Sabtu, 06 Desember 2014

Dialog Perempuan: Quo Vadis Arah Gerakan Perempuan di Indonesia



Antin Lathifa Menyampaikan Materinya
Justisia.com -wildan sebagai ketua forum silaturrahmi An-Nisa '(FOSIA) IAIN Walisongo mengungkapkan bahwa pemahaman tentang gender perlu disosialisasikan. Tentang Persamaan derajat dan kondisi antara laki-laki dan perempuan tentang kalkulasi gaji dalam pekerjaan.
"Wacana kesetaraan gender perlu disosialisasikan, hal ini berguna untuk memberikan pemahaman terhadap kaum perempuan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama, hal ini bisa diaplikasikan dalam kalkulasi gaji kerja. Dan sebagainya. "Tuturnya pada saat sambutan dalam pembukaan acara seminar bertema" Quo Vadis Arah Gerakan Perempuan di Indonesia ". Selasa (29/04/2014).
Acara bertempat di Auditorium 1 Kampus 1 IAIN Walisongo. Dimulai pukul 08.00 Wib. Acara bertajuk "dialog perempuan" ini dihadiri oleh Anthin latifah (Pembina FOSIA), Witi Muhtari (Lembaga Kajian gender dan HAM / LKJHAM).
Anthin mengatakan, ada empat realita ketimpangan yang dialami kaum wanita di Indonesia. Setidaknya ada empat hal yang harus digaris bawahi. Pertama, faktor ekonomi yang berlingkup ke pasar. Pasar didominasi oleh kaum perempuan. Namun dalam praktik kepemimpinan atau top leader kaum wanita masih belum dapat bagian. Mereka hanya menjadi pelaku pasar namun tidak dipercaya sebagai pemain pasar. Kedua, wanita dalam perkembangan sistem politik demokrasi. UU No. 15 tahun 2011 yang berisi kuota 30% untuk kaum wanita duduk di kursi parlemen, masih kurang maksimal. Rata-rata setiap parpol hanya mengkader 29,4% atau bahkan hanya beberapa persen saja.      
Begitu pun, mereka (wanita) ketika menjabat hanya dianggap sebagai syarat pemenuhan UU, atau kurang mempertimbangkan kredibilitas kaum wanita.
"Sehingga terbentuk anggota parlemen yang difungsikan untuk penggenap saja." Tutur Antin ditengah-tengah materi yang disampaikannya.
Diskriminasi masih sering ditemukan pada kaum perempuan, karena peran perempuan masih dianggap rendah dibandingkan perempuan.
"Untuk realita nomor tiga dan empat, yaitu: pendidikan, dan seni budaya. Peran wanita masih dianggap rendah dibanding dengan kaum laki-laki. Ada juga diskriminasi terselubung lantaran perbedaan fisik semata "Tambahkan Antin
Berlanjut, Anthin menegaskan bahwa perempuan hanya membutuhkan akses, peran, keadilan, serta melakukan, atau lebih disebut "APKM" oleh Anthin. Melalui empat aspek tersebut, sebenarnya wanita mampu untuk melakukan, seperti yang dilakukan oleh kaum pria. Kadang ke-empat aspek tersebut sering terkendala ideologi budaya dan stigma masyarakat yang belum tentu benar, tentang peran wanita yang dianggap kurang cakap. Sehingga kurang komprehensif pula hasilnya.
"Sebelum kita men g klaim  terlebih dahulu harus mengetahui wurud nya. Karena semua dalil yang terbilang mendiskreditkan wanita ada asal-muasalnya, tidak langsung mengkotomikan kerja wanita karena kebiasaan dan kelemahan fisik. "Terangnya kepada peserta seminar. 
Wanita selalu mengalah, wanita tidak pernah menuntut sebelum dia benar-benar merasa disakiti. "Realita wanita yang sekarang banyak menggugat di pengadilan, entah masalah rumah tangga atau lainnya, sebenarnya dikarenakan mereka memang merasa tertindas. Ambilah contoh gugat cerai oleh wanita, realita yang ditemukan, penggugat (wanita) mengaku sudah bertahun-tahun memendam masalah sampai sudah tidak tahan untuk segera menggugat. "Ungkap Witi.
"Dialog perempuan ini pun, dilatar belakangi oleh realita-realita seorang perempuan yang ingin hidup setara dengan kaum adam, kesetaraan gender-lah. Maka, dengan gerakan seperti dialog, aksi refleksi unuk perempuan merupaan bentuk kepedulian kaum kita yang masih hidup dalam dikriminasi. Meskipun sekarang nasib perempuan sudah lebih sisa dari pada dulu, namun masih sangat kentara ketidak adilan tersebut. "Tambahkan Witi dalam presentasinya.
Memang setiap masalah yang didiskusikan dan dibahas secara kritis, merupakan suatu masalah yang perlu pemecahan, "seperti masalah gender ini." Kata Arif Budiman yang juga sebagai Wakil Dekan III dan bertugas membuka acara seminar tersebut.
Itu persis seperti hal yang dilakukan Jaya Suprana tempo dulu, yang sering mendiskusikan masalah-masalah yang membelenggu negara ini. Seperti dikriminasi, kekerasan, dan korupsi. "Saya masih sangat mengingatnya." Tandasnya. (Cokro / [j] ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar