karena ia berpikiran maju dan rasional. Karena itu,
tidak kebetulan pula jika Kartini menjadi feminis pertama, dalam arti secara sadar dan
argumentatif menentang "penjajahan" terhadap perempuan. Secara kongkret, apa
yang dilakukan Kartini mungkin tidak banyak, namun tak pelak lagi ia menjadi
simbol dalam politik perempuan dan demokratisasi di Indonesia.
4. Memadukan Muhammadiyah dan Aisyiah Menuju Profesionalisasi
Tanpa bermaksud mengklaim bahwa kondisi sekarang berkat perjuangan
Kartini, kedudukan perempuan di Indonesia kini kurang lebih sama dengan yang
dicita-citakan Kartini. Perempuan Indonesia sekarang sudah merdeka secara politis
dan retorik. Secara formal perempuan diakui sama dengan laki-laki, diberi 7
kesempatan yang sama, dan tidak ada penolakan terhadap sesuatu (jabatan
misalnya) dengan alasan seseorang adalah perempuan. Merdeka secara politis,
karena realitanya (pada tingkat sosiologis laki-laki tetap mendonimasi kehidupan),
jika dalam suatu persaingan perempuan kalah dengan laki-laki, hal itu karena
kekalahan objektif, bukan dipolitisasi. Sri Mulyani, misalnya, toh bias menjadi
Menetri Keuangan Indonesia. Demikian pula Megawati, toh bias menjadi Presiden
Republik Indonesia, dan masih banyak lagi ―perempuan perkasa‖ lainnya.
Sejalan dengan itu, maka yang terjadi dalam gerakan kepemimpinan
perempuan, termasuk di Muhammadiyah, semestinya adalah profesionalisasi, bukan
konsesi. Ketika sedikit banyak laki-laki tergeser dalam beberapa posisi, maka yang
terjadi adalah pergantian pihak yang tidak mampu oleh yang mampu. Perubahan ini
telah dapat diterima karena alasan rasional, yakni tidak terjadi atas dasar asumsi
ideologis, tetapi atas dasar pertimbangan daya guna yang lebih besar. Dengan
kata lain, atas dasar pertimbangan profesional, dan bukan konsesi politik.
Mengenai meleburnya tokoh-tokoh Aisyiah ke dalam PP Muhammadiyah
sudah dibahas paling tidak sejak Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Aceh dan
diintensifkan serta telah disepakati dalam Muktamar Muhammadiyah ke-42 di
Jakarta. Sayang sekali hingga kini keputusan itu belum direalisasikan secara konkret
dan adil. Tetap saja Aisyiah –organisasi perempouan Muhammadiyah—berdiri di
samping Muhammadiyah. Mengapa para tokoh Aisyiah tidak ―berdiri sama tinggi dan
duduk sama rendah‖ dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam jajaran Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, atau Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, dan seterusnya.
Mengapa masih saja berdiri PP Aisyiah di samping PP Muhammadiyah?
Guna lebih meningkatkan peran kepemimpinan perempuan dan gerakan
perempuan pada umumnya, maka agaknya perlu dilakukan gerakan Kartini
kotemporer. Gerakan ini tidak hanya bertujuan menghilangkan diskriminasi
terselubung terhadap perempuan Indonesia (hal ini sudah berlalu), tetapi lebih dari
itu gerakan ini haruslah memberantas beberapa ideologi yang menjadi sumber dari
persepsi yang mempersulit perempuan Indonesia untuk mengembangkan diri mereka 8
sebagai manusia mandiri, bukan suplemen kehidupan laki-laki. Karena, kemandirian
adalah kunci utama menuju eksistensi perempuan setara dengan laki-laki.
Di samping itu, agaknya perlu pula dikembangkan budaya tandingan (counter
culture) untuk melawan budaya militer dan budaya konsumtif yang sedang menjadi
arus utama. Bentuk dari budaya tandingan tersebut, meminjam istilah Hafidz (1995)
adalah otonomi dan karakteristik feminin. Otonomi berarti kemampuan untuk
mengatakan "tidak" terhadap keinginan pihak lain yang bermaksud mendominasi
atau memaksakan kekuasaannya. Karakteristik feminin diartikan sebagai sifat anti
kekerasan, memelihara, menumbuhkan, menyayangi, intuitif, kreatif, dsb. sebagai
lawan dari karakteristik maskulin (rasional, keras, merusak, menaklukkan,
persaingan, mengejar keuntungan, dsb.) yang saat ini dominan.
5. Retrukturisasi Organisasi: Mereduksi Dikotomi Perempuan-Laki-laki
Dalam hal gerakan dan kepemimpinan perempuan di Indonesia, tampaknya
gerakan mereka masih diwarnai sikap ideologis dan dihadapi oleh pihak luar yakni
laki-laki, dengan sikap sama. Dalam konteks itulah, agaknya kemajuan kaum
perempuan di Indonesia masih cenderung bersifat konsensional atau ideologis.
Perempuan masih banyak diberi karena pertimbangan politis dan ideologi, bukan
karena kemampuan mereka. Konsesi pada akhirnya akan mengecewakan, karena
tidak mengubah posisi ketergantungan perempuan pada laki-laki.
Contoh menarik kedudukan konsensional yang diberikan atas dasar
pemikiran ideologis adalah apa yang terjadi pada organisasi IMMAWATI-anggota
IMM perempuan dan KOHATI-anggota HMI perempuan. Begitu pun AISYIAH
yang mendampingi Muhammadiyah. Hal ini mencerminkan adanya "kompleks
identitas". Artinya, setelah perempuan relatif bebas bergerak, gerakan perempuan
cenderung menunjukkan identitas dirinya sebagai organisasi perempuan, sekadar
untuk membedakan diri dari laki-laki. Di satu pihak perempuan dihargai dengan
diberi wadah tersendiri, namun di lain pihak mereka sebenarnya mengurung diri
sehingga tidak akan pernah sama dengan anggota laki-laki.
Pembedaan demikian memang memberi kesempatan kepuasan psikologis,
karena dengan begitu perempuan dapat menunjukkan arti penting eksistensinya.
Namun hal ini sekaligus mengundang bahaya yakni perempuan terperangkap dalam 9
kemasan formalitas atau retorika politik. Perempuan dipandang setara dengan lakilaki
hanya karena telah memiliki organisasi, padahal sesungguhnya organisasi
perempuan yang eksklusif justru menunjukkan ketidaksetaraan perempuan dengan
laki-laki. Jika kemerdekaan perempuan berhenti pada tingkat formalitas politik, maka
yang terjadi adalah manipulasi, atau kemerdekaan tanpa substansi. Tegasnya,
penonjolan identitas ini justru merupakan pengakuan inferioritas perempuan di
hadapan laki-laki, karena dalam praktik sehari-hari (secara sosiologis, bukan politis)
perempuan masih dianggap kelas dua. Dalam keadaan demikian, perempuan
meminta keistimewaan dan mendapat perlindungan dari laki-laki. Pengusaha atau
sarjana perempuan tidak pernah menonjolkan prestasi mereka lebih besar daripada
kenyataan bahwa mereka adalah perempuan.
Jika kondisi itu dipertahankan maka sangat sulit untuk menciptakan tokoh
pemimpin perempuan (Aisyiah) yang mampu berkompetisi dengan pemimpin lakilaki
(Muhammadiyah). Artinya, anggota perempuan dihargai karena
keperempuanannya, bukan kompetensinya. Hal itu jelas merupakan pembagian
yang sexist, yang memang sangat mendasar tetapi sekaligus naif karena hanya
memperhatikan jenis kelamin manusia. Untuk itu, organisasi besar semacam
Muhammadiyah, HMI, dan IMM yang tentunya berorientasi pada intelektual dan
profesional, kiranya pembagian seksis itu perlu dikaji ulang, karena sudah tidak
relevan lagi dengan eksistensi kaum kontemporer sekarang.
Tegasnya, sudah asaatnya para tokoh ―perempuan perkasa― Aisyiah
selayaknya mampy berkompetisi dengan para tokoh Muhammadiyah dalam
Muktamar Muhammadiyah. Sehingga, PP Muhammadiyah pasca-Muktamar ke-43
tahun 2010/Satu Abad Muhammadiyah kelak diisi oleh para putra dan putri
Muhammadiyah yang benar-benar memiliki kapabilitas, akseptabilitas, dan
akuntabilitas dalam kepemimpinannya tanpa memandang laki-laki- atau perempuan.
Siapa pun baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kompetensi dapat
menduduki PP Muhammadiyah, tidak terjadi lagi dikotomi PP Muhammadiyah dan
PP Aisyiah yang bersifat konsesif. Itulah yang dimaksud gerakan perempuan
Muhammadiyah bergerak dari konsesi menuju ke profesionalisasi. Tampaknya untuk
menuju terwujudnya hal itu diperlukan keberanian semua pihak untuk melakukan
inovasi tanpa harus nerhenti pada romantisme lama. 10
Kemerdekaan politis itu belum menyelesaikan segala persoalan hubungan
laki-laki-perempuan. Meminjam retorika populer, maka tugas utama perempuan
Indonesia sekarang adalah mengisi kemerdekaan politik yang telah dicapai, dengan
meningkatkan politik yang telah dicapai itu dapat benar-benar menjadi realitas, bukan
kualitas intelektual dan kemampuan, bukan lagi emansipasi. Sebab, sekali lagi
emansipasi itu sudah tidak relevan lagi. Jadi, yang diperlukan sekarang adalah
bagaimana kaum perempuan mengejar ketertinggalannya dari laki-laki dari
berbagai aspek agar kemerdekaan sekedar mitos.
Sesungguhnya kini telah berlaku suatu kompromi antara laki-lakiperempuan.
Kompromi itu menampung kepentingan mereka bersama --dan ini
sulit untuk dibantah-- yang dalam bahasa kebudayaan yakni untuk mencapai
kebahagiaan. Untuk itulah perempuan harus membuat kesepakatan dan transaksi
dengan laki-laki. Transaksi ini harus terjadi, karena feminisme radikal yang
menjauhkan perempuan dari laki-laki tidak (atau belum) dapat diterima di Indonesia.
Karena itu, perempuan harus maju bersama dengan laki-laki yang --mau tak mau--
dominan. Perempuan sebagai pendamping laki-laki inilah yang kemudian oleh
pemerintah dijadikan "Ideologi nasional resmi" untuk menangani politik perempuan.
Munculnya Menteri Negara Urusan Peranan Perempuan mudah dipahami dari
kacamata ini.
6. Kepemimpinan Perempuan ke Depan
Berbeda dengan masa-masa lalu ketika organisasi perempuan tumbuh subur
sebagai mitra organisasi kaum laki-laki, gerakan kaum perempuan ke depan akan
lebih dinamis karena berkompetisi dengan kaum laki-laki dalam satu organisasi. Hal
itu dapat dipahami mengingat pada masa depan kaujm peremopuan semakin mandiri
dengan eksistensinya yang makin kokoh.
Pada masa Orde Baru kepemimpinan perempuan dengan segala organisasi
dan gerakannya, justru dianggap kehilangan peran dan signifikansinya dalam
pergulatan menentukan arah transformasi sosial budaya yang tengah berlangsung
dalam masyarakat kita. Selain kondisi politik masa Orde Baru yang cenderung
menghindari daya kritis dan inovatif mereka, secara internal kepemimpinan
perempuan juga mengalami masalah. Pada organisasi-organisasi tua dan aktivisnya, 11
perasaan telah menyelesaikan tugas akhirnya menjadikan mereka merasa sudah
waktunya pensiun. Jika organisasinya tidak bubar dan masih melakukan berbagai
aktivitas, pada intinya perhatian mereka banyak terfokus pada romantisme masa lalu
dengan mengelus dan mengagumi keberhasilan perjuangannya. Mereka sibuk
membongkar pasang pasal-pasal hak keperempuanan dalam perkawinan, kegiatan
khas keperempuanan, seolah-olah zaman tidak bergerak dan permasalahan yang
dihadapi kepemimpinan perempuan masih sama dengan abad XIX atau sebelumnya.
Masyarakat kita sekarang sedang mengalami suatu proses perubahan yang
sangat cepat menuju masyarakat industri. Proses itu telah memunculkan modal
besar sebagai kekuatan baru, di samping birokrasi dan militer. Ketiga kekuatan
dominan itulah, yang dengan uang, kekuasaan, dan kekuatan, saat ini menentukan
hampir segala aspek kehidupan dalam masyarakat.
Kecenderungan utama masyarakat industri adalah komoditasi, termasuk
komoditasi manusia. Dengan bantuan teknologi yang maju pesat, kekuatankekuatan
dominan telah menjadi mayoritas masyarakat sebagai komoditi yang
lemah posisinya dan konsumen yang pasif. Mayoritas perempuan, karena kondisi
dan kapasitasnya yang cenderung lebih tertinggal dibanding laki-laki dalam banyak
faktor penting, telah menjadi pihak yang paling rentan sebagai komoditi. Masalah
TKW, buruh perempuan di sektor industri, dan para pekerja seks di industri
pariwisata, adalah wajah bopeng dari permasalahan perempuan dewasa ini. Dalam
peran sebagai konsumen, perempuan juga menduduki posisi penting sebagai objek
utama. Iklan-iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik adalah contoh yang
tidak berlebihan dalam konteks ini.
Banyak perempuan yang dengan demikian mudah menyediakan diri menjadi
objek bagi masyarakat laki-laki dan ―menjual diri‖ dengan memamerkan kecantikan,
aurat, dan kemolekan tubuhnya yang indah kepada publik dalam iklan atau promosi
industri. Hal itu dilakukan semata-mata demi memproleh segepok uang tanpa
mempedulikan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang semestinya menjunjung
tinggi kemanusiaan, harga diri, dan eksistensinya. Sebuah perilaku yang ironis bahkan
kontraproduktif dipandang dari perspektif gender yang ingin memperjuangkan
kesetaraan laki-laki dengan perempuan sebagai subjek dengan subjek, bukan subjek
dengan objek.12
7. Purna Wacana
Mengakhiri pembicaraan ini, perlu dikemukakan bahwa pada dasarnya
fenomena geraka perempuan Indonesia, termasuk perempuan Muhammadiyah, kini
mengalami pergeseran. Gerakan perempuan kontemporer menunjukkan perubahan
yakni dari konsesi (dulu) ke profesionalisasi (kini). Hanya permasalahannya,
seberapa jauh perempuan mampu memanfaatkan peluang itu dengan memiliki
kemampuan untuk berkompetisi dengan laki-laki. Jika ternyata tokoh-tokoh
perempuan kalah bersaing sehingga posisi kepengurusan PP Muhammadiyah
diduduki mayoritas laki-laki, maka bukan berarti kepemimpinan perempuan belum
diakui, melainkan tak lebih dari kemampuannya yang masih kalah dengan laki-laki.
Kemandirian perempuan, baik dalam sikap maupun dalam memenuhi
kebutuhan sendiri, merupakan modal paling penting dalam mewujudkan gerakan dan
kepemimpinan perempuan Indonesia yang prospektif. Untuk itu, mau tak mau
perempuan harus mampu berkompetisi dengan laki-laki dengan meningkatkan
kualitas diri baik dalam intelektual, organisasi, kepemimpinan maupun
kemampuan lain, jika tak ingin perempuan dianggap kelas dua. Karena, pada
gilirannya, --dan kini sudah tampak-- kepemimpian perempuan tidak lagi
konsensional atau bersifat politis melainkan profesional. Kaum perempuan sudah
saatnya berkompetisi dengan kaum laki-laki dalam suatu organisasi sehingga tidak
lagi dikotomik.
Untuk itu, agaknya sudah saatnya dilakukan rekonseptualisasi dan
restrukturisasi pada organisasi-organisasi semacam Muhammadiyah, HMI, IMM,
dan sebagainya yang masih --langsung atau tidak langsung-- membuat dikotomi
laki-laki-perempuan. Akan lebih baik jika tidak ada Aisyiah, KOHATI, atau
IMMAWATI, yang ada adalah Muhammadiyah, HMI, dan IMM dengan
kepengurusan yang diduduki oleh para tokoh profesional baik laki-laki maupun
perempuan. Sebab dengan demikian tokoh pemimpin perempuan akan berkompetisi
dengan laki-laki dalam satu organisasi dan akan dapat membuktikan dirinya
mampu menjadi mitra laki-laki, bukan lagi sekadar suplemen laki-laki. Atau,
perempuan bukan sekadar sebagai pelengkap penderita? Bagaimana para Kartini dan
Aisyiah muda, siapkah untuk berkompetisi dengan laki-laki dalam Muktamar 13
Muhammadiyah ke-46 tahun 2010 ini? Jawabannya tentu terpulang pada eksistensi
kaum perempuan itu sendiri.
Daftar Pustaka
A.M., Ali Imron. 1995. "Signifikansi Ilmu-ilmu Humaniora dalam Pembangunan
Bangsa: Perspektif 50 Tahun Indonesia Merdeka". Orasi Ilmiah pada Upacara
Wisuda Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, tanggal 12 Agustus
1995.
Gailey, Christine Ward. 1987. "Evolutionary Perspectives on Gender Jierarchy"
dalam Beth B. Hess dan Myra Marx Ferree, Eds. Analyzing Gender, a
Handbook of Social Science Research. Sage Publications, Inc.
Hafidz, Wardah. 1995. "Sumbangan Gerakan Perempuan dalam Proses Demokratisasi
Masyarakat Indonesia" dalam Fauzi Ridjal dkk. (Ed.). Dinamika Gerakan
Perempuan di Indonesia Yogyakarta: Yayasan Hatta.
Jassin, H.B. 1978. Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan.


ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar