RELASI
GENDER DALAM ISLAM
Diakui atau tidak, image bahwa perempuan adalah
mahluk nomor dua setelah laki-laki, masih begitu kuat mengakar dalam kehidupan
sosial kita. Konsekuensi dari pandangan tersebut, seringkali menempatkan
perempuan pada posisi yang kurang diuntungkan, secara hukum, sosial maupun politik.
Dalam kehidupan rumah tangga, perempuan seringkali (tidak selalu)
menjadi korban pelanggaran hukum dalam bentuk kekerasan baik phisik
maupun psikis, yang dilakukan oleh suami yang mestinya melindunginya.
Cukup banyak kasus yang bisa dijadikan contoh dari media baik televisi
maupun media cetak lainnya.
Islam sebagai agama rahmat, melihat kehadiran dan kedudukan
laki-laki dan perempuan adalah sama dan satu-satunya ukuran untuk membedakan
antara satu manusia dengan manusia lainnya—jadi, bukan antara laki-laki dan
perempuan—hanyalah kadar ketakwaan. Allah berfirman dalam
Q.S. al-Hujurāt (49): 13, yang artinya: “Wahai manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah, ialah orang yang paling takwa. Sungguh, Allah Mahamengetahui lagi
Maha teliti”. Mahmūd Saltūt dalam bukunya Min Tawjīhāt
al-Islām, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, menyatakan bahwa, tabiat
kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan sama. Allah telah
menganugrahkan kepada perempuan—sebagaimana menganugerahkan kepada
laki-laki—potensi dan kemampuan yang cukup. Karena itu, hukum-hukum syariat pun
meletakkan keduanya dalam satu kerangka.
Penegasan Al-Qur’an bahwa laki-laki bertanggung jawab atas
perempuan, menurut pemikiran ini, tidak tepat dijadikan legitimasi
dominasi laki-laki atas perempuan, karena ayat tersebut berbicara dalam konteks
kehidupan rumah tangga. Ayat tersebut lebih tepat bila diletakkan dalam
perspektif pembagian tugas antara suami-istri. Pemberian hak kepemimpinan dalam
rumah tangga kepada laki-laki, menurut Quraish, bukan atas alasan gender,
tetapi atas dua alasan, yaitu karena adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada
suami yang lebih menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga dan adanya
kewajiban pemberian nafkah kepada istri dan anggota keluarga.
Tidak jarang, idiom-idiom agama dijadikan alat legitimasi bagi kekerasan
terhadap perempuan, padahal agama memiliki ajaran suci yang menghargai harkat
dan martabat manusia tanpa membedakan jenis kelamin maupun warna kulit. Agama
memang mengajarkan ketaatan perempuan (istri) kepada suami sebagai konsekuensi
dipilihnya laki sebagai pemimpin rumah tangga. Kepemimpinan laki-laki dalam
rumah tangga didasari tanggung jawabnya terhadap kewajiban
tanggungjawab atas kelangsungan sebuah bangunan rumah tangga, termasuk nafkah.
Namun demikian, hubungan laki-laki-perempuan dalam bentuk ikatan suami-istri
itu bukanlah hubungan yang ”atas-bawah”, namun lebih dimaksudkan
sebagai hubungan fungsional yakni menjalankan fungsi masing-masing.
Asal Kejadian Perempuan
Lambatnya
perubahan pola pikir masyarakat (mindset) terhadap persamaan gender,
sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan yang berkembang tentang asal usul
kejadian perempuan. Hampir semua agama, mengabarkan bahwa asal usul manusia,
berasal dari dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, asal mula
manusia laki-laki bernama Adam, sedangkan asal mula manusia perempuan bernama
Hawa. Allah menjelaskan ; Wahai manusia bertaqwalah kamu kepada Allah yang
telah menjadikan kamu dari jenis yang satu. Secara tegas ayat tersebut
menjelaskan bahwa kejadian manusia (laki-laki dan perempuan) berasal dari jenis
yang sama (nafs wahidah), dan dari keduanya itu Allah mengembang
keturunannya baik laki-laki maupun perempuan.
Lalu bagaimana dengan pandangan yang dinisbahkan kepada agama
bahwa kejadian perempuan diambil dari tulang rusuk Adam? Kita tidak menampik
kenyataan banyak diwayat yang ditulis dalam kitab-kitab tafsir maupun yang
lainnya bahwa kejadian Hawa berasal dari tulang rusuk Adam yang diambil
ketika ia tertudur dalam sorga. Untuk mendapatkan jawaban, kita harus melakukan
penelusuran secara arif, melalui sejarah agama-agama jauh sebelum Islam datang.
Semua agama samawi telah memberitakan asal kejadian manusia
berasal dari laki-laki dan perempuan. Baik Yahudi, Kristen dan Islam
memberitakan bahwa laki-laki (Adam) diciptakan terlebih dahulu dari pada
perempuan. Dalam Bibel ditegaskan bahwa perempuan (Hawa/Eva), diciptakan dari
tulang rusuk Adam. Kitab Kejadian (Genesis) 1:26-27, 2:18-24,
Tradisi Imamat 2:7, 5:1-2. Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antaranya yang paling jelas
ialah Kitab Kejadian 2:21-23: "21 Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu
tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari
padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22 Dan dari rusuk yang diambil
Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya
kepada manusia itu". Dalam literatur Yahudi disebutkan bahwa
Hawwa (Eva) adalah pasangan kedua (the second wife). Pasangan
pertama Adam ialah Lillith, ia diciptakan dari tanah bersama-sama dengan Adam
dalam waktu bersamaan. Lillith tidak mau menjadi pelayan (helper) Adam
lalu ia meninggalkan Adam. Adam kemudian merasa sepi di sorga lalu Tuhan
menciptakan pasangan barunya, Hawa dari tulang rusuknya sebagai pelayan baru (the
new helper). Secara normative, konsep dasar kejadian perempuan
berasal dari tulang rusuk berasal dari informasi kitab suci agama
samawi sebelum Islam, (Kristen dan Yahudi), sedangkan al-Qur’an hanya
menjelaskan bahwa kejadian manusia berasal dari satu jenis (min nafs wahidah).
Lalu bagaimana dengan informasi yang berasal dari sumber al-Hadis?
Dalam hadis riwayat imam Bukhari dan imam Muslim, disebutkan riwayat
bahwa nabi Muhammad bersabda yang mafhumnya ; “Hendaklah kamu selalu
berwasiat kepada perempuan agar berbuat kebaikan, karena mereka diciptakan
dari tulang rusuk yang membengkok”. Hadis ini tidak dibantah oleh sebagian
besar ahli hadis sebagai hadis yang shahih, sehingga dapat dijadikan hujjah.
Akan tetapi pemaknaan hadis tersebut secara literlijke nampaknya
terpengaruh oleh pemahaman agama di luar Islam, sehingga sebagian besar
ummat Islam sendiri membawa pada makna bahwa asal kejadian perempuan adalah
dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Di sinilah tetak distorsi pemahaman antara
informasi al-Qur’an dan pemahaman manusia.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam tafsir Al-Manar, menulis:
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab
Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman
di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam
benak seorang Muslim. Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian
majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadits tersebut memperingatkan para lelaki
agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan
kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak
disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka
tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka
berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk
yang bengkok.
Memahami hadis dengan pengertian yang demikian, akan mempertegas
terhadap kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak
lahir, sebagaimana disinggungAllah dalam QS Al-Isra' ayat 70 (walaqad
karramna bani adam wahamalnahu fi al-barri wa al-bahr). Kalimat ”anak-anak
adam” mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Allah,
mencakup keseluruhan manusia, baik perempuan maupun lelaki. Tak ada perbedaan
antara mereka dari segi asal kejadian dan kemanusiaannya. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal, baik laki-laki maupun perempuan (QS 3:195).
Pandangan masyarakat yang mengakar kepada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya
mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih
bila memperoleh anak perempuan. Firman Allah; ”Dan apabila seorang dari
mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah
wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu.
(Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa
yang mereka tetapkan itu”.
Dengan turunnya ayat di atas, maka al-Quran mengikis habis segala
macam pandangan yang membedakan laki-laki dengan perempuan, khususnya dalam
bidang kemanusiaan. Islam menempatkan
kedudukan perempuan sama mulianya dengan laki-laki, karena keduanya diciptakan
dari jiwa yang sama (min nafs wahidah). Al-Quran mendudukkan perempuan
pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan
keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.
Kesenjangan Interpretasi
Secara normatif, al-Qur’an maupun al-Hadis telah meletakkan
dasar-dasar hubungan laki-laki-perempuan secara seimbang. Akan tetapi
dalam implementasinya terjadi interpretasi yang tidak berbanding lurus dengan
nilai yang dikehendaki oleh kedua sumber tersebut. Secara sosiologis,
Islam (al-Qur’an) hadir di tengah-tengah masyarakat yang patriarkhi, di mana dominasi
laki-laki lebih kuat, dan bahkan tidak jarang norma-norma sosial secara
sengaja memberikan ruang gerak yang membuka peluang image rendah terhadap
perempuan. Pandangan terhadap perempuan yang demikian rendah tercermin
dalam bentuk, misalnya, tidak terbatasnya hak laki-laki dalam talak, perlakuan
yang berlebihan terhadap istri yang sedang menstruasi (haid), tidak
adanya persamaan hak dalam kehidupan rumah tangga. Keadaan sosial
tersebut praktis menempatkan posisi perempuan sangat lemah.
Langkah-langkah yang dilakukan al-Qur’an untuk memberi
perlindungan hukum terhadap perempuan tercermin sebagai berikut; Pertama,
melakukan pembatasan jumlah talak. Talak pada zaman jahiliyah (sebelum
datangnya Islam) sering dijadikan cara (instrumen) menyiksa wanita,
dengan menjadikan wanita bagai “bergantung tak bertali”. Sebelum
Islam datang, suami dapat menceraikan istrinya kapan saja dan
di mana saja dia suka, tidak ada batasan jumlah talak, dan ia mengantongi hak
talak seberapa dia inginkan. Karena demikian kuat dan luasnya kekuasaan
suami atas istrinya, sehingga seakan-akan tidak ada aturan yang bisa membatasi
kekuasaan itu.
Imam ibn Kasir dan al-Tabarī, dalam masing-masing tafsirnya
menjelaskan bahwa berdasarkan riwayat Hisyām bin ‘Urwah, tradisi sebelum ayat
tersebut turun, suami dapat mentalak istrinya sekehendaknya, kemudian ia akan
merujuknya sebelum habis masa iddahnya, maka suatu ketika seorang suami dari
kalangan anshar marah-marah terhadap istrinya, sehingga ia berkata, "Saya
tidak akan mendekatimu dan tidak pula melepaskanmu". Istrinya lalu
bertanya, “Bagaimana bisa begitu?”, Lalu suami tersebut menjelaskan, “Aku
talak kamu, hingga ketika iddahmu hampir habis, ku rujuk lagi, lalu aku
talak lagi dan ku rujuk lagi”. Kejadian itu lalu diadukan kepada Rasulullah
saw, maka turunlah ayat 229 dari QS al-Baqarah..
Ibnu Kasīr memberikan penjelaskan bahwa ayat tersebut turun
berkenaan dengan kebiasaan yang terjadi di masyarakat pada awal permulaan
Islam, yakni suami lebih mempunyai hak rujuk selama masih dalam iddah,
sekalipun ia telah mentalaknya seratus kali. Kenyataan itu sangat menganiaya
para istri, sehingga Allah membatasi hanya tiga talak, untuk talak satu dan dua
tergolong talak raj’ī, sedangkan talak yang ketiga menjadi talak bā'in,
seperti firman Allah; "Talak (yang dapat dirujuk) yaitu dua kali,
setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf,
atau menceraikan dengan cara yang baik".
Pada mulanya umat Islam merasa terkejut dengan pembatasan hak
talak bagi suami, akan tetapi karena landasan keimanan yang dimiliki telah
terbangun secara kokoh, maka ketentuan tersebut diterima dengan penuh ketaatan.
Sejak turunnya ayat tersebut, suami tidak leluasa lagi menjatuhkan talaknya dan
sekaligus para istri menjadi terlindungi dari kesewenang-wenangan suami.
Kedua, menghilangkan tindakan
berlebihan terhadap istri dalam pergaulan hidup rumah tangga, misalnya, pada
saat haid. Melalui argumentasi rasional, al-Qur’an menjelaskan bahwa menstruasi
adalah biologis yang bersamanya keluar kotoran yang tidak baik bagi
kesehatan wanita, maka para istri masih tetap dapat bersama-sama
dalam satu rumah dengan suami, hanya saja yang harus ditinggalkan adalah
berhubungan badan. Allah berfirman; ”Dan mereka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang wanita yang haid, katakanlah itu adalah sesuatu yang kotor,
maka tinggalkanlah (berhubungan badan) pada saat istri sedang haid, dan jangan
dekati mereka sebelum mereka suci, dan apabila mereka telah suci, maka
gaulilah sebagaimana Allah telah perintahkan”.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa pertanyaan tersebut muncul
di Madinah, yang pada waktu itu terjadi akulturasi budaya antara
orang-orang Arab dan Yahudi. Orang-orang Yahudi sangat berlebihan dalam
memperlakukan wanita haid. Pada saat istri haid, mereka tidak mau menemani
makan, minum, dan berbincang-bincang bersama. Menurut pandangan mereka, orang
yang menyentuh wanita haid di hari haidnya, berarti ia terkena najis, jika
suami tidur bersama istrinya yang sedang haid, kemudian ia menyentuhnya, maka
ia najis sampai tujuh hari lamanya.
Orang-orang jahiliyah mengikuti tradisi warisan Yahudi dalam hal
menjauhkan wanita-wanita haid dari pergaulan hidup sehari-hari. Ketika perkara
tersebut ditanyakan kepada Nabi Muhammad dan kemudian turun ayat untuk
menjelaskan hal tersebut, banyak komentar miring yang disampaikan orang-orang
Yahudi, di antaranya adalah tuduhan bahwa Nabi Muhammad hanyalah ingin
menentang kebiasaan Yahudi. Dengan demikian, budaya Yahudi yang kemudian
diikuti oleh Arab jahiliyah terpatahkan oleh kandungan ayat tersebut.
Dalam tafsir Fath al-Qadīr, dipertegas tentang
maksud فاعتزلوا النساء في المحيض, yaitu meninggalkan hubungan badan
(jimā') bukan meninggalkan duduk-duduk bersama, bahkan diperbolehkan
bersenang dengan anggota badannya, selain farj.
Ketiga, larangan menyusahkan
istri yang dicerai. Konsistensi hukum Islam untuk menghilangkan kemungkinan
tindakan kesewenang-wenangan salah satu pihak demi tercapainya keseimbangan
hubungan suami-istri tidak saja di saat ikatan perkawinan berlangsung, tetapi
juga juga saat ikatan perkawinan tidak bisa lagi dipertahankan dan harus
diakhiri dengan perceraian. Suami tidak lagi secara bebas melakukan
tindakan menurut keinginannya, namun harus mengikuti rambu-rambu yang telah
digariskan oleh hukum, yaitu hendaknya talak dijatuhkan dalam waktu yang
diperbolehkan. Hukum Islam berkepentingan mengklasifikasi talak yang dijatuhkan
suami kepada bentuk talak sunnī dan talak bid’ī dengan tujuan
agar istri tidak teraniaya dengan masa penantian (iddah) untuk mengetahui bersihnya
kandungan (istibrā' al-rahmi) dalam jangka waktu yang lama.
Dinamakan talak sunnī, karena merupakan talak yang dibolehkan,
yakni talak dijatuhkan sedangkan istri dalam keadaan suci dan tidak digauli
dalam masa suci itu. Dinamakan talak bid'ī karena merupakan talak yang
dilarang, yakni menjatuhkan talak pada saat istri dalam keadaan haid atau dalam
keadaan suci yang telah digauli.
Bentuk penjatuhan talak yang diperselisihkan ulama sebagai talak sunnī,
antara lain talak dalam masa iddah namun diikuti dengan talak berikutya, talak
tiga dijatuhkan sekaligus, dan talak dalam masa hamil. Talak yang dijatuhkan
pada masa iddah dan kemudian diikuti dengan talak berkutnya, menurut Imām
Mālik, tidak termasuk talak sunnī, sedangkan menurut Abū Hanīfah termasuk
talak sunnī. Adapun talak tiga yang dijatuhkan sekaligus menurut Imām
Mālik termasuk talak sunnī, adapun menurut Imām al-Syāfi’ī masih
termasuk talak sunnī. Alasan Imām al-Syāfi’ī, karena selama talak yang
diucapkan suami pada saat istri dalam keadaan suci dan tidak digauli saat suci
tersebut, talaknya adalah talak sunnī. Sedangkan talak yang dijatuhkan
pada saat istri hamil menurut jumhur ulama termasuk talak sunnī. Alasan
yang dikemukakan jumhur ulama adalah talak tersebut tidak menyebabkan
perpanjangan masa iddah, karena bagaimanapun juga iddahnya sampai istri
melahirkan. Menurut ‘Alī al-Sābūnī, berdasarkan hadis Ibnu ‘Umar, ulama
bersepakat bahwa talak pada waktu haid merupakan perbuatan yang dilarang. Oleh
karena itu, bila suami mau menceraikan istri, hendaklah talak yang dijatuhkan
adalah talak sunnī.
Meskipun Islam melalui
al-Qur’an telah meletakkan dasar penghargaan secara proporsional kepada
perempuan, namun tidak demikian hal implementasinya dalam kehidupan sosial.
Fakta sejarah memang menunjukkan bahwa para interpretator nash normatif banyak
diwarnai oleh ulama laki-laki. Apakah keadaan yang demikian ini , ikut
mendorong masuknya unsur subjektivitas, kemudian menjadi faktor terabaikannya
norma relasi gender dalam Islam, perlu kajian lebih khusus.
Menurut Ziba Mir Hosseni
yang dikutip oleh Abdul Sattar, perempuan jarang mengambil peran dalam
perdebatan pemikiran fikih karena masih dianggap sebagai wilayah
laki-laki. Menurut Ziba, masyarakat kini telah memasuki era kesadaran
gender, bahkan dalam urusan politik sekalipun. Leila Ahmed juga
menegaskan bahwa kini menjadi moment yang tepat ketika perempuan menjadi bagian
dari komunitas intelektual muslim, melakukan pencerahan terhadap hukum Islam
yang tempo dulu dielaborasi dalam bentuk-bentuk yang yang otoritatif.
Tatanan sosial yang memasuki era perubahan secara tidak langsung membutuhkan
rekonstruksi epistemologi terhadap semua hal dan semua segi kehidupan.
Spirit Keadilan di Lembaga Peradilan
Teori
kekuasaan negara, baik tradisional maupun modern, mamandang keberadaan lembaga
peradilan sebagai tempat penyelesaian sengketa dan merupakan kaharusan
yang mesti ada dalam sebuah kekuasaan negara. Khalifah ‘Umar bin
al-Khattāb menganggap keberadaan lembaga kehakiman (al-Qudhāt) melekat
sebagai kewajiban syara’. Hakim sebagai unsur penting pelaksana kekuasaan
kehakiman, memiliki kedudukan yang mulia, sekaligus tanggung jawab yang
amat berat. Bahkan, dari sudut kewenangan menjatuhkan hukum, baik
pidana maupun perdata, ia dianggap sebagai “wakil Tuhan” di muka bumi ini,
karena melalui putusan hakim, hak orang yang lemah dikembalikan dari
tangan mereka yang berbuat zalim, bahkan melalui putusan hakim pula
hak hidup seseorang bisa dihilangkan. Sebagai pemberi kata putus bagi
orang-orang yang bersengketa, keputusan hakim harus didasarkan keadilan, karena
melalui neraca keadilan hakim, kebenaran bisa kembali ditegakkan dan
masyarakat dikembalikan pada kehidupan yang harmonis.
Dalam
Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan menegakkan hukum dan
keadilan, bahkan tugas tersebut dipandang sebagai salah satu tugas
kenabian, seperti firman Allah dalam Q.S. Shad (38): 26, “Hai
Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di bumi,
maka berilah keputusan di antara mereka dengan adil”. Q.S. al-Nisā' (4):
65, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman, hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan dan
mereka menerima dengan sepenuhnya”. Q.S. al-Mā`idah (5): 49, “Dan
hendaklah kamu memutus perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah”. Q.S. al-Nisā’ (5): 105, “Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu, dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah menjadi penantang (orang-orang yang tidak
bersalah) karena membela orang-orang yang khianat”.
Dalam
sebuah Hadis riwayat Abū Dāwūd, Nabi Muhammad mengkalisifi hakim pada tiga
katagori: “Hakim itu terbagi menjadi tiga golongan, yang dua golongan masuk
neraka, sedangkan satu golongan masuk surga. Hakim yang mengetahui
kebenaran lalu menghukumi dengan kebenaran itu, dialah hakim yang masuk surga.
Hakim yang mngetahui kebenaran, kemudian menyeleweng dengan sengaja, maka dia
masuk neraka. Seorang hakim lagi yang masuk neraka adalah hakim
yang menghukum melaui kebodohannya.
Surat
khalifah ‘Umar bin al-Khattāb kepada Abū Mūsā al-Asy’arī yang menjadi
hakim di Kuffah memuat asas-asas pokok peradilan dalam
Islam. Dalam suratnya yang cukup panjang tersebut dapat dipetik prinsip-prinsip
peradilan sebagai berikut: (1) Menegakkan peradilan merupakan tuntutan agama
(farīdhatun muhkamatun wa sunnatun mutba’atun); (2) Hakim
bersifat pasif (tidak mencari perkara); (3). Persamaan kedudukan pihak-pihak
dalam hukum dan peradilan (āsī baina al-nās fī majlisika, wa fī wajhika, wa
qadā’ika); (4) Kewajiban pembuktikan dalam setiap perkara (al-bayyinah
‘alā al-mudda’ī wa al-yamīn ‘alā man ankara); (5) Kewajiban mendamaikan (wa
al-sulh jā’izun baina al-muslimīn); (6) Setiap muslim adalah adil sehingga
dapat menjadi saksi atas lainnya, kecuali mereka yang pernah memberikan
kesaksian palsu, dijatuhi hukuman had dan yang tidak jelas asal usulnya; (7)
Hakim wajib mengggali hukum terhadap hal-hal yang tidak ada hukumnya secara
jelas melalui ijtidad (fī mā udliya ilaika mimmā laisa fī al-Qur’ān wa lā
sunnatin summa qāyis al-umūra ‘inda żālika).
Campur tangan lembaga peradilan dalam masalah perceraian
telah menjadi keharusan, karena telah diatur secara tegas oleh peraturan
perundang-undangan. Pasal 39 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP) menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya yang dimaksud dengan
pengadilan oleh UUP, seperti dijelaskan oleh PP Nomor 9 Tahun 1975, adalah
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan negeri bagi
yang lainnya. Pasal 65 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, juga menyatakan bahwa percerian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah pengadilan yang berangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Keterlibatan lembaga yudikatif
dalam menangani masalah sengketa keluarga telah menjadi bagian dari sistem
ketatanegaraan di Indonesia.
Keterlibatan pengadilan dalam urusan problema keluarga menjadi
suatu keharusan, karena hak-hak yang ditegakkan dalam hukum keluarga adalah
hak-hak dasar manusia. Hak untuk membentuk keluarga, hak yang mengatur hubungan
orang tua dan anak, dan hak lain yang datur dalam hukum keluarga. Hak dan
kewajiban yang diatur dalam hukum keluarga, merupakan hak dan kewajiban menusia
yang paling mendasar. Banyak orang rela kehilangan semua harta bendanya, dengan
tujuan agar hak hukum keluarganya tidak dilanggar.
Salah satu jaminan Indonesia sebagai negara hukum adalah adanya
jaminan setiap warga negara dapat membela haknya sampai pada peradilan
tertinggi. Oleh karena itu, wacana pembatasan perkara hukum keluarga
(peceraian) hanya pada tingkat banding saja, patut direnung ulang. Pembatasan
perkara perceraian hanya sampai tingkat banding saja, itu sama maknanya
dengan menganggap hak dalam hukum keluarga lebih rendah dari hak hukum
kebendaan atau lainnya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar