Ahmad
Fauzi
1112032100055
Perbandingan
agama (B)
Responding
Paper Feminisme
1.
SEJARAH
Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Setelah
Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa
posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya.
Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak
memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas
milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama
dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah
untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan
Belanda.
Kata feminisme
dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier
pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan
berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan
sebagai Subyek" (The Subjection of Women) pada tahun (1869).
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya
gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan
perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua
bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang
bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris,
kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum
perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika
datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad
ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya
fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk
situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah
yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta
perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan di
Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika
Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary
Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak
Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi
prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.
Pada
tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan,
hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam
kerja dan gaji perempuan, diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak
pilih.
Menjelang abad
19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para
perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan
apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal
sisterhood).
Pada tahun 1960
munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih
dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya
perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para
feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran
Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang
Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran
dekonstruksionis, Derrida. Dalam The Laugh of the Medusa, Cixous
mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai
maskulin.Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua,
mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti
Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Gelombang
feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan
dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty
Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih
setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National
Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke
segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman
berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum
perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama
dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964)
dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan
feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa
sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat
budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam
berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti
konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan
perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada
perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak
mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic
Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian
dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok
"feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop
yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s
Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum
laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih
seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara
terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di
Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita
dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini
kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
Pada 1975,
"Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak
Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian
kaum feminis sosialis telah membuka wawasan gender untuk dipertimbangkan dalam
pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan gender atau gender
mainstreaming melanda dunia.
Berangkat dari
kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller,
Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan
terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang
antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains
feminis (feminist science).
2.
ALIRAN
a.
Feminisme Liberal
Feminisme
liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan
secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan
berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap
manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak
secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan
keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan
itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di
dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara
dengan lelaki.
Feminis Liberal
memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara
kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara.
Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum
Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga
negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai
"Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah
mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus
terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak
tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme
liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan
sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi
sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala
sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme.
Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak
tergantung lagi pada pria.
b.
Feminisme Radikal
Trend ini
muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi
"perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini
muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis
kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan
industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah
satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah
sesuai namanya yang "radikal".
Feminis Liberal
memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara
kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara.
Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum
Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga
negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”.
Aliran ini
bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
"The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu
menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap
paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black
propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena
pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini
memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT).
c.
Feminisme Post Modern
Ide Posmo -
menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas,
gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial
karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah.
Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
d.
Feminisme Anarkis
Feminisme
Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan
masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki
adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
e.
Feminisme Marxis
Aliran ini
memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber
penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich
Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh
karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi
keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk
exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial.
Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari properti. Sistem produksi
yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam
masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis
Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa
negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau
hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk
memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang
menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
f.
Feminisme Sosialis
Sebuah faham
yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada
Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk
menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan
pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx
yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme
sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan
bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah
jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik
dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan
gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis
bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran
feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap
patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua
kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di
Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi
dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran
maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran
feminin.
g.
Feminisme Post Colonial
Dasar pandangan
ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman
perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni atau bekas koloni) berbeda
dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga
menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan
berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan
agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada
intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara
pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative
Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class
menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin,
dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan
pendidikan.”
h.
Feminisme Nordic
Kaum Feminis
Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis
Marxis maupun Radikal. Nordic yang lebih menganalisis Feminisme
bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini
menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan
atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh
kebijakan sosial negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar