Minggu, 07 Desember 2014

3. Responding Paper RELASI GENDER DALAM ISLAM

Ahmad Fauzi
1112032100055
Perbandingan Agama (B)
Responding Paper

RELASI GENDER DALAM ISLAM  
Tidak mudah untuk membahas relasi gender menurut sudut pandang Islam. Penyebabnya, hubungan pria-wanita dalam konteks kekinian telah memposisikan Islam sebagai salah satu unsur penghambat proses pemberdayaan kaum wanita. Bahkan, secara ekstrem, Islam dianggap telah memberikan semacam legitimasi bagi dominasi pria atas kaum Hawa. Misalnya, mulai dari adanya perbedaan porsi harta waris antara pria dengan wanita, larangan bagi kaum wanita untuk terlibat secara aktif dalam dunia politik—semacam penolakan terhadap Megawati untuk menjadi presiden atau poligami yang dianggap sebagai pelecehan terhadap harkat derajat kaum Hawa, hingga masalah larangan wanita menjadi imam shalat bagi kaum pria.
Lantas, muncullah upaya reinterpretasi ajaran-ajaran Islam atau rekonstruksi atas pemahaman Islam. Upaya ini dilakukan dengan semangat feminisme demi mewujudkan pemberdayaan kaum wanita sekaligus melepaskan mereka dari “sangkar madu” kaum Adam. Rekonstruksi ini dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa karya-karya Islam klasik tidak lepas dari muatan maskulinitas para pengarangnya. Dengan kata lain, mereka bermaksud mengatakan bahwa, para ulama kaum Muslim terdahulu telah melakukan “ketidakadilan” gender. Oleh karena itu, adanya proses reinterpretasi dan rekonstruksi pemahaman Islam yang akan memberikan “pencerahan” bagi relasi pria-wanita adalah suatu keniscayaan.
Pada dasarnya Islam adalah agama yang menekankan spirit keadilan dan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Relasi gender dalam masyarakat yang cenderung kurang adil merupakan kenyataan yang menyimpang dari spirit Islam yang menekankan pada keadilan. Secara umum nampaknya al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah perbedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lain (perbedaan kodrati). Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung terciptanya hubungan yang harmonis serta cikal bakal terwujudnya komunitas ideal. Sehingga keduanya dapat saling melengkapi satu sama lain.
Keluarga adalah sel hidup utama yang membentuk organ tubuh masyarakat. Jika keluarga baik, maka masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik dan jika keluarga rusak, masyarakat pun ikut rusak. Bahkan keluarga adalah miniature umat yang menjadi sekolah pertama bagi manusia dalam mempelajari etika social yang terbaik. Sehingga tidak ada umat tanpa keluarga, bahkan tidak ada masyarakat humanisme tanpa keluarga.
 Keluarga merupakan milieu social pertama dan satu-satunya yang menyambut manusia sejak kelahiran, selalu bersama sepanjang hidup, ikut menyertai dari satu fase ke fase selanjutnya. Dalam pendekatan Islam, keluarga adalah basis utama yang menjadi pondasi bangunan komunitas dan masyarakat Islam. Sehingga keluarga mendapat lingkupan perhatian dalam Al Qur’an. Keluarga adalah system Robbani bagi manusia yang mencakup segala karakteristik dasar fitrah manusia, kebutuhan, dan unsure-unsurnya. System keluarga dalam Islam terpancar dari fitrah dan karakter alamiah  yang merupakan basis penciptaan makhluk hidup. Hal ini tampak pada firman Allah SWT yang artinya :
  dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS: Ar Ruum : 21)

Keluarga menurut konsepsi Islam menguak penggabungan fitrah antara kedua jenis manusia. Namun, bukannya untuk menggabungkan antara sembarang pria dan wanita dalam wadah komunisme kehewanan, melainkan untuk mengarahkan penggabungan tersebut kearah pembentukan keluarga dan rumah tangga. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga dalam Islam adalah system alamiah dan berbasis fitrah.
Keluarga adalah tempat pengasuhan alami yang melindungi anak yang baru tumbuh serta merawatnya, serta mengembangkan fisik, akal, dan spiritualitasnya. Dalam naungan keluarga, perasaan cinta, empati, dan solidaritas berpadu dan menyatu. Anak-anak pun akan bertabiat dengan tabiat yang biasa dilekati sepanjang hidupnya. Lalu, dengan petunjuk dan arahan keluarga, anak itu akan dapat menyongsong hidup, memahami makna hidup dan tujuan-tujuannya, serta mengetahui bagaimana berinteraksi dengan makhluk hidup.
Banyak mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggung jawab domestik adalah tanggung jawab ibu/istri. Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.
Peran-peran dalam keluarga tidak seluruhnya kaku sebagai tugas/peran ibu, ayah, anak laki-laki, atau anak perempuan saja, tetapi ada beberapa tugas/peran yang dapat dipertukarkan. Sebaiknya, peran-peran yang melekat pada perempuan atau laki-laki di dalam keluarga tidak terjebak pada perbedaan gender. Kesetaraan gender tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Kesetaraan gender dalam keluarga mengisyaratkan adanya keseimbangan dalam pembagian peran antar anggota keluarga sehingga tidak ada salah satu yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai.
Rasulullah saw. telah memulai suatu tradisi baru dalam memandang kaum perempuan. Ia melakukan dekonstruksi terhadap cara pandang masyarakat Arab yang masih didominasi cara pandang Fir’aun. Setiap kelahiran bayi perempuan disambut dengan muka masam. Karena itu, secara demonstratif Rasulullah sering membanggakan anak-anak perempuannya di hadapan para sahabat. Tanpa malu-malu, Rasulullah juga menggandeng anak perempuannya di muka umum (Hasyim, 1999:6). Sebagai manusia pilihan Tuhan, Muhammad Rasulullah memberikan teladan bagi perlakukan baik terhadap kaum perempuan. Sikap teladan Rasulullah yang menonjol adalah keadilannya dalam memperlakukan istri-istrinya. Tidak pernah didengar sebuah riwayat pun yang menyatakan Rasulullah berbuat tidak adil terhadap istri-istrinya. Memang antara satu istri dengan istri-istrinya yang lain terkadang saling cemburu dan iri hati, namun Rasulullah berusaha membagikan apa-apa yang dimilikinya kepada mereka secara merata tanpa ada pengecualian (Hasyim, 1999:7).
Fenomena tampilnya perempuan dalam berbagai sektor menunjukkan bahwa saat ini, baik di Barat maupun di dunia Islam terutama di Indonesia, telah terjadi pergeseran paradigma pemikiran, perubahan persepsi masyarakat dalam menakar harga perempuan di pentas sosial politik. Perubahan itu, merupakan sebuah proses panjang dari orientasi sosial dan kultural yang selama ini didominasi oleh arogansi peradaban patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai kelompok marginal dalam tatanan kehidupan sosial. Kesadaran itu tidak saja menawarkan struktur sosial yang equilibrium antara struktur patriarki dan matriarki, tetapi juga menantang sejauh mana objektivitas dan supremasi ajaran Islam dalam menempatkan posisi perempuan secara layak dan proportional berdasarkan Alquran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar