Ahmad Fauzi
1112032100055
Perbandingan
Agama (B)
Responding
Paper
RELASI
GENDER DALAM ISLAM
Tidak mudah untuk
membahas relasi gender menurut sudut pandang Islam. Penyebabnya, hubungan
pria-wanita dalam konteks kekinian telah memposisikan Islam sebagai salah satu
unsur penghambat proses pemberdayaan kaum wanita. Bahkan, secara ekstrem, Islam
dianggap telah memberikan semacam legitimasi bagi dominasi pria atas kaum Hawa.
Misalnya, mulai dari adanya perbedaan porsi harta waris antara pria dengan
wanita, larangan bagi kaum wanita untuk terlibat secara aktif dalam dunia politik—semacam
penolakan terhadap Megawati untuk menjadi presiden atau poligami yang dianggap
sebagai pelecehan terhadap harkat derajat kaum Hawa, hingga masalah larangan
wanita menjadi imam shalat bagi kaum pria.
Lantas, muncullah
upaya reinterpretasi ajaran-ajaran Islam atau rekonstruksi atas pemahaman
Islam. Upaya ini dilakukan dengan semangat feminisme demi mewujudkan
pemberdayaan kaum wanita sekaligus melepaskan mereka dari “sangkar madu” kaum
Adam. Rekonstruksi ini dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa karya-karya
Islam klasik tidak lepas dari muatan maskulinitas para pengarangnya. Dengan
kata lain, mereka bermaksud mengatakan bahwa, para ulama kaum Muslim terdahulu
telah melakukan “ketidakadilan” gender. Oleh karena itu, adanya proses
reinterpretasi dan rekonstruksi pemahaman Islam yang akan memberikan
“pencerahan” bagi relasi pria-wanita adalah suatu keniscayaan.
Pada dasarnya Islam adalah agama yang menekankan spirit
keadilan dan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Relasi gender dalam
masyarakat yang cenderung kurang adil merupakan kenyataan yang menyimpang dari
spirit Islam yang menekankan pada keadilan. Secara umum nampaknya al-Qur’an
mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan,
tetapi perbedaan tersebut bukanlah perbedaan (discrimination) yang
menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lain (perbedaan kodrati). Perbedaan
tersebut dimaksudkan untuk mendukung terciptanya hubungan yang harmonis serta
cikal bakal terwujudnya komunitas ideal. Sehingga keduanya
dapat saling melengkapi satu sama lain.
Keluarga adalah sel hidup utama yang membentuk organ
tubuh masyarakat. Jika keluarga baik, maka masyarakat secara keseluruhan akan
ikut baik dan jika keluarga rusak, masyarakat pun ikut rusak. Bahkan keluarga
adalah miniature umat yang menjadi sekolah pertama bagi manusia dalam
mempelajari etika social yang terbaik. Sehingga tidak ada umat tanpa keluarga,
bahkan tidak ada masyarakat humanisme tanpa keluarga.
Keluarga merupakan milieu social pertama dan
satu-satunya yang menyambut manusia sejak kelahiran, selalu bersama sepanjang
hidup, ikut menyertai dari satu fase ke fase selanjutnya. Dalam pendekatan
Islam, keluarga adalah basis utama yang menjadi pondasi bangunan komunitas dan
masyarakat Islam. Sehingga keluarga mendapat lingkupan perhatian dalam Al
Qur’an. Keluarga adalah system Robbani bagi manusia yang mencakup segala
karakteristik dasar fitrah manusia, kebutuhan, dan unsure-unsurnya. System
keluarga dalam Islam terpancar dari fitrah dan karakter alamiah yang
merupakan basis penciptaan makhluk hidup. Hal ini tampak pada firman Allah SWT
yang artinya :
“ dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS: Ar Ruum : 21)
Keluarga menurut konsepsi Islam menguak penggabungan
fitrah antara kedua jenis manusia. Namun, bukannya untuk menggabungkan antara
sembarang pria dan wanita dalam wadah komunisme kehewanan, melainkan untuk
mengarahkan penggabungan tersebut kearah pembentukan keluarga dan rumah tangga.
Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga dalam Islam adalah system alamiah dan
berbasis fitrah.
Keluarga adalah tempat pengasuhan alami yang
melindungi anak yang baru tumbuh serta merawatnya, serta mengembangkan fisik,
akal, dan spiritualitasnya. Dalam naungan keluarga, perasaan cinta, empati, dan
solidaritas berpadu dan menyatu. Anak-anak pun akan bertabiat dengan tabiat
yang biasa dilekati sepanjang hidupnya. Lalu, dengan petunjuk dan arahan
keluarga, anak itu akan dapat menyongsong hidup, memahami makna hidup dan
tujuan-tujuannya, serta mengetahui bagaimana berinteraksi dengan makhluk hidup.
Banyak mitos yang sudah tertanam di masyarakat,
misalnya tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan
ayah/suami, sementara tanggung jawab domestik adalah tanggung jawab ibu/istri.
Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga
tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak
terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan
kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti
pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi
peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun
masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik
laki-laki saja atau milik perempuan saja.
Peran-peran dalam keluarga tidak seluruhnya kaku
sebagai tugas/peran ibu, ayah, anak laki-laki, atau anak perempuan saja, tetapi
ada beberapa tugas/peran yang dapat dipertukarkan. Sebaiknya, peran-peran yang
melekat pada perempuan atau laki-laki di dalam keluarga tidak terjebak pada
perbedaan gender. Kesetaraan gender tidak berarti menempatkan segala sesuatu
harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan
spesifik masing-masing anggota keluarga. Kesetaraan gender dalam keluarga
mengisyaratkan adanya keseimbangan dalam pembagian peran antar anggota keluarga
sehingga tidak ada salah satu yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta
fungsi keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam
pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai.
Rasulullah saw. telah memulai suatu tradisi baru
dalam memandang kaum perempuan. Ia melakukan dekonstruksi terhadap cara pandang
masyarakat Arab yang masih didominasi cara pandang Fir’aun. Setiap kelahiran
bayi perempuan disambut dengan muka masam. Karena itu, secara demonstratif
Rasulullah sering membanggakan anak-anak perempuannya di hadapan para sahabat.
Tanpa malu-malu, Rasulullah juga menggandeng anak perempuannya di muka umum
(Hasyim, 1999:6). Sebagai manusia pilihan Tuhan, Muhammad Rasulullah memberikan
teladan bagi perlakukan baik terhadap kaum perempuan. Sikap teladan Rasulullah
yang menonjol adalah keadilannya dalam memperlakukan istri-istrinya. Tidak
pernah didengar sebuah riwayat pun yang menyatakan Rasulullah berbuat tidak
adil terhadap istri-istrinya. Memang antara satu istri dengan istri-istrinya
yang lain terkadang saling cemburu dan iri hati, namun Rasulullah berusaha
membagikan apa-apa yang dimilikinya kepada mereka secara merata tanpa ada
pengecualian (Hasyim, 1999:7).
Fenomena tampilnya perempuan dalam berbagai sektor
menunjukkan bahwa saat ini, baik di Barat maupun di dunia Islam terutama di
Indonesia, telah terjadi pergeseran paradigma pemikiran, perubahan persepsi
masyarakat dalam menakar harga perempuan di pentas sosial politik. Perubahan
itu, merupakan sebuah proses panjang dari orientasi sosial dan kultural yang
selama ini didominasi oleh arogansi peradaban patriarkhi yang
menempatkan perempuan sebagai kelompok marginal dalam tatanan kehidupan sosial.
Kesadaran itu tidak saja menawarkan struktur sosial yang equilibrium antara
struktur patriarki dan matriarki, tetapi juga menantang sejauh
mana objektivitas dan supremasi ajaran Islam dalam menempatkan posisi perempuan
secara layak dan proportional berdasarkan Alquran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar