Senin, 01 Desember 2014

RELASI GENDER DALAM ISLAM


RELASI GENDER DALAM ISLAM

Diakui atau tidak,  image bahwa perempuan adalah mahluk nomor dua setelah laki-laki, masih begitu kuat mengakar dalam kehidupan sosial kita. Konsekuensi dari pandangan tersebut, seringkali menempatkan perempuan pada posisi yang kurang diuntungkan, secara hukum, sosial maupun politik.  Dalam kehidupan rumah tangga, perempuan seringkali (tidak selalu)  menjadi korban pelanggaran hukum dalam bentuk kekerasan baik phisik maupun psikis, yang dilakukan oleh suami yang mestinya melindunginya.  Cukup banyak kasus yang bisa dijadikan contoh dari media baik televisi maupun media cetak lainnya.
Islam sebagai agama rahmat, melihat kehadiran dan  kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dan satu-satunya ukuran untuk membedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya—jadi, bukan antara laki-laki dan perempuan—hanyalah kadar ketakwaan.    Allah berfirman dalam  Q.S. al-Hujurāt (49): 13, yang  artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.  Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah  orang yang paling takwa. Sungguh, Allah Mahamengetahui lagi Maha teliti”.  Mahmūd Saltūt dalam bukunya  Min Tawjīhāt al-Islām, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, menyatakan bahwa, tabiat   kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan sama. Allah telah menganugrahkan kepada perempuan—sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki—potensi dan kemampuan yang cukup. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya  dalam satu kerangka.    
Penegasan Al-Qur’an bahwa laki-laki bertanggung jawab atas perempuan, menurut pemikiran ini, tidak tepat dijadikan  legitimasi dominasi laki-laki atas perempuan, karena ayat tersebut berbicara dalam konteks kehidupan rumah tangga. Ayat tersebut lebih tepat bila  diletakkan dalam perspektif pembagian tugas antara suami-istri. Pemberian hak kepemimpinan dalam rumah tangga kepada laki-laki, menurut Quraish, bukan atas alasan gender, tetapi atas dua alasan, yaitu karena adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga dan adanya kewajiban pemberian nafkah kepada istri dan anggota keluarga.  
Tidak jarang, idiom-idiom agama dijadikan alat legitimasi bagi kekerasan terhadap perempuan, padahal agama memiliki ajaran suci yang menghargai harkat dan martabat manusia tanpa membedakan jenis kelamin maupun warna kulit. Agama memang mengajarkan ketaatan perempuan (istri) kepada suami sebagai konsekuensi dipilihnya laki sebagai pemimpin rumah tangga. Kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga  didasari  tanggung jawabnya terhadap kewajiban tanggungjawab atas kelangsungan sebuah bangunan rumah tangga, termasuk nafkah. Namun demikian, hubungan laki-laki-perempuan dalam bentuk ikatan suami-istri  itu bukanlah hubungan yang ”atas-bawah”, namun lebih dimaksudkan sebagai hubungan fungsional yakni menjalankan fungsi masing-masing.
Asal Kejadian Perempuan
            Lambatnya perubahan pola pikir masyarakat (mindset) terhadap persamaan gender, sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan yang berkembang tentang asal usul kejadian perempuan. Hampir semua agama, mengabarkan bahwa asal usul manusia, berasal dari dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, asal mula manusia laki-laki bernama Adam, sedangkan asal mula manusia perempuan bernama Hawa. Allah menjelaskan ; Wahai manusia bertaqwalah kamu kepada Allah yang telah menjadikan kamu dari jenis yang satu. Secara tegas ayat tersebut menjelaskan bahwa kejadian manusia (laki-laki dan perempuan) berasal dari jenis yang sama (nafs wahidah), dan dari keduanya itu Allah mengembang keturunannya baik laki-laki maupun perempuan.  
Lalu bagaimana dengan pandangan yang dinisbahkan kepada agama bahwa kejadian perempuan diambil dari tulang rusuk Adam? Kita tidak menampik kenyataan banyak diwayat yang ditulis dalam kitab-kitab tafsir maupun yang lainnya bahwa  kejadian Hawa berasal dari tulang rusuk Adam yang diambil ketika ia tertudur dalam sorga.  Untuk mendapatkan jawaban, kita harus melakukan penelusuran secara arif, melalui sejarah agama-agama jauh sebelum Islam datang.  
Semua agama samawi telah memberitakan asal kejadian manusia berasal dari laki-laki dan perempuan. Baik Yahudi, Kristen dan Islam memberitakan bahwa laki-laki (Adam) diciptakan terlebih dahulu dari pada perempuan. Dalam Bibel ditegaskan bahwa perempuan (Hawa/Eva), diciptakan dari tulang rusuk Adam.   Kitab Kejadian (Genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi Imamat 2:7, 5:1-2. Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antaranya yang paling jelas ialah Kitab Kejadian 2:21-23: "21 Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22 Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu". Dalam literatur Yahudi disebutkan  bahwa Hawwa (Eva) adalah pasangan kedua (the second wife). Pasangan pertama Adam ialah Lillith, ia diciptakan dari tanah bersama-sama dengan Adam dalam waktu bersamaan. Lillith tidak mau menjadi pelayan (helper) Adam lalu ia meninggalkan Adam. Adam kemudian merasa sepi di sorga lalu Tuhan menciptakan pasangan barunya, Hawa dari tulang rusuknya sebagai pelayan baru (the new helper).   Secara normative, konsep dasar kejadian perempuan berasal dari tulang rusuk  berasal  dari informasi kitab suci agama samawi sebelum Islam, (Kristen dan Yahudi), sedangkan al-Qur’an hanya menjelaskan bahwa kejadian manusia berasal dari satu jenis (min nafs wahidah).
Lalu bagaimana dengan informasi yang berasal dari sumber al-Hadis?  Dalam hadis riwayat imam Bukhari dan imam Muslim, disebutkan riwayat bahwa nabi Muhammad  bersabda yang mafhumnya ; “Hendaklah kamu selalu berwasiat kepada perempuan agar  berbuat kebaikan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang membengkok”. Hadis ini tidak dibantah oleh sebagian besar ahli hadis sebagai hadis yang shahih, sehingga dapat dijadikan hujjah. Akan tetapi pemaknaan hadis tersebut secara literlijke  nampaknya terpengaruh oleh pemahaman agama di luar Islam, sehingga  sebagian besar ummat Islam sendiri membawa pada makna bahwa asal kejadian perempuan adalah dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Di sinilah tetak distorsi pemahaman antara informasi al-Qur’an dan pemahaman manusia.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim. Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadits tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Memahami hadis dengan pengertian yang demikian, akan mempertegas terhadap kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir, sebagaimana disinggungAllah dalam  QS Al-Isra' ayat 70 (walaqad karramna bani adam wahamalnahu fi al-barri wa al-bahr). Kalimat ”anak-anak adam”  mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Allah, mencakup keseluruhan manusia, baik perempuan maupun lelaki. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian dan kemanusiaannya. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik laki-laki maupun perempuan (QS 3:195).
Pandangan masyarakat yang mengakar kepada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran.  Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan. Firman Allah; ”Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu”.
Dengan turunnya ayat di atas, maka al-Quran mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan laki-laki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Islam menempatkan kedudukan perempuan sama mulianya dengan laki-laki, karena keduanya diciptakan dari jiwa yang sama (min nafs wahidah). Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.
Kesenjangan Interpretasi
Secara normatif, al-Qur’an maupun al-Hadis telah meletakkan dasar-dasar hubungan laki-laki-perempuan  secara seimbang. Akan tetapi dalam implementasinya terjadi interpretasi yang tidak berbanding lurus dengan nilai yang dikehendaki oleh  kedua sumber tersebut. Secara sosiologis, Islam (al-Qur’an) hadir di tengah-tengah masyarakat yang patriarkhi, di mana dominasi laki-laki lebih kuat, dan bahkan tidak jarang norma-norma sosial  secara sengaja memberikan ruang gerak yang membuka peluang image rendah terhadap  perempuan. Pandangan terhadap perempuan yang demikian rendah tercermin dalam bentuk, misalnya, tidak terbatasnya hak laki-laki dalam talak, perlakuan yang berlebihan terhadap istri yang sedang menstruasi (haid), tidak adanya persamaan hak dalam kehidupan rumah tangga.  Keadaan sosial tersebut praktis menempatkan posisi perempuan sangat lemah.
Langkah-langkah yang dilakukan al-Qur’an untuk memberi perlindungan hukum terhadap perempuan tercermin sebagai berikut;  Pertama, melakukan pembatasan jumlah talak. Talak pada zaman jahiliyah (sebelum datangnya Islam) sering dijadikan  cara (instrumen) menyiksa wanita,  dengan menjadikan wanita bagai “bergantung tak bertali”.  Sebelum Islam datang, suami dapat  menceraikan  istrinya  kapan saja dan di mana saja dia suka, tidak ada batasan jumlah talak, dan ia mengantongi hak talak seberapa dia inginkan.  Karena demikian kuat dan luasnya kekuasaan suami atas istrinya, sehingga seakan-akan tidak ada aturan yang bisa membatasi kekuasaan itu.  
Imam ibn Kasir dan al-Tabarī, dalam masing-masing tafsirnya menjelaskan bahwa berdasarkan riwayat Hisyām bin ‘Urwah, tradisi sebelum ayat tersebut turun, suami dapat mentalak istrinya sekehendaknya, kemudian ia akan merujuknya sebelum habis masa iddahnya, maka suatu ketika seorang suami dari kalangan anshar marah-marah terhadap istrinya, sehingga ia berkata, "Saya tidak akan mendekatimu dan tidak pula melepaskanmu". Istrinya lalu bertanya, “Bagaimana bisa begitu?”, Lalu suami tersebut menjelaskan,  “Aku talak kamu,  hingga ketika iddahmu hampir habis, ku rujuk lagi, lalu aku talak lagi dan ku rujuk lagi”. Kejadian itu lalu diadukan kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat 229 dari QS al-Baqarah..
Ibnu Kasīr memberikan penjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan kebiasaan yang terjadi di masyarakat pada awal permulaan Islam, yakni suami lebih mempunyai hak rujuk selama masih dalam iddah, sekalipun ia telah mentalaknya seratus kali. Kenyataan itu sangat menganiaya para istri, sehingga Allah membatasi hanya tiga talak, untuk talak satu dan dua tergolong talak raj’ī, sedangkan talak yang ketiga menjadi talak bā'in, seperti firman Allah; "Talak (yang dapat dirujuk) yaitu dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan  cara  yang  makruf,  atau  menceraikan dengan cara yang baik".  
Pada mulanya umat Islam merasa terkejut dengan pembatasan hak talak bagi suami, akan tetapi karena landasan keimanan yang dimiliki telah terbangun secara kokoh, maka ketentuan tersebut diterima dengan penuh ketaatan. Sejak turunnya ayat tersebut, suami tidak leluasa lagi menjatuhkan talaknya dan sekaligus para istri menjadi terlindungi dari kesewenang-wenangan suami.
Kedua, menghilangkan tindakan berlebihan terhadap istri dalam pergaulan hidup rumah tangga, misalnya, pada saat haid. Melalui argumentasi rasional, al-Qur’an menjelaskan bahwa menstruasi adalah biologis yang bersamanya keluar  kotoran yang tidak baik bagi kesehatan wanita, maka  para istri masih tetap dapat bersama-sama  dalam satu rumah dengan suami, hanya saja yang harus ditinggalkan adalah berhubungan  badan. Allah berfirman; ”Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang wanita yang haid, katakanlah itu adalah sesuatu yang kotor, maka tinggalkanlah (berhubungan badan) pada saat istri sedang haid, dan jangan dekati mereka  sebelum mereka suci, dan apabila mereka telah suci, maka gaulilah sebagaimana Allah telah perintahkan”.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa pertanyaan tersebut muncul di Madinah, yang  pada waktu itu terjadi akulturasi  budaya antara orang-orang Arab dan Yahudi. Orang-orang Yahudi sangat berlebihan  dalam memperlakukan wanita haid.  Pada saat istri haid, mereka tidak mau menemani makan, minum, dan berbincang-bincang bersama. Menurut pandangan mereka, orang yang menyentuh wanita haid di hari haidnya, berarti ia terkena najis, jika suami tidur bersama istrinya yang sedang haid, kemudian ia menyentuhnya, maka ia najis sampai tujuh hari lamanya.
Orang-orang jahiliyah mengikuti tradisi warisan Yahudi dalam hal menjauhkan wanita-wanita haid dari pergaulan hidup sehari-hari. Ketika perkara tersebut ditanyakan kepada Nabi Muhammad dan kemudian turun ayat untuk menjelaskan hal tersebut, banyak komentar miring yang disampaikan orang-orang Yahudi, di antaranya adalah tuduhan bahwa Nabi Muhammad hanyalah ingin menentang kebiasaan Yahudi.  Dengan demikian, budaya Yahudi yang kemudian diikuti oleh  Arab jahiliyah terpatahkan oleh kandungan ayat tersebut.    Dalam tafsir Fath al-Qadīr,  dipertegas tentang maksud فاعتزلوا النساء في المحيض,  yaitu  meninggalkan hubungan badan (jimā') bukan meninggalkan duduk-duduk bersama, bahkan diperbolehkan bersenang dengan anggota badannya, selain farj.
Ketiga, larangan menyusahkan istri yang dicerai. Konsistensi hukum Islam untuk menghilangkan kemungkinan tindakan kesewenang-wenangan salah satu pihak demi tercapainya keseimbangan hubungan suami-istri tidak saja di saat ikatan perkawinan berlangsung, tetapi juga  juga saat ikatan perkawinan tidak bisa lagi dipertahankan dan harus diakhiri dengan perceraian.  Suami tidak lagi secara bebas melakukan tindakan menurut keinginannya, namun harus mengikuti rambu-rambu yang telah digariskan oleh hukum, yaitu hendaknya talak dijatuhkan dalam waktu yang diperbolehkan. Hukum Islam berkepentingan mengklasifikasi talak yang dijatuhkan suami kepada bentuk talak sunnī dan talak bid’ī dengan tujuan agar istri tidak teraniaya dengan masa penantian (iddah) untuk mengetahui bersihnya kandungan (istibrā' al-rahmi) dalam jangka waktu yang lama.  Dinamakan talak sunnī, karena merupakan talak yang dibolehkan, yakni talak dijatuhkan sedangkan istri dalam keadaan suci dan tidak digauli dalam masa suci itu. Dinamakan talak bid'ī karena merupakan talak yang dilarang, yakni menjatuhkan talak pada saat istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci yang telah digauli.  
Bentuk penjatuhan talak yang diperselisihkan ulama sebagai talak sunnī, antara lain talak dalam masa iddah namun diikuti dengan talak berikutya, talak tiga dijatuhkan sekaligus, dan talak dalam masa hamil. Talak yang dijatuhkan pada masa iddah dan kemudian diikuti dengan talak berkutnya, menurut Imām Mālik, tidak termasuk talak sunnī, sedangkan menurut Abū Hanīfah termasuk talak sunnī. Adapun talak tiga yang dijatuhkan sekaligus menurut Imām Mālik termasuk talak sunnī, adapun  menurut Imām al-Syāfi’ī masih termasuk talak sunnī. Alasan Imām al-Syāfi’ī, karena selama talak yang diucapkan suami pada saat istri dalam keadaan suci dan tidak digauli saat suci tersebut, talaknya adalah talak sunnī. Sedangkan talak yang dijatuhkan pada saat istri hamil menurut jumhur ulama termasuk talak sunnī. Alasan  yang dikemukakan jumhur ulama adalah talak tersebut tidak menyebabkan perpanjangan masa iddah, karena bagaimanapun juga iddahnya sampai istri melahirkan. Menurut ‘Alī al-Sābūnī, berdasarkan hadis Ibnu ‘Umar, ulama bersepakat bahwa talak pada waktu haid merupakan perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu, bila suami mau menceraikan istri, hendaklah talak yang dijatuhkan adalah talak sunnī.   
Meskipun Islam melalui al-Qur’an telah meletakkan dasar penghargaan secara proporsional kepada perempuan, namun tidak demikian hal implementasinya dalam kehidupan sosial. Fakta sejarah memang menunjukkan bahwa para interpretator nash normatif banyak diwarnai oleh ulama laki-laki. Apakah keadaan yang demikian ini , ikut mendorong masuknya unsur subjektivitas, kemudian menjadi faktor terabaikannya norma relasi gender dalam Islam, perlu kajian lebih khusus.  
Menurut Ziba Mir Hosseni yang dikutip oleh Abdul Sattar, perempuan  jarang mengambil peran dalam perdebatan pemikiran fikih karena  masih dianggap  sebagai wilayah laki-laki.  Menurut Ziba, masyarakat kini telah memasuki era kesadaran gender, bahkan dalam urusan politik sekalipun.  Leila Ahmed juga menegaskan bahwa kini menjadi moment yang tepat ketika perempuan menjadi bagian dari komunitas intelektual muslim, melakukan pencerahan terhadap hukum Islam yang tempo dulu dielaborasi  dalam bentuk-bentuk yang yang otoritatif. Tatanan sosial yang memasuki era perubahan secara tidak langsung membutuhkan rekonstruksi epistemologi terhadap semua hal dan semua segi kehidupan.
Spirit Keadilan di Lembaga Peradilan
                        Teori kekuasaan negara, baik tradisional maupun modern, mamandang keberadaan lembaga peradilan sebagai tempat penyelesaian sengketa dan merupakan  kaharusan yang mesti ada dalam sebuah kekuasaan negara.  Khalifah ‘Umar bin al-Khattāb menganggap keberadaan lembaga kehakiman (al-Qudhāt) melekat sebagai kewajiban syara’. Hakim sebagai unsur penting pelaksana kekuasaan kehakiman,  memiliki kedudukan yang mulia, sekaligus tanggung jawab yang amat berat.  Bahkan, dari sudut  kewenangan menjatuhkan hukum, baik pidana maupun perdata, ia dianggap sebagai “wakil Tuhan” di muka bumi ini, karena melalui putusan hakim, hak orang yang lemah dikembalikan dari  tangan mereka yang berbuat zalim, bahkan melalui putusan hakim pula  hak hidup seseorang bisa dihilangkan. Sebagai pemberi kata putus bagi orang-orang yang bersengketa, keputusan hakim harus didasarkan keadilan, karena  melalui neraca keadilan hakim, kebenaran bisa kembali ditegakkan dan masyarakat dikembalikan pada kehidupan yang harmonis.   
                        Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan menegakkan hukum dan keadilan, bahkan tugas  tersebut dipandang sebagai salah satu tugas kenabian, seperti  firman Allah dalam  Q.S. Shad (38): 26, “Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan di antara mereka dengan adil”. Q.S. al-Nisā' (4): 65, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka  tidak merasa keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. Q.S.  al-Mā`idah (5): 49, “Dan hendaklah kamu memutus perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”.  Q.S. al-Nisā’ (5): 105, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan  kitab (Al-Qur’an) kepadamu, dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan  kepadamu, dan janganlah menjadi penantang (orang-orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang yang khianat”.
                        Dalam sebuah Hadis riwayat Abū Dāwūd, Nabi Muhammad mengkalisifi hakim pada tiga katagori: “Hakim itu terbagi menjadi tiga golongan, yang dua golongan masuk  neraka, sedangkan satu golongan masuk  surga. Hakim yang mengetahui kebenaran lalu menghukumi dengan kebenaran itu, dialah hakim yang masuk surga. Hakim yang mngetahui kebenaran, kemudian menyeleweng dengan sengaja, maka dia masuk neraka. Seorang  hakim lagi yang masuk neraka adalah hakim  yang menghukum  melaui  kebodohannya.  
                        Surat khalifah ‘Umar  bin al-Khattāb kepada Abū Mūsā al-Asy’arī yang menjadi  hakim  di Kuffah  memuat  asas-asas pokok peradilan dalam Islam. Dalam suratnya yang cukup panjang tersebut dapat dipetik prinsip-prinsip peradilan sebagai berikut: (1) Menegakkan peradilan merupakan tuntutan agama  (farīdhatun muhkamatun wa sunnatun mutba’atun); (2)  Hakim bersifat pasif (tidak mencari perkara); (3). Persamaan kedudukan pihak-pihak dalam hukum dan peradilan (āsī baina al-nās fī majlisika, wa fī wajhika, wa qadā’ika); (4) Kewajiban pembuktikan dalam setiap perkara  (al-bayyinah ‘alā al-mudda’ī wa al-yamīn ‘alā man ankara); (5) Kewajiban mendamaikan (wa al-sulh jā’izun baina al-muslimīn); (6) Setiap muslim adalah adil sehingga dapat menjadi saksi atas lainnya, kecuali  mereka yang pernah memberikan kesaksian palsu, dijatuhi hukuman had dan yang tidak jelas asal usulnya; (7) Hakim wajib mengggali hukum terhadap hal-hal yang tidak ada hukumnya secara jelas melalui ijtidad (fī mā udliya ilaika mimmā laisa fī al-Qur’ān wa lā sunnatin  summa qāyis al-umūra ‘inda żālika).  
Campur tangan lembaga peradilan dalam masalah perceraian  telah menjadi keharusan, karena telah diatur secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 39 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP)  menyatakan  bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan  berusaha dan tidak berhasil mendamaikan  kedua belah pihak. Selanjutnya yang dimaksud dengan pengadilan oleh UUP, seperti dijelaskan oleh PP Nomor 9 Tahun 1975, adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan negeri bagi yang lainnya.  Pasal  65 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, juga menyatakan bahwa percerian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang berangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.  Keterlibatan lembaga yudikatif dalam menangani masalah sengketa keluarga telah menjadi bagian dari sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Keterlibatan pengadilan dalam urusan problema keluarga menjadi suatu keharusan, karena hak-hak yang ditegakkan dalam hukum keluarga adalah hak-hak dasar manusia. Hak untuk membentuk keluarga, hak yang mengatur hubungan orang tua dan anak, dan hak lain yang datur dalam hukum keluarga. Hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum keluarga, merupakan hak dan kewajiban menusia yang paling mendasar. Banyak orang rela kehilangan semua harta bendanya, dengan tujuan agar hak hukum keluarganya tidak dilanggar.  
Salah satu jaminan Indonesia sebagai negara hukum adalah adanya jaminan setiap warga negara dapat membela haknya sampai pada peradilan tertinggi.  Oleh karena itu, wacana pembatasan perkara hukum keluarga (peceraian) hanya pada tingkat banding saja, patut direnung ulang. Pembatasan perkara perceraian hanya sampai tingkat banding saja,  itu sama maknanya dengan menganggap hak dalam hukum keluarga lebih rendah dari hak hukum kebendaan atau lainnya.  Wallahu a’lam.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar