Minggu, 07 Desember 2014

8. Responding Paper PEREMPUAN.AGAMA DAN TRANSFORMASI DALAM AGAMA KATOLIK

Ahmad Fauzi
1112032100055
Perbandingan agama (B)
Responding Paper

PEREMPUAN.AGAMA DAN TRANSFORMASI DALAM AGAMA  KATOLIK
 Kritik Feminis Teologi Liberal Terhadap Doktrin Kristen
Sejak rasionalisme berkembang menjadi sebuah aliran yang mengutamakan rasio (akal budi) sebagai sumber ilmu pengetahuan, pengalaman menjadi tidak berdaya, karena bagi rasionalisme sendiri rasio (akal) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya sehingga rasio tidak memerlukan pengalaman, karena pengalaman hanya dapat berfungsi untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal. Sikap skeptis terhadap pengalaman yang diagung-agungkan oleh para penganut aliran empirisme, melahirkan keragu-raguan (skeptis) dalam diri manusia sebagaimana diungkapkan oleh Ernest Renan. Renan, ketika berada dalam situasi skeptis terhadap pengalaman, menulis demikian: kadang-kadang sikap skeptis dan optimistis menghantar kita pada sebuah keyakinan bahwa kita berada dalam kebenaran. Kebenaran sebagai hasil dari keragu-raguan manusia, menimbulkan sebuah pertanyaan dari dalam diri manusia itu sendiri berkaitan dengan Allah sebagai finalitas atau tujuan akhir dari iman manusia. Manusia bertanya, adakah finalitas itu berada dalam pengalaman manusia? Renan mengatakan bahwa finalitas itu diterima sebagai semacam hukum yang tersurat di dalam kodrat, yang asal usulnya tidak perlu dicari dalam suatu akal, melainkan dari dalam tuntutan-tuntutan yang ideal saja. Dengan demikian finalitas itu bersifat imanen, maksudnya sesuatu yang tersusun dalam suatu kecenderungan buta yang menyebabkan makhluk digerakkan menuju kepada kelestarian mereka. Keadaan lingkungan, rintangan-rintangan dan pengalaman alam itu sendiri, telah menyebabkan tujuan konkrit yang sama sekali tidak dikehendaki oleh suatu kecenderungan awal. Jadi, finalitas sama sekali tidak diadakan oleh suatu akal transenden, tetapi dibentuk secara bertahap oleh alam itu sendiri. Berkenaan dengan finalitas sebagai tujuan akhir dari pencarian manusia, Renan tergerak untuk menulis sebuah biografi tentang realitas kehidupan Yesus. Dalam buku itu, Renan pertama-tama menyoroti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam karya Yesus. Salah satunya, Renan mengamati peristiwa mukjizat yang pernah dibuat oleh Yesus sebagaimana diimani oleh orang-orang Kristen. Renan berpendapat, bahwa jika mukjizat yang tertuang dalam kitab suci menjadi sumber inspirasi bagi orang Kristen, maka metode yang kita gunakan adalah sebuah metode yang salah. Sebaliknya, jika mukjizat menjadi sebuah inspirasi tanpa realitas, maka metode kita adalah sebuah metode yang benar. Dengan mengatakan inspirasi tanpa sebuah realitas, maka, sama halnya dengan mengatakan bahwa Injil adalah sebuah dongeng. Ditinjau dari sudut pandang historis, Renan berpendapat bahwa sejarah tidak selalu memberikan yang terbaik dalam setiap peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, agama hanyalah sebuah perasaan yang lahir dari pengalaman akan Allah yang tidak ditemukan secara objektif di dalam kitab suci dan di dalam dunia.  Maka, untuk memahami peristiwa mukjizat yang dibuat oleh Yesus, kitab suci perlu ditafsirkan secara tepat, karena secara ilmiah mukjizat itu tidak mungkin.
Yang dimaksud oleh Renan dalam hal ini adalah bahwa setiap orang yang menjadikan mukjizat sebagai sumber inspirasi dalam kehidupannya, ia tidak mempunyai suatu metode yang benar, karena apa yang tertuang dalam kitab suci itu, sebenarnya hanya merupakan sebuah ilusi belaka yang menghanyutkan manusia ke dalam mimpi-mimpi akan sebuah realitas yang sesungguhnya tidak terjadi. Dalam hal ini teologi liberal mencoba memisahkan iman dari akal dan pengalaman. Friedrich Schleiermacher (1768-1834) seorang pendiri teologi liberal mengatakan, bahwa kitab suci hanyalah sebuah endapan pengalaman manusiawi daripada pewahyuan ilahi. Dengan kata lain, Schleiermacher mengatakan bahwa segala apa yang tertulis di dalam kitab suci termasuk mukjizat hanya sebuah rekaman pengalaman manusia. Jadi, Yesus dalam kehidupan umat kristiani hanya merupakan sebuah contoh. Misi yang Dia bawa bukan untuk menyelamatkan umat manusia melainkan dengan kematian-Nya, Ia membangkitkan kesadaran manusia akan Allah dan memanggil mereka untuk menjalankan kehidupan moral yang baik dan benar.
o   Gerakan Reformasi Sosial Keagaman dalam Kesetaraan Gender abad-20
Asumsi kaum feminis bahwa peran dan tugas perempuan yang dilimitasi oleh budaya patriarki adalah omong kosong dan tuduhan yang sangat berlebihan. Sehingga atas alasan itu mereka berupaya keras untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang seolah-olah tertindas. Tuntutan untuk memberikan peran hingga setidaknya 30% di ruang publik bagi perempuan adalah propaganda untuk mejustifikasi adanya penindasan terhadap perempuan. Padahal, naiknya Megawati menjadi presiden Republik Indonesia tempo hari adalah satu bukti bahwa peran perempuan di negara ini bukanlah obyek penindasan sebagaimana dituduhkan. Juga di Thailand, India, Philipina dan Pakistan serta negara-negara di Asia Tenggara tidaklah seburuk yang dituduhkan oleh kaum feminis sebagai negara yang tidak memberikan peran bagi perempuan di ruang publik. Kalaupun ada persoalan-persoalan yang menyangkut perempuan, titik soalnya bukanlah pada kebijakan-kebijakan publik yang mendiskriminasi peran perempuan.
Agama tidak pernah memasung keberdayaan perempuan dalam perannya di ruang publik. Hal ini dibuktikan dalam sejarah merebut kemerdekaan tempo dulu. Peran perempuan di ruang publik tidaklah sedikit. Ambil saja sebagai contoh Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, RA Dewi Sartika, RA Kartini, dll. perjuangan dan kepahlawanan mereka sudah dianggap setara dengan kaum lelaki. Kaum perempuan saat itu tidaklah sibuk memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan. Tetapi mereka ikut serta bersama kaum lelaki untuk meneriakkan pekik kemerdekaan karena tanahnya telah dijajah. Nasionalisme perempuan dengan nasionalisme kaum lelaki tidaklah berbeda, yakni sama-sama berjuang mengusir penjajah dari tanah airnya. Bukan sibuk mengurusi hak-haknya sebagai perempuan yang seolah-olah dijajah kaum lelaki. Namun demikian, peran perempuan bagi rumah tangganya pun tidak bisa dianggap sepele. Tetap saja punya porsi yang sama sebagai seorang perempuan yang memiliki keberdayaan. Asumsi peran perempuan di dalam rumah tangga sebagai yang tertindas adalah propaganda picisan yang hanya memandang bahwa keberdayaan perempuan hanya berada di ruang publik. Karena itu, tuntutan yang dipaksakan agar perempuan punya peran di ruang publik sampai ditarget hingga 30% adalah pandangan ortodoks. Agama sebagai embrio lahirnya budaya tidaklah mengamanahkan agar kaum perempuan menjadi lemah tak berdaya. Bahwa budaya yang sepertinya mendisposisi peran perempuan bukanlah semata-mata bertujuan mendiskriminasinya, tetapi justru menghormati dan menyayangi perempuan sebagaimana diamanahkan di dalam teks-teks agama. Itupun sangat berkaitan erat dengan kodrat biologisnya, bukan pada peran dan tanggung jawab sosialnya.
Secara kodrati, perempuanlah yang diamanahkan Tuhan sebagai yang mengandung dan melahirkan anak. Fitrah biologis ini janganlah dipaksa untuk dirubah. Mengandung dan melahirkan anak bagi perempuan bukanlah disposisi peran yang melemahkannya. Sehingga atas dasar fitrah ini, seolah-olah kaum lelaki berhak mengeksploitasi fitrah perempuan hingga benar-benar menjadi kelemahannya. Namun, hal itu justru terjadi ketika para kapitalis menggunakan perempuan di garda depan sebagai obyek layanan purna jual. Di mal dan di kantor, kecantikan perempuan dijadikan prasyarat untuk mengiringi barang dagangan yang dipasarkan. Kapitalisme telah mengeksploitasi kaum perempuan untuk kepentingan-kepentingan dagang. Kodrat perempuan yang lemah lembut (secara fisik) dan cantik telah menjadi obyek untuk tujuan kapitalisasi. Atas dasar ini, perjuangan kaum feminis untuk keberdayaan perempuan justru telah dilemahkan oleh paradigma budaya kapitalis yang sangat tidak kodrati. Untuk mewujudkan kesetaraan seperti itu, para feminis sampai sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan nature atau genetis. Para feminis yakin dapat mewujudkannya melalui perubahan budaya, legislasi, ataupun praktik-praktik pengasuhan anak. (Membiarkan Berbeda?, 1999: 11). Karena itu, RUU KKG bukan sekedar sangat tidak perlu, tapi harus ditolak karena mainstreamnya yang sangat tidak kodrati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar