Ahmad
Fauzi
1112032100055
Perbandingan
agama (B)
Responding Paper
PEREMPUAN, AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM
Di dalam pembahasan ini saya akan memfokuskan
dan lebih banyak melihat pembahasan ini sebagai suatu bentuk dan petunjuk
praktis untuk memahami perkembangan
kesetaraan gender dan tradisi intelektual yang ada dan berkembang serta berpengaruh di dunia
Islam maupun Barat, terutama di
Indonesia. Namun, yang paling penting dari semua itu adalah, bahwa pembahasan ini
lebih mengedepankan sumber-sumber maupun literatur yang ada, terutama yang
berkaitan dengan hal tersebut, dan saya akan berusaha sedapat mungkin untuk
menguraikannya secara objektif. Oleh karena itulah, di dalam pembahasan ini
saya akan menguraikan dan menjelaskan keterkaitan — hubungannya secara sejarah
(historis) dan konsep dari sebuah tradisi intelektual yang berkembang
tentang kesetaraan gender yang meliputi: Pada Zaman Kolonialisme, Zaman
Reformasi, dan Zaman Orde Lama dan Orde Baru yang akan diuraikan berikut
ini:
o Pada Zaman Kolonialisme.
Kartini bangkit kembali, setiap 21 April hadir di tengah bangsa
Indonesia. Cita-citanya yang akan mengangkat perempuan Islam dari jeratan adat
serta menjadikan Al-Qur`an sebagai sumber cita pembaruan, mengukirkan namanya
dituliskan dengan tinta emas sejarah dan abadi sampai kini di tengah bangsanya.
Oleh karena itu, segenap perempuan bumi putera diajaknya kembali ke jalan
Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat
Allah swt., agar mampu menyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama
yang patut dihormati.
Walau Kartini relatif muda usia 20 tahun, George Mc Tuman Kahin,
menilai bahwa Karti-nilah sebenarnya pelopor pembaharuan pendidikan dalam era
pergerakan nasional, Kartini bukan berjuang hanya untuk wanita, tetapi untuk
kemajuan bangsanya. Cita-cita Kartini ingin melawan adat dan penjajah yang
melakukan segala bentuk penindasan penjajahan terhadap bangsa Indonesia, baik
penindasan dari praktik hukum adat ataupun penindasan penjajahan politik
kerajaan protestan Belanda yang berdampak menurunkan martabat wanita. Kemajuan
bangsa pun terhenti, karena ibu atau wanita sebagai sumber manusia menerima
pendidikan dipingit di dalam rumahnya — pingitan yang awalnya menyelamatkan,
namun akhirnya membutakan wanita tentang potensi dirinya.
Perang melawan penjajah yang berkepanjangan, melahirkan budaya
pingitan yang membe-lenggu anak perempuan sejak di ambang remaja. Penjajah
bertingkah laku menganggap rendah bangsa Indonesia, termasuk wanitanya
diperlakukan sebagai wanita yang kehilangan kemerdekaan-nya. Tindakan yang
demikin ini, merupakan suatu akibat dari kekuasaan politik Islam yang hanya
tinggal sebuah nama — hukum Islam digantikan dengan hukum adat — para penjajah
melegalisasi-kan hukum adat untuk dijadikan landasan hukum tindakan kaum
bangsawan dalam mendapatkan wanita tanpa batas jumlahnya. Kartini menulis
situasi hancurnya martabat wanita di Surakarta, di sana hampir tidak ada
laki-laki, yang perempuannya hanya seorang di dalam kalangan bangsawan,
terutama lingkungan susuhan seorang laki-laki sampai lebih 26 orang
perempuannya.
Kondisi seperti itu bukanlah otonom yang harus dibiarkan. Problem
sosial ini menuntut Kartini berjuang untuk memperoleh kebebasan, "Aku
hendak, aku mesti menuntut kebebasanku. Manakah aku akan menang, bila tiada
berjuang. Tiada perjuangan tiada kemenangan, aku akan berjuang merebut
kemerdekaanku".
Kalimat di atas merupakan ledakan jiwa Kartini yang bertekad
melawan praktik hukum adat yang merendahkan kaum wanita. Kartini melawan arus
zamannya ketika Kartini baru berusia 21 tahun dan putri bangsawan, tetapi tidak
mau terbawa hanyut dengan tingkah laku para bangsawan yang terperangkap dalam
jeratan penjajah. Kartini tidak mau mengikuti perempuan terpelajar lainnya dari
kalangan pribumi, mereka ini tidak tergerak hatinya untuk berpartisipasi
membangkit-kan perempuan dan bangsanya. Mereka surut kembali kejalan adat kuno
dan terperosok kedalam dunia Eropa.
o Zaman Orde Lama dan Orde Baru.
Perempuan Indonesia ikut berjuang dan mempertahankan kemerdekaa. Tugas
organisasi perempuan diarahkan pada usaha-usaha perjuangan, baik di garis
belakang dengan mengadakan dapur umum, maupun di garis depan, baik dengan nama
satu badan perjuangan maupun tergabung dengan organisasi-organisasi lain.
Pada bulan Oktobar 1945 pertama kalinya organisasi kelaskaran
perempuan dibentuk. Organsasi yang dibentuk oleh Ny. Aruji Kartawinata di
Bandung bernama Lasykar Wanita Indonesia (Lasywi). Beranggotakan bekas Barisan
dan pemuda Putri Indonesia (PPI), Lasywi juga merekrut perempuan-perempuan yang
diizinkan oleh orang tua mereka. Pekerjaan yang dilakukan oleh lasywi selain
tugas rutinitas seperti melakukan perawatan terhadap prajurit yang terlika dan
menyelenggarakan dapur umum, dan melaksanakan tugas keintelan. Oleh karena itu,
dalam kurun waktu 1945-1949 kaum perempuan mengambil bagian
Dalam membela negara dengan membentuk organisasi-organisasi. Di
kalangan muslim berdiri organisasi kelaskaran bernama Laskar Muslimat yang
berpusat dibukit tinggi dan laskar Sabil Muslimat yang ada di padang panjang.
Selain itu, dari kalangan angkatan bersenjata di bentuk Korps polisi Wanita
(Polwan), persatuan istri tentara (Persit), dan persatuan istri angkatan udara
yang lebih dikenal dengan nama PIA (persatuan istri Ardia Garini). Pada masa
perang kemerdekaan banyak berdirinya organisasi perempuan yang sangat membantu
dalam melakukan berbagai kegiat-an untuk meringankan kesulitan hidup di garis
belakang dan membantu semangat patriotik.
Pada tahun 1949, kaum perempuan berkump ul dalam rangka menyatukan
kembali organisa-organisasi perempuan yang telah terpecah, sehingga perkumpulan
tersebut dihadiri oleh 82 wakil ormas perempuan dari seluruh Indonesia. Adapun
tujuan dari penyatuan kembali organisasi-organisasi perempuan tersebut adalah
untuk bertekad mendapatkan kemerdekaan nasional sepenuh-nya. Sehingga
perkumpulan tersebut merumuskan pernyataan lengkap untuk menetapkan
kepen-tingan gender organisasi perempuan indonesia yang menghasilkan tuntutan
sebagai berikut:
1. Kesamaa hak perempuan dan laki-laki dicantumkan di dalam konstitusi
republik.
2. Semua warga negara memiliki hak atas pekerjaan.
3. Undang-Undang perburuhan melindungi kaum buruh perempuan.
4. Undang-Undang perkawinan disusun sesuai dengan aturan berbagai
agama.
Pada masa Orde Baru pada periode akhir abad 20 jumlah organisasi
perempuan semakin banyak dengan bentuk dan tujuan yang beragam. Fokus kegiatan
mereka tidak hanya untuk perbaik-an kedudukan wanita dan hukum, tetapi juga
mengusahakan agar semakin banyak wanita menempai kedudukan sebagai pengambil
keputusan.
Secara umum organisasi-organisasi perempuan pada masa Orde Baru
banyak yang bergerak dibidang umum, agama, profesi, etnik, dan penyatuan istri
pegawai pemerintahan. Tetapi, jika dilihat dari indepedensinya organisasi
perempuan pada masa Orde Baru dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
1. Organisasi independen.
2. Organisasi bentukan pemerintah.
Adapun identitas pergerakan organisasi perempuan pada masa Orde
Baru, meskipun pergerakannya telah mengalami perkembangan yang baik secara
organisasi dan jumlahnya. Namun, cenderung mengalami kehilangan peran dan
signifikansinya dalam pergulatan untuk menentukan arah trasformasi yang sedang
berlangsung dalam masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya dua
faktor penyebab, yaitu:
1. Kondisi politik masa Orde Baru cenderung menghilangkan daya kritis
dan inifatif organisasi perempuan itu sendiri.
2. Kondisi faktor internal organisasi prgerakan perempuan itu sendiri yang
mengalami masalah kurangnya kemampuan dan kesungguhan untuk menganalisis sosial
dan politik untuk dapt memahami konteks serta permasalahan yang
dihadapinya.
Upaya pemberdayaan perempuan di Indonesia sejak Orde Lama Dan Orde
Baru — meski-pun dalam banyak hal pemerintahan (sejak Orde Lama yang kemudian
semakin tegas dalam Orde Baru) mengadopsi sistem sekuler dalam penyelenggaraan
dan penmgelolaan negara yang seharus-nya membawa perbaikan yang signifikan,
khususnya dalam posisi dan kedudukan kaum perempu-an. Namun, realitasnya
tidaklah demikian. Ketidak-adilan dan ketidak-setaraan masih sangat kuat
dirasakan kaum oleh kaum perempuan di Indonesian. Dihampir semua wilayah,
terutama di Pedesa-an, adat istiadat tradisional, kepercayaan tabu, dan tekanan
sosial masih menindas kaum perempuan — anak-anak perempuan biasanya diberi
makan lebih sedikit, ditarik dari bangku pendidikan lebih awal, dipaksa
memasuki kerja kasar lebih cepat, dan hanya sedikit yang mendapatkan perawatan
kesehatan dibandingkan laki-laki. Ketika masih remaja, perempuan sering dipaksa
kawin muda, setelah menjadi istri atau ibu, kaum perempuan masih banyak yang
diperlakukan tak ubahnya sebagai mesin kerja dan umumnya mereka tidak mengenal
adanya hak reproduksi, terlebih lagi tidak mendapatkan hak perlindungan
reproduksi sehat.
Untuk program pemberdayaan perempuan, pemerintah Orde Baru memakai
konsep Woment in Development (perempuan dal;am pembangunan), tetapi
dinilai kurang berhasil. Sebab, perempu-an belum menjadi pelaku atau subyek
dalam berbagai bidang pembangunan, mereka masih diperla-kukan sebagai obyek,
sebagai sasaran pembagunan. Misalnya, dalam program keluarga berencana yang
sangat gencar dilakukan pada masa Orde Baru. Perempuan diposisikan sebagai
obyek sehingga akseptor hampir seluruhnya perempuan. Padahal, urusan keluarga
seharusnya menjadi kepeduliaan bersama laki-laki dan perempuan.
Sebagai revisi terhadap konsep Woment in Development, mulai tahun
1990-an mengadopsi konsep konsep Gender and Development (Gender dan
pembangunan) sebagai paradigma pembang-unan mengenai pentingnya
keterlibatan perempuan dan laki-laki secara bersama-sama dalam sluruh proses
dan tahapan pembangunan. Konsep Gender and Development mengasumsikan gender
sebagai konstruksi sosial. Oleh karena itu, seluruh bangunan konstruksi sosial
yang dibuat atas peran perempuan dan laki-laki bisa dapat diubah. Peran
tradisional yang tadinya dianggap sebagai mutlak milik kaum perempuan,
sesungguhnya bisa dapat diubah menjadi peran laki-laki dan harus melibatkan
tanggung-jawab laki-laki. Artinya, isu-isu tradisional yang selalu dilabelkan
kepada posisi dan fungsi perempuan dalam masyarakat tidak lagi semata-mata
menjadi pemikiran atau kepedulian perempuan, melainkan menjadi pemikiran dan
kepedulian laki-laki.
Gerakan perempuan masa reformasi — pada masa ini sistem
pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan
perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di Indonesia
semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di
Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di
eksekutif, legislatif maupun yudikatif, jsutru ada penurunan di banidng
masa-masa akhir rejim Orba. Namun, secara kualitatif, peran perempuan itu
semakin diperhitungkan — pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi
kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin
saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.
Perkembagan organisasi perempuan Indonesia pada masa
reformasi pada tahun 2000 terjadi perubahan yang fundamental adanya koalisi dan
analisi gerakan perempuan berkembangan berkembang di mana-mana dengan agenda
bersama dengan apa yang disebut “affirmative actions”. Akses perempuan
untuk menduduki jabatan strategis dihambat oleh alasan-alasan peran reproduksi
perempuan yang tidak masuk akal. Untuk menjadi Negara yang berdemokrasi, hak
politik perempuan dan laki-laki mutlak di akui keberadaanya.
Hanya saja harus tetap diakui bahwa
angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak secara
otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata
adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman
lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih
berkuasa dalam struktur negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga), maka
kini diperlengkap dengan basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi
semacam komoditas.
Setidaknya di bidang perundangan,
Indonesia mempunyai UU Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU
Perlindungan Anak, UU Trafficking, UU Partai Politik dan Pemilu, UU
Kewarganegaraan, UU Pornografi, rencana revisi UU Perkawinan, dan lain-lain.
Meski demikian, beberapa perundangan
tersebut masih memerlukan kajian gender yang lebih mendalam, terutama soal
implementasi di lapangan. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, kaum
perempuan tetap harus mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi sumber daya
manusia yang potensial. Hal itu bisa membuat persepsi, eksistensi, dan peluang
perempuan yang telah terstruktur dalam masyarakat menjadi makin terbuka,
termasuk membangun kaum ibu melalui pembangunan keluarga berkualitas.
Gerakan perempuan yang tidak terpisahkan dari gerakan
reformasi untuk demokrasi ditandai dengan terpilihnya presiden Perempuan
Pertama Megawati Soekarno Putri ditetapkan UU No 12 th 2003 yang menetapkan
kuota 30% keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif (pasal 65 ayat: 1)
dengan syarat yang sama dengan laki-laki. Keputusan tersebut menjadikan langkah
besar bagi perempuan untuk sejajar dengan laki-laki dalam proses politik.
o Partisipasi
Politik Perempuan Indonesia
Politik perempuan dibutuhkan dalam upaya pengitegrasian
kebutuhan gender, instrument hukum yang sensitive gender dan kemajuan perempuan
di berbagai sector kehidupan. Penegasan hak-hak politik perempuan dibuktikan
dengan diratifikasikanya konvrensi hak-hak politik perem-puan tahun 1953, dalam
konverensi PBB tentang hak untuk dipilih bagi semua badan yang dipilih langsung
secara umum. Selain itu diatur pula: perempuan juga berhak memberikan suara
mereka dalam pemilian umum. Tidak hanya itu dalam konverensi penghapusan segala
bentuk deskriminasi perempuan melalui UU no 7 th 1984 mengatur hak-hak politik
perempuan yaitu Negara peserta konverensi wajib membuat peraturan yang tepat
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan
masyarakat suatu Negara.
Dalam UU no 39 th 1999 pasal 46 sitem pemilihan umum,
kepartaian, pemilihan anggota legislative dan eksekutif juga yudikatif harus
menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Akan
tetapi masih rendahnya tinggkat pendidikan dan pemberdayaan perempuan akan
politik juga belum optimal. Dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah
politik yang lebih relative dengan laki-laki dengan ideologi patriarki.
Pada kancah perpolitikan di Indonesia dari segi
keterwakilan perempuan baik pada esekutif, yudikatif maupun ranah legislative
dalam pengambilan keputusanya masih jauh tertinggal dari laki-laki. Sebabnya
posisi dan kedudukan yang dipegan perempuan tidak strategis dan kuarang penting
sehingga kebijakan yang digulikan tidak membawa manfaat yang cukup dan belum
respeprentatif, perempuan masih ditempakan dalam masyarakat kelas dua di kancah
perpolitikan Indonesia. “Stereotype gender” argument ini yang menjadikan
signifikan menolak perempuan menduduki jabatan yang starategis. Oleh karena itu
peta kepolitikan di Indonesia harus dirubah agar peranan perempuan di badan
politik bisa mengubah kebijakan yang masih di dominasi kepentingan laki-laki
dan buta gender.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar