Ahmad Fauzi
1112032100055
Perbandingan agama (B)
Responding Paper
PEREMPUAN.AGAMA DAN TRANSFORMASI DALAM AGAMA KATOLIK
Kritik Feminis Teologi
Liberal Terhadap Doktrin Kristen
Sejak rasionalisme berkembang menjadi sebuah aliran yang
mengutamakan rasio (akal budi) sebagai sumber ilmu pengetahuan, pengalaman
menjadi tidak berdaya, karena bagi rasionalisme sendiri rasio (akal) merupakan
sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya sehingga rasio tidak memerlukan
pengalaman, karena pengalaman hanya dapat berfungsi untuk meneguhkan
pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal. Sikap skeptis terhadap pengalaman
yang diagung-agungkan oleh para penganut aliran empirisme, melahirkan
keragu-raguan (skeptis) dalam diri manusia sebagaimana diungkapkan oleh Ernest
Renan. Renan, ketika berada dalam situasi skeptis terhadap pengalaman, menulis
demikian: kadang-kadang sikap skeptis dan optimistis menghantar kita pada
sebuah keyakinan bahwa kita berada dalam kebenaran. Kebenaran sebagai hasil
dari keragu-raguan manusia, menimbulkan sebuah pertanyaan dari dalam diri
manusia itu sendiri berkaitan dengan Allah sebagai finalitas atau tujuan akhir
dari iman manusia. Manusia bertanya, adakah finalitas itu berada dalam
pengalaman manusia? Renan mengatakan bahwa finalitas itu diterima sebagai
semacam hukum yang tersurat di dalam kodrat, yang asal usulnya tidak perlu
dicari dalam suatu akal, melainkan dari dalam tuntutan-tuntutan yang ideal
saja. Dengan demikian finalitas itu bersifat imanen, maksudnya sesuatu yang
tersusun dalam suatu kecenderungan buta yang menyebabkan makhluk digerakkan
menuju kepada kelestarian mereka. Keadaan lingkungan, rintangan-rintangan dan
pengalaman alam itu sendiri, telah menyebabkan tujuan konkrit yang sama sekali
tidak dikehendaki oleh suatu kecenderungan awal. Jadi, finalitas sama sekali
tidak diadakan oleh suatu akal transenden, tetapi dibentuk secara bertahap oleh
alam itu sendiri. Berkenaan dengan finalitas sebagai tujuan akhir dari
pencarian manusia, Renan tergerak untuk menulis sebuah biografi tentang
realitas kehidupan Yesus. Dalam buku itu, Renan pertama-tama menyoroti
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam karya Yesus. Salah satunya, Renan
mengamati peristiwa mukjizat yang pernah dibuat oleh Yesus sebagaimana diimani
oleh orang-orang Kristen. Renan berpendapat, bahwa jika mukjizat yang tertuang
dalam kitab suci menjadi sumber inspirasi bagi orang Kristen, maka metode yang
kita gunakan adalah sebuah metode yang salah. Sebaliknya, jika mukjizat menjadi
sebuah inspirasi tanpa realitas, maka metode kita adalah sebuah metode yang
benar. Dengan mengatakan inspirasi tanpa sebuah realitas, maka, sama halnya
dengan mengatakan bahwa Injil adalah sebuah dongeng. Ditinjau dari sudut
pandang historis, Renan berpendapat bahwa sejarah tidak selalu memberikan yang
terbaik dalam setiap peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, agama hanyalah
sebuah perasaan yang lahir dari pengalaman akan Allah yang tidak ditemukan
secara objektif di dalam kitab suci dan di dalam dunia. Maka, untuk
memahami peristiwa mukjizat yang dibuat oleh Yesus, kitab suci perlu
ditafsirkan secara tepat, karena secara ilmiah mukjizat itu tidak mungkin.
Yang dimaksud oleh Renan dalam hal ini adalah bahwa setiap orang
yang menjadikan mukjizat sebagai sumber inspirasi dalam kehidupannya, ia tidak
mempunyai suatu metode yang benar, karena apa yang tertuang dalam kitab suci
itu, sebenarnya hanya merupakan sebuah ilusi belaka yang menghanyutkan manusia
ke dalam mimpi-mimpi akan sebuah realitas yang sesungguhnya tidak terjadi.
Dalam hal ini teologi liberal mencoba memisahkan iman dari akal dan pengalaman.
Friedrich Schleiermacher (1768-1834) seorang pendiri teologi liberal
mengatakan, bahwa kitab suci hanyalah sebuah endapan pengalaman manusiawi
daripada pewahyuan ilahi. Dengan kata lain, Schleiermacher mengatakan bahwa
segala apa yang tertulis di dalam kitab suci termasuk mukjizat hanya sebuah
rekaman pengalaman manusia. Jadi, Yesus dalam kehidupan umat kristiani hanya
merupakan sebuah contoh. Misi yang Dia bawa bukan untuk menyelamatkan umat
manusia melainkan dengan kematian-Nya, Ia membangkitkan kesadaran manusia akan
Allah dan memanggil mereka untuk menjalankan kehidupan moral yang baik dan
benar.
o Gerakan Reformasi Sosial Keagaman dalam Kesetaraan
Gender abad-20
Asumsi kaum feminis bahwa peran dan tugas perempuan yang dilimitasi
oleh budaya patriarki adalah omong kosong dan tuduhan yang sangat berlebihan.
Sehingga atas alasan itu mereka berupaya keras untuk memperjuangkan hak-hak
perempuan yang seolah-olah tertindas. Tuntutan untuk memberikan peran hingga
setidaknya 30% di ruang publik bagi perempuan adalah propaganda untuk
mejustifikasi adanya penindasan terhadap perempuan. Padahal, naiknya Megawati
menjadi presiden Republik Indonesia tempo hari adalah satu bukti bahwa peran
perempuan di negara ini bukanlah obyek penindasan sebagaimana dituduhkan. Juga
di Thailand, India, Philipina dan Pakistan serta negara-negara di Asia Tenggara
tidaklah seburuk yang dituduhkan oleh kaum feminis sebagai negara yang tidak
memberikan peran bagi perempuan di ruang publik. Kalaupun ada
persoalan-persoalan yang menyangkut perempuan, titik soalnya bukanlah pada
kebijakan-kebijakan publik yang mendiskriminasi peran perempuan.
Agama tidak pernah memasung keberdayaan perempuan dalam perannya di
ruang publik. Hal ini dibuktikan dalam sejarah merebut kemerdekaan tempo dulu.
Peran perempuan di ruang publik tidaklah sedikit. Ambil saja sebagai contoh Cut
Nyak Dien, Laksamana Malahayati, RA Dewi Sartika, RA Kartini, dll. perjuangan
dan kepahlawanan mereka sudah dianggap setara dengan kaum lelaki. Kaum
perempuan saat itu tidaklah sibuk memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan.
Tetapi mereka ikut serta bersama kaum lelaki untuk meneriakkan pekik
kemerdekaan karena tanahnya telah dijajah. Nasionalisme perempuan dengan
nasionalisme kaum lelaki tidaklah berbeda, yakni sama-sama berjuang mengusir
penjajah dari tanah airnya. Bukan sibuk mengurusi hak-haknya sebagai perempuan
yang seolah-olah dijajah kaum lelaki. Namun demikian, peran perempuan bagi
rumah tangganya pun tidak bisa dianggap sepele. Tetap saja punya porsi yang
sama sebagai seorang perempuan yang memiliki keberdayaan. Asumsi peran
perempuan di dalam rumah tangga sebagai yang tertindas adalah propaganda
picisan yang hanya memandang bahwa keberdayaan perempuan hanya berada di ruang
publik. Karena itu, tuntutan yang dipaksakan agar perempuan punya peran di
ruang publik sampai ditarget hingga 30% adalah pandangan ortodoks. Agama
sebagai embrio lahirnya budaya tidaklah mengamanahkan agar kaum perempuan
menjadi lemah tak berdaya. Bahwa budaya yang sepertinya mendisposisi peran
perempuan bukanlah semata-mata bertujuan mendiskriminasinya, tetapi justru
menghormati dan menyayangi perempuan sebagaimana diamanahkan di dalam teks-teks
agama. Itupun sangat berkaitan erat dengan kodrat biologisnya, bukan pada peran
dan tanggung jawab sosialnya.
Secara kodrati, perempuanlah yang diamanahkan Tuhan sebagai yang
mengandung dan melahirkan anak. Fitrah biologis ini janganlah dipaksa untuk
dirubah. Mengandung dan melahirkan anak bagi perempuan bukanlah disposisi peran
yang melemahkannya. Sehingga atas dasar fitrah ini, seolah-olah kaum lelaki
berhak mengeksploitasi fitrah perempuan hingga benar-benar menjadi
kelemahannya. Namun, hal itu justru terjadi ketika para kapitalis menggunakan
perempuan di garda depan sebagai obyek layanan purna jual. Di mal dan di
kantor, kecantikan perempuan dijadikan prasyarat untuk mengiringi barang
dagangan yang dipasarkan. Kapitalisme telah mengeksploitasi kaum perempuan
untuk kepentingan-kepentingan dagang. Kodrat perempuan yang lemah lembut
(secara fisik) dan cantik telah menjadi obyek untuk tujuan kapitalisasi. Atas
dasar ini, perjuangan kaum feminis untuk keberdayaan perempuan justru telah
dilemahkan oleh paradigma budaya kapitalis yang sangat tidak kodrati. Untuk
mewujudkan kesetaraan seperti itu, para feminis sampai sekarang masih percaya
bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan
karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan nature atau genetis. Para
feminis yakin dapat mewujudkannya melalui perubahan budaya, legislasi, ataupun
praktik-praktik pengasuhan anak. (Membiarkan Berbeda?, 1999: 11). Karena itu,
RUU KKG bukan sekedar sangat tidak perlu, tapi harus ditolak karena mainstreamnya
yang sangat tidak kodrati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar