Minggu, 07 Desember 2014

Perempuan Masuk Politik = Masuk Sarang Penyamun?

HL | 20 June 2013 | 12:10 Dibaca: 631    Komentar: 16    5

1371706821165316165
Ilustrasi (filsufgaul.wordpress.com)
Dunia politik selalu diidentikan dengan dunianya kaum pria, tidak terkecuali rubrik politik di Kompasiana pun sangat didominasi oleh kaum pria. Hanya beberapa Kompasianer wanita yang aktif menulis tentang pengamatan atau pandangan politiknya terkait suatu hal. Bahkan ada yang menganggap perempuan masuk kanal politik sesungguhnya “pria yang menyamar dalam akun wanita.” Pandangan ini merupakan bias-bias pandangan lawas tentang politik (petualangan penuh intrik dan resiko) yang diidentikkan dengan kaum pria. Sedangkan wanita identik dengan rubrik kecantikan, fiksi, curhat, atau kesehatan, humaniora, yang jauh lebih adem dari segi kenyamanan psikologis. Tentu masih banyak faktor lain yang mempengaruhi pandangan lawas ini misalnya: budaya, ajaran agama, dan tradisi.
Tidak mudah memang seorang perempuan masuk ke dunia politik praksis. Mengapa? Kaum perempuan yang masuk ke dunia politik praktis dituntut lebih banyak menguras energi dibandingkan laki-laki. Masuk ke sarang yang didominasi kaum pria yang serba maskulin memang rentan terhadap tatapan, senyuman, kata-kata, dan godaan yang melecehkan, dan kadang-kadang siap untuk dipandang sebelah mata oleh kaum adam. Karena itu, prosentase kiprah kaum wanita dalam dunia politik praksis di Indonesia misalnya di bangku legislatif tidak terlalu menunjukkan perubahan signifikan dari peride ke periode.
Simak saja grafik perempuan dalam DPR RI dari tahun 1955-2014 yang dikeluarkan oleh Puskapol Universitas Indonesia: 1955-1956 hanya 17 wanita dibandingkan 272 pria; 1956-1959 hanya 25 wanita dibandingkan 488 pria; 1971-1977 hanya 36 wanita dibandingkan 460 pria; 1977-1982 malah turun hanya 29 wanitadibandingkan 460 pria; 1982-1987 naik menjadi 39 wanita dibandingkan 460 pria;1987-1992 naik menjadi 65 wanita dibandingkan 500 pria; 1992-1997 turun menjadi 62 wanita dibandingkan 500 pria; 1997-1999 turun lagi hanya 54 wanitadibandingkan 500 pria; 1999-2004 turun lagi hanya 46 wanita dibandingkan 500 pria; 2004-2009 naik kembali menjadi 61 wanita diantara 489 pria; 2009-2014 semakin bertambah menjadi 103 wanita di antara 457 pria.
Dari angka-angka tersebut nyata bahwa peran serta kaum wanita di panggung legislatif/politik praktis masih dibilang sedikit padahal rasio jumlah penduduk Indonesia bisa saja kaum wanitanya lebih banyak dibandingkan kaum pria. Meskipun tidak serta merta bisa dikatakan bahwa keterwakilan kaum wanita di DPR hanyalah untuk mewakili kaumnya. Tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi termasuk aturan dan perundang-undangan serta pandangan budaya/agama yang belum memberikan ruang selebar-lebarnya bagi kaum perempuan terlibat aktif dalam dunia politik praktis.
Pada Pemilu 2014, KPU memang kian memperkuat posisi perempuan dengan mengharuskan semua parpol memenuhi jumlah keterwakilan perempuan (kuota-istilah yang juga digugat) sebanyak 30 % seperti diatur UU No.12 Tahun 2013 tentang Pemilu, yang diperbaharui dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu, yang disempurnakan lagi dalam UU No, 12 tahun 2012 dan diterjemahkan dalam peraturan KPU No. 7 tahun 2013.
Peningkatan keterwakilan kaum perempuan dalam lembaga legislatif ini tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi atas kesepakatan Indonesia terhadap Convention on All Eliminations of all forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang mewajibkan negara mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan dalam kovensi tersebut yang lebih terkait dengan dibukanya ruang yang semakin lebar bagi kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam dunia politik dan kehidupan publik. CEDAW juga mewajibkan setiap negara peserta berupaya menghapus segala macam bentuk diskriminasi terhadap perempuan di bidang politik dan publik serta memberikan jaminan kepada perempuan mempunyai persamaan hak dengan laki-laki terutama dalam memberikan suara pada Pemilu dan berhak dipilih juga di berbagai badan atau lembaga. Negara peserta diwajibkan juga menjamin kaum perempuan ambil bagian secara aktif dalam perumusan kebijakkan pemerintah, dalam pelaksanaannya, dan menduduki jabatan dalam arena publik dan pemerintahan.
Akan tetapi, sepertinya tahun 2014 tidak akan menujukkan perubahan yang signifikan dengan adanya aturan keterwakilan 30 % perempuan di parpol. Partai-partai politik tampaknya belum serius benar mengimplementasikan aturan ini. Selain itu, muncul juga keluhan dari partai politik bahwa tidak banyak menemukan kaum perempuan yang terpanggil untuk terlibat aktif dalam dunia politik. Dunia politik masih dianggap oleh sebagian kaum perempuan sebagai dunianya kaum pria dan belum mengganggap sebagai sesuatu yang serius untuk ditanggapi meskipun ada begitu banyak kaum perempuan yang brilian, cerdas, berani, profesional di bidang ilmu sospol dan hukum.
Karena itu, motivasi kepada kaum perempuan dengan kaderisasi yang serius oleh Parpol sangatlah dibutuhkan jika memang sungguh mau melibatkan kaum perempuan dalam keterwakilan yang hanya 30 % tersebut. Untuk kaum perempuan yang merasa terpanggil dan punya kompetensi juga tidak perlu ragu atau takut untuk masuk ke dunia politik, sarang yang selalu diidentikan dengan maskulinitas ini. Kehadiran mereka bisa mewarnai aneka kebijakkan yang lebih mengedepankanopsi fundamental kepada kaum miskin dan kaum wanita. Kepekaan dan kepedulian yang umumnya khas dalam diri kaum wanita bisa diterjemahkan dalam aneka kebijakan dan perundang-undangan yang lebih berpihak kepada kaum lemah, miskin, sederhana, dan terutama kaum wanita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar