Minggu, 07 Desember 2014

4. Responding Paper PEREMPUAN, AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM

Ahmad Fauzi
1112032100055
Perbandingan agama (B)
Responding Paper

PEREMPUAN, AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM
Di dalam pembahasan ini saya akan memfokuskan dan lebih banyak melihat pembahasan ini sebagai suatu bentuk dan petunjuk praktis untuk memahami perkembangan kesetaraan gender dan tradisi intelektual yang ada dan berkembang serta berpengaruh di dunia Islam maupun Barat, terutama di Indonesia. Namun, yang paling penting dari semua itu adalah, bahwa pembahasan ini lebih mengedepankan sumber-sumber maupun literatur yang ada, terutama yang berkaitan dengan hal tersebut, dan saya akan berusaha sedapat mungkin untuk menguraikannya secara objektif. Oleh karena itulah, di dalam pembahasan ini saya akan menguraikan dan menjelaskan keterkaitan — hubungannya secara sejarah (historis) dan konsep dari sebuah tradisi intelektual yang berkembang tentang kesetaraan gender yang meliputi: Pada Zaman Kolonialisme, Zaman Reformasi, dan Zaman Orde Lama dan Orde Baru yang akan diuraikan berikut ini:

o   Pada Zaman Kolonialisme.
Kartini bangkit kembali, setiap 21 April hadir di tengah bangsa Indonesia. Cita-citanya yang akan mengangkat perempuan Islam dari jeratan adat serta menjadikan Al-Qur`an sebagai sumber cita pembaruan, mengukirkan namanya dituliskan dengan tinta emas sejarah dan abadi sampai kini di tengah bangsanya. Oleh karena itu, segenap perempuan bumi putera diajaknya kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah swt., agar mampu menyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang patut dihormati.
Walau Kartini relatif muda usia 20 tahun, George Mc Tuman Kahin, menilai bahwa Karti-nilah sebenarnya pelopor pembaharuan pendidikan dalam era pergerakan nasional, Kartini bukan berjuang hanya untuk wanita, tetapi untuk kemajuan bangsanya. Cita-cita Kartini ingin melawan adat dan penjajah yang melakukan segala bentuk penindasan penjajahan terhadap bangsa Indonesia, baik penindasan dari praktik hukum adat ataupun penindasan penjajahan politik kerajaan protestan Belanda yang berdampak menurunkan martabat wanita. Kemajuan bangsa pun terhenti, karena ibu atau wanita sebagai sumber manusia menerima pendidikan dipingit di dalam rumahnya — pingitan yang awalnya menyelamatkan, namun akhirnya membutakan wanita tentang potensi dirinya.
Perang melawan penjajah yang berkepanjangan, melahirkan budaya pingitan yang membe-lenggu anak perempuan sejak di ambang remaja. Penjajah bertingkah laku menganggap rendah bangsa Indonesia, termasuk wanitanya diperlakukan sebagai wanita yang kehilangan kemerdekaan-nya. Tindakan yang demikin ini, merupakan suatu akibat dari kekuasaan politik Islam yang hanya tinggal sebuah nama — hukum Islam digantikan dengan hukum adat — para penjajah melegalisasi-kan hukum adat untuk dijadikan landasan hukum tindakan kaum bangsawan dalam mendapatkan  wanita tanpa batas jumlahnya. Kartini menulis situasi hancurnya martabat wanita di Surakarta, di sana hampir tidak ada laki-laki, yang perempuannya hanya seorang di dalam kalangan bangsawan, terutama lingkungan susuhan seorang laki-laki sampai lebih 26 orang perempuannya.
Kondisi seperti itu bukanlah otonom yang harus dibiarkan. Problem sosial ini menuntut Kartini berjuang untuk memperoleh kebebasan, "Aku hendak, aku mesti menuntut kebebasanku. Manakah aku akan menang, bila tiada berjuang. Tiada perjuangan tiada kemenangan, aku akan berjuang merebut kemerdekaanku".
Kalimat di atas merupakan ledakan jiwa Kartini yang bertekad melawan praktik hukum adat yang merendahkan kaum wanita. Kartini melawan arus zamannya ketika Kartini baru berusia 21 tahun dan putri bangsawan, tetapi tidak mau terbawa hanyut dengan tingkah laku para bangsawan yang terperangkap dalam jeratan penjajah. Kartini tidak mau mengikuti perempuan terpelajar lainnya dari kalangan pribumi, mereka ini tidak tergerak hatinya untuk berpartisipasi membangkit-kan perempuan dan bangsanya. Mereka surut kembali kejalan adat kuno dan terperosok kedalam dunia Eropa.

o   Zaman Orde Lama dan Orde Baru.
Perempuan Indonesia ikut berjuang dan mempertahankan kemerdekaa. Tugas organisasi perempuan diarahkan pada usaha-usaha perjuangan, baik di garis belakang dengan mengadakan dapur umum, maupun di garis depan, baik dengan nama satu badan perjuangan maupun tergabung dengan organisasi-organisasi lain.
Pada bulan Oktobar 1945 pertama kalinya organisasi kelaskaran perempuan dibentuk. Organsasi yang dibentuk oleh Ny. Aruji Kartawinata di Bandung bernama Lasykar Wanita Indonesia (Lasywi). Beranggotakan bekas Barisan dan pemuda Putri Indonesia (PPI), Lasywi juga merekrut perempuan-perempuan yang diizinkan oleh orang tua mereka. Pekerjaan yang dilakukan oleh lasywi selain tugas rutinitas seperti melakukan perawatan terhadap prajurit yang terlika dan menyelenggarakan dapur umum, dan melaksanakan tugas keintelan. Oleh karena itu, dalam kurun waktu 1945-1949 kaum perempuan mengambil bagian
Dalam membela negara dengan membentuk organisasi-organisasi. Di kalangan muslim berdiri organisasi kelaskaran bernama Laskar Muslimat yang berpusat dibukit tinggi dan laskar Sabil Muslimat yang ada di padang panjang. Selain itu, dari kalangan angkatan bersenjata di bentuk Korps polisi Wanita (Polwan), persatuan istri tentara (Persit), dan persatuan istri angkatan udara yang lebih dikenal dengan nama PIA (persatuan istri Ardia Garini). Pada masa perang kemerdekaan banyak berdirinya organisasi perempuan yang sangat membantu dalam melakukan berbagai kegiat-an untuk meringankan kesulitan hidup di garis belakang dan membantu semangat patriotik.
Pada tahun 1949, kaum perempuan berkump ul dalam rangka menyatukan kembali organisa-organisasi perempuan yang telah terpecah, sehingga perkumpulan tersebut dihadiri oleh 82 wakil ormas perempuan dari seluruh Indonesia. Adapun tujuan dari penyatuan kembali organisasi-organisasi perempuan tersebut adalah untuk bertekad mendapatkan kemerdekaan nasional sepenuh-nya. Sehingga perkumpulan tersebut merumuskan pernyataan lengkap untuk menetapkan kepen-tingan gender organisasi perempuan indonesia yang menghasilkan tuntutan sebagai berikut:
1.    Kesamaa hak perempuan dan laki-laki dicantumkan di dalam konstitusi republik.
2.    Semua warga negara memiliki hak atas pekerjaan.
3.    Undang-Undang perburuhan melindungi kaum buruh perempuan.
4.    Undang-Undang perkawinan disusun sesuai dengan aturan berbagai agama.
Pada masa Orde Baru pada periode akhir abad 20 jumlah organisasi perempuan semakin banyak dengan bentuk dan tujuan yang beragam. Fokus kegiatan mereka tidak hanya untuk perbaik-an kedudukan wanita dan hukum, tetapi juga mengusahakan agar semakin banyak wanita menempai kedudukan sebagai pengambil keputusan.
Secara umum organisasi-organisasi perempuan pada masa Orde Baru banyak yang bergerak dibidang umum, agama, profesi, etnik, dan penyatuan istri pegawai pemerintahan. Tetapi, jika dilihat dari indepedensinya organisasi perempuan pada masa Orde Baru dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
1.    Organisasi independen.
2.    Organisasi bentukan pemerintah.
Adapun identitas pergerakan organisasi perempuan pada masa Orde Baru, meskipun pergerakannya telah mengalami perkembangan yang baik secara organisasi dan jumlahnya. Namun, cenderung mengalami kehilangan peran dan signifikansinya dalam pergulatan untuk menentukan arah trasformasi yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya dua faktor penyebab, yaitu:
1.    Kondisi politik masa Orde Baru cenderung menghilangkan daya kritis dan inifatif organisasi perempuan itu sendiri.
2.    Kondisi faktor internal organisasi prgerakan perempuan itu sendiri yang mengalami masalah kurangnya kemampuan dan kesungguhan untuk menganalisis sosial dan politik untuk dapt memahami konteks serta permasalahan yang dihadapinya.      
Upaya pemberdayaan perempuan di Indonesia sejak Orde Lama Dan Orde Baru — meski-pun dalam banyak hal pemerintahan (sejak Orde Lama yang kemudian semakin tegas dalam Orde Baru) mengadopsi sistem sekuler dalam penyelenggaraan dan penmgelolaan negara yang seharus-nya membawa perbaikan yang signifikan, khususnya dalam posisi dan kedudukan kaum perempu-an. Namun, realitasnya tidaklah demikian. Ketidak-adilan dan ketidak-setaraan masih sangat kuat dirasakan kaum oleh kaum perempuan di Indonesian. Dihampir semua wilayah, terutama di Pedesa-an, adat istiadat tradisional, kepercayaan tabu, dan tekanan sosial masih menindas kaum perempuan — anak-anak perempuan biasanya diberi makan lebih sedikit, ditarik dari bangku pendidikan lebih awal, dipaksa memasuki kerja kasar lebih cepat, dan hanya sedikit yang mendapatkan perawatan kesehatan dibandingkan laki-laki. Ketika masih remaja, perempuan sering dipaksa kawin muda, setelah menjadi istri atau ibu, kaum perempuan masih banyak yang diperlakukan tak ubahnya sebagai mesin kerja dan umumnya mereka tidak mengenal adanya hak reproduksi, terlebih lagi tidak mendapatkan hak perlindungan reproduksi sehat.
Untuk program pemberdayaan perempuan, pemerintah Orde Baru memakai konsep Woment in Development (perempuan dal;am pembangunan), tetapi dinilai kurang berhasil. Sebab, perempu-an belum menjadi pelaku atau subyek dalam berbagai bidang pembangunan, mereka masih diperla-kukan sebagai obyek, sebagai sasaran pembagunan. Misalnya, dalam program keluarga berencana yang sangat gencar dilakukan pada masa Orde Baru. Perempuan diposisikan sebagai obyek sehingga akseptor hampir seluruhnya perempuan. Padahal, urusan keluarga seharusnya menjadi kepeduliaan bersama laki-laki dan perempuan.
Sebagai revisi terhadap konsep Woment in Development, mulai tahun 1990-an mengadopsi konsep konsep Gender and Development (Gender dan pembangunan) sebagai paradigma pembang-unan mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dan laki-laki secara bersama-sama dalam sluruh proses dan tahapan pembangunan. Konsep Gender and Development mengasumsikan gender sebagai konstruksi sosial. Oleh karena itu, seluruh bangunan konstruksi sosial yang dibuat atas peran perempuan dan laki-laki bisa dapat diubah. Peran tradisional yang tadinya dianggap sebagai mutlak milik kaum perempuan, sesungguhnya bisa dapat diubah menjadi peran laki-laki dan harus melibatkan tanggung-jawab laki-laki. Artinya, isu-isu tradisional yang selalu dilabelkan kepada posisi dan fungsi perempuan dalam masyarakat tidak lagi semata-mata menjadi pemikiran atau kepedulian perempuan, melainkan menjadi pemikiran dan kepedulian laki-laki.

o   Zaman Reformasi.
Gerakan perempuan masa reformasi — pada masa ini sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, jsutru ada penurunan di banidng masa-masa akhir rejim Orba. Namun, secara kualitatif, peran perempuan itu semakin diperhitungkan — pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.
Perkembagan organisasi perempuan Indonesia pada masa reformasi pada tahun 2000 terjadi perubahan yang fundamental adanya koalisi dan analisi gerakan perempuan berkembangan berkembang di mana-mana dengan agenda bersama dengan apa yang disebut “affirmative actions”. Akses perempuan untuk menduduki jabatan strategis dihambat oleh alasan-alasan peran reproduksi perempuan yang tidak masuk akal. Untuk menjadi Negara yang berdemokrasi, hak politik perempuan dan laki-laki mutlak di akui keberadaanya.
Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga), maka kini diperlengkap dengan basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.
Setidaknya di bidang perundangan, Indonesia mempunyai UU Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, UU Trafficking, UU Partai Politik dan Pemilu, UU Kewarganegaraan, UU Pornografi, rencana revisi UU Perkawinan, dan lain-lain.
Meski demikian, beberapa perundangan tersebut masih memerlukan kajian gender yang lebih mendalam, terutama soal implementasi di lapangan. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, kaum perempuan tetap harus mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi sumber daya manusia yang potensial. Hal itu bisa membuat persepsi, eksistensi, dan peluang perempuan yang telah terstruktur dalam masyarakat menjadi makin terbuka, termasuk membangun kaum ibu melalui pembangunan keluarga berkualitas.
Gerakan perempuan yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi ditandai dengan terpilihnya presiden Perempuan Pertama Megawati Soekarno Putri ditetapkan UU No 12 th 2003 yang menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif (pasal 65 ayat: 1) dengan syarat yang sama dengan laki-laki. Keputusan tersebut menjadikan langkah besar bagi perempuan untuk sejajar dengan laki-laki dalam proses politik.

o   Partisipasi Politik Perempuan Indonesia
Politik perempuan dibutuhkan dalam upaya pengitegrasian kebutuhan gender, instrument hukum yang sensitive gender dan kemajuan perempuan di berbagai sector kehidupan. Penegasan hak-hak politik perempuan dibuktikan dengan diratifikasikanya konvrensi hak-hak politik perem-puan tahun 1953, dalam konverensi PBB tentang hak untuk dipilih bagi semua badan yang dipilih langsung secara umum. Selain itu diatur pula: perempuan juga berhak memberikan suara mereka dalam pemilian umum. Tidak hanya itu dalam konverensi penghapusan segala bentuk deskriminasi perempuan melalui UU no 7 th 1984 mengatur hak-hak politik perempuan yaitu Negara peserta konverensi wajib membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan masyarakat suatu Negara.
Dalam UU no 39 th 1999 pasal 46 sitem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota legislative dan eksekutif juga yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Akan tetapi masih rendahnya tinggkat pendidikan dan pemberdayaan perempuan akan politik juga belum optimal. Dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah politik yang lebih relative dengan laki-laki dengan ideologi patriarki.
Pada kancah perpolitikan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik pada esekutif, yudikatif maupun ranah legislative dalam pengambilan keputusanya masih jauh tertinggal dari laki-laki. Sebabnya posisi dan kedudukan yang dipegan perempuan tidak strategis dan kuarang penting sehingga kebijakan yang digulikan tidak membawa manfaat yang cukup dan belum respeprentatif, perempuan masih ditempakan dalam masyarakat kelas dua di kancah perpolitikan Indonesia. “Stereotype gender” argument ini yang menjadikan signifikan menolak perempuan menduduki jabatan yang starategis. Oleh karena itu peta kepolitikan di Indonesia harus dirubah agar peranan perempuan di badan politik bisa mengubah kebijakan yang masih di dominasi kepentingan laki-laki dan buta gender.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar