Minggu, 07 Desember 2014

ebook Pengelolaan Kekayaan Alam DARI DESA KE DESA

Dinamika Gender
dan Pengelolaan
Kekayaan Alam
DARI DESA
KE DESA
Editor
Yayan Indriatmoko, E. Linda Yuliani,
Yunety Tarigan, Farid Gaban, Firkan Maulana,
Dani Wahyu Munggoro, Dicky Lopulalan,
Hasantoha Adnan
Kata Sambutan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia
Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono
Editor
Yayan Indriatmoko, E. Linda Yuliani, Yunety Tarigan, Farid Gaban, Firkan Maulana,
Dani Wahyu Munggoro, Dicky Lopulalan, Hasantoha Adnan
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Foto-foto sampul oleh
Leon Budi Prasetyo, Yayan Indriatmoko, Yentirizal dan Zul M.S
Desain grafis dan tata letak oleh
Eko Prianto
Peta-peta dikompilasi oleh
Mohammad Agus Salim, GIS Unit CIFOR
Indriatmoko, Yayan et al. (eds.)
Dari desa ke desa: dinamika gender dan pengelolaan kekayaan alam/edited by Yayan Indriatmoko,
E. Linda Yuliani, Yunety Tarigan, Farid Gaban, Firkan Maulana, Dani Wahyu Munggoro, Dicky
Lopulalan, Hasantoha Adnan. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research (CIFOR).
132 hal + xvi hal; 176 cm x 250 cm
ISBN-13: 978-979-24-4686-9
ISBN-10: 979-24-4686-9
CABI thesaurus: 1. rural development 2. natural resources 3. resource management 4. gender
relations 5. women 6. villages 7. Indonesia I. Title
© oleh CIFOR
Diterbitkan 2007
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
Dicetak oleh SUBUR Printing, Jakarta
Diterbitkan oleh
Center for International Forestry Research (CIFOR)
Alamat Pos: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia
Alamat Kantor: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang,
Bogor Barat 16880, Indonesia
Telp: +62 (0251) 622622. Fax: +62 (0251) 622100
E-mail: cifor@cgiar.org
Situs web: http://www.cifor.cgiar.org
DAFTAR ISI
Ucapan Terimakasih v
Sambutan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia vii
Profil Penulis x
Daftar Singkatan dan Akronim xiv
Pembuka 1
Cerita dari Desa ke Desa
Yayan Indriatmoko
BAGIAN 1 9
Merintis Konservasi, Kesejahteraan dan Kesetaraan Bersama Bakau
Swary Utami Dewi
BAGIAN 2 23
Aksi Kolektif Perempuan Kelompok Dasa Wisma
Neldysavrino
BAGIAN 3 33
Ketika Emas Tak Lagi Bersinar
Aida Rahmah
BAGIAN 4 41
Mencari Alternatif di Sungai Telang
Yentirizal
iv Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
BAGIAN 5 49
Bertahan Saat Hidup Semakin Sulit
Seselia Ernawati
BAGIAN 6 61
Menyelamatkan Kerajaan Kupu-kupu di Bantimurung, Sulawesi Selatan
Salma Tajang
BAGIAN 7 71
Kembali ke Ladang Menggapai Asa
Effi Permata Sari
BAGIAN 8 83
Prospek Pelibatan Perempuan dalam Rehabilitasi Hutan
Asmanah Widiarti dan Chiharu Hiyama
BAGIAN 9 93
Inspirasi dari Sebuah Madrasah
Tommy Erwinsyah
BAGIAN 10 105
Dilema Kampung Muluy di Kaki Gunung Lumut
Amin Jafar
BAGIAN 11 121
Perempuan Pembaharu Desa
Catur Budi Wiati
Ucapa n Terimakasih
Para penulis telah memberikan ucapan terimakasih di akhir tiap-tiap tulisan.
Namun demikian kami merasa perlu untuk menyampaikan rasa terimakasih
kepada Ujjwal Pradan dan Moira Moeliono atas dukungannya sehingga Ford
Foundation bisa membiayai kegiatan lokatulis (writing workshop) Gender dan
Keragaman Hayati sebagai cikal bakal buku ini. Kepada Multistakeholders
Forestry Programme (MFP) – program kerjasama kehutanan antara Departemen
Kehutanan Republik Indonesia dan Department for International Development
Kerajaan Inggris yang mendanai penerbitan buku ini melalui proyek Adaptive
Collaborative Management (ACM) di Jambi, kami mengucapkan terimakasih.
Secara khusus kami juga mengucapkan terimakasih kepada Rahayu Koesnadi,
Mohammad Agus Salim, Novasyurahati, Atie Puntodewo, Meiling Situmorang,
dari CIFOR yang telah membantu proses penerbitan, dari persiapan lokatulis
sampai dengan pencetakan buku ini.
Terimakasih juga kepada rekan-rekan CIFOR yang sudah meluangkan waktu
memeriksa draft tulisan dan memberikan umpan balik terhadap para penulis untuk
persiapan lokatulis. Mereka adalah Carol Colfer, Heru Komarudin, Yani Saloh,
Yulia Siagian, Meilinda Wan, Dede William, Yurdi Yasmi, Widya Prajanthi dan
Gideon Suharyanto. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ani Kartikasari,
Endah Sulistyawati dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, Irwan
vi Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Martua Hidayana dari Jurusan Antropologi, FISIP UI, yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan masukan terhadap draf buku ini sehingga tulisan
dalam buku ini menjadi lebih baik.
Kami menyadari masih banyak kekurangan, baik dalam hal data, analisa maupun
teknik penulisan. Karenanya, komentar dan saran akan kami terima dengan
senang hati sebagai masukan untuk penulisan berikutnya.
Tim Editor
Sambuta n Menteri Negara
Pemberdayaan Perempua n
Republik Indonesia
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya menyambut gembira prakarsa Center for International Forestry Research
(CIFOR) yang menerbitkan buku “Dari Desa ke Desa: Dinamika Gender dan
Pengelolaan Kekayaan Alam” ini, sebuah buku yang merupakan kumpulan
tulisan dari para pendamping masyarakat dan peneliti mengenai persoalan gender
dan pengelolaan kekayaan alam, hasil kegiatan Lokatulis tentang Gender dan
Keragaman Hayati, Oktober 2005. Buku seperti ini kita harapkan akan semakin
memperluas pemahaman di masyarakat tentang masalah yang sangat serius ini.
Gender adalah konsep tentang peran dan tanggung jawab perempuan dan lakilaki
yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Peran dan tanggung jawab yang
dikonstruksikan masyarakat tersebut seringkali timpang dan tidak adil. Oleh
sebab itu, diperlukan berbagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender.
Negara kita telah menetapkan strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender dengan cara memasukkan atau mengintegrasikan aspek gender di
viii Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
dalam proses pembangunan nasional. Strategi tersebut disebut pengarusutamaan
gender (gender mainstreaming), yang disingkat sebagai PUG dan pelaksanaannya
diperkuat oleh Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000.
Strategi pengarusutamaan gender ini harus diterapkan di seluruh proses lembaga
pemerintah. Dengan kata lain, di dalam seluruh proses pembangunan (mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan) harus
mempertimbangkan kebutuhan laki-laki dan perempuan yang responsif gender.
Proses pengarusutamaan gender memerlukan data terpilah antara perempuan
dan laki-laki, serta kemampuan analisis gender sehingga menghasilkan sebuah
perencanaan pembangunan serta anggaran yang responsif gender.
Saya menghimbau semua pihak, termasuk Center for International Forestry
Research (CIFOR), untuk memberi kontribusi dalam proses pengarusutamaan
gender di segala bidang. Sebagai contoh dalam pengelolaan kekayaan alam juga
harus dimasukkan aspek gender, mulai dari tahap perencanaan sampai ke tahap
paling akhir.
Dengan melaksanakan analisis gender, kita dapat mengetahui apakah perempuan
dan laki-laki dapat memperoleh akses partisipasi, pengambilan keputusan, kontrol
dan manfaat pada sumberdaya alam serta pengelolaan kekayaan alam yang sama
atau tidak.
Dengan mengetahui hal-hal itu, maka kita dapat melakukan perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kekayaan alam
yang responsif gender secara efektif. Hal ini sangat penting, mengingat bahwa
perempuan masih sering termaginalkan dalam pengelolaan kekayaan alam dan
hutan, padahal kehidupan perempuan terutama di pelosok-pelosok, sangat erat
hubungannya dengan kehidupan alam. Perempuan bahkan dapat berperan lebih
efektif dalam tahapan reboisasi, diantaranya dalam kegiatan persemaian bibit
tanaman sebelum dipindah ke hutan.
Dengan membaca buku ini diharapkan akan menambah inspirasi pembaca tentang
bagaimana perempuan dapat mengelola kekayaan alamnya untuk kemaslahatan
bersama melalui cara-cara yang ramah lingkungan.
Saya berharap penerbitan kumpulan tulisan ini merupakan langkah awal yang
akan diikuti lagi oleh langkah-langkah penerbitan tulisan lainnya oleh Center for
International Forestry Research (CIFOR) tentang topik yang sama, “Gender dan
Dari Desa ke Desa ix
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Pengelolaan Kekayaan Alam”, yang lebih kaya lagi dengan pemikiran-pemikiran
yang dapat menjadi masukan dalam penerapan strategi pengarusutamaan
gender.
Selamat membaca.
Wabillahi Taufiq wal Hidayah
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Profil Penulis
1. Catur Budi Wiati
Lahir di Magelang, 8 September 1973. Lulusan dari Fakultas Kehutanan,
Universitas Lambung Mangkurat ini sejak tahun 2000 berkarier sebagai peneliti
bidang perhutanan sosial di Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Kalimantan Samarinda. Beberapa tulisan ilmiahnya tentang pengelolaan hutan
secara tradisional telah dipublikasikan oleh Departemen Kehutanan.
2. Yentirizal
Alumni Fakultas Pertanian Universitas Ekasakti Padang tahun 1995 ini lahir
di Siulak Gedang, Kerinci, Jambi. Pernah menjadi Fasilitator Desa pada WWF
Indonesia untuk Proyek Kerinci Seblat - Integrated Conservation and Development
Project (KS-ICDP), Koordinator Ekspose Media Masa untuk Program Kegiatan
Penyadaran dan Advokasi TNKS di Provinsi Jambi, dan Fasilitator Desa pada
Center for International Forestry Research (CIFOR) untuk Program Collective
Action and Property Right (CAPRi).
3. Aida Rahmah
Aida lahir di Balikpapan pada 17 Oktober 1971. Setelah Lulus SMA di
Balikpapan, penulis melanjutkan pendidikannya di D3 Informatika di Sekolah
Tinggi Informatika dan Komputer Indonesia (STIKI) Malang, Jawa Timur. Setelah
tamat, penulis kembali ke daerah asalnya dan terlibat dalam Proyek Reintroduksi
Dari Desa ke Desa xi
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Orangutan, The MoF-Tropenbos Kalimantan Project, Wanariset Samboja hingga
2001. Lajang yang menyukai dan menyayangi orang utan ini, sejak Oktober 2004
bergabung dengan Yayasan PADI Indonesia, Balikpapan.
4. Amin Jafar
Penulis lahir pada 18 Agustus 1968 di Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah
tamat SLTA di Balikpapan tahun 1988, Amin tidak meneruskan ke perguruan
tinggi, tapi justru kembali berbaur dengan masyarakat di Penajam, Kalimantan
Timur, tempat ia dibesarkan. Tahun 1999, Amin bergabung dengan Yayasan
PADI Indonesia sebagai fasilitator masyarakat hingga 2002. Amin Jafar yang
gemar berkebun ini akhirnya kembali ke Penajam dan bekerja sebagai pekerja
lepas.
5. Effi Permatasari
Effi lahir di Padang 19 Januari 1976. Ia menyelesaikan kuliah di Fakultas
Pertanian Universitas Jambi pada tahun 2000. Kiprah di dunia LSM dimulai
sejak 2001 di Yayasan Gita Buana, Jambi. Sampai sekarang Effi terlibat aktif
sebagai pendamping masyarakat pada program ACM-Jambi.
6. Tommy Erwi nsyah
Tommy lahir di Bengkulu pada 12 September 1980, menamatkan kuliah S1
di Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Bengkulu. Sejak 2000 sampai saat ini aktif di Laboratorium
Pengembangan Administrasi Pembangunan, Jurusan Ilmu Administrasi Negara,
Universitas Bengkulu. Semenjak 2001 sampai saat ini, Tommy juga aktif di
Yayasan Kelopak Bengkulu dan mendirikan Perkumpulan SPORA (Solidaritas
untuk Pengelolaan Lingkungan Hidup berbasis Masyarakat) pada tahun 2006.
7. Salma Tajang
Salma lahir di Soppeng 31 Desember 1970 dan sejak mahasiswa di Universitas
Hasanuddin, sudah aktif menulis di media cetak. Karier jurnalistik dimulainya
sejak di SKK Identita, sebuah koran kampus di UNHAS tahun 1994, Majalah
Sinar-Jakarta tahun 1996, Tabloid Mingguan DEMOs tahun 1999 sampai 2003.
Tahun 2001 bersama dengan kawan-kawan Alumni Amhers, Salma mendirikan
JURNAL CELEBES dan CAGAR. Salma kini masih aktif menjadi pengurus
JURNAL CELEBES di Makassar.
xii Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
8. Asmanah Widiarti
Asmanah yang lahir di Sumedang, 27 Januari 1959 ini menyelesaikan studi
Program S1 dan S2 di Institut Pertanian Bogor. Sejak 1982 hingga sekarang
ia bekerja sebagai peneliti bidang Social Forestry di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan.
9. Chiharu Hiyama
Chiharu Hiyama lahir di Jepang pada tanggal 18 Mei 1970. Memperoleh gelar
sarjana di bidang pertanian pada tahun 1993 di Universitas Tsukuba dan gelar
master pada tahun 1995 di universitas yang sama. Pada tahun 2003, Chiharu
menyelesaikan studi masternya di bidang pembangunan dan pengelolaan
lingkungan (Environmental Management and Development) pada The Australian
National University, Australia. Pernah bekerja sebagai Rural Development Officer
untuk proyek JICA di Nepal pada tahun 1997 – 1999, menjadi konsultan untuk
IHC (Institute for Himalayan Conservation) pada tahun 2000. Sejak September
2003 hingga September 2005, Chiharu menjadi salah satu fellow peneliti di
CIFOR dengan melakukan penelitian tentang gender dan keragaman hayati di
Indonesia.
10. Swari Utami Dewi
Ibu dari 3 anak ini lahir di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Tami, demikian dia
biasa dipanggil, menyelesaikan kuliah strata 1 di Jurusan Kriminologi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, dan D3 Sastra Perancis di Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia serta strata 2 bidang Policy Studies di Monash University, Australia.
Perempuan berdarah Dayak Ngaju ini pernah magang selama hampir 1 tahun
di Harian Republika dan aktif selama lebih dari 4 tahun di sebuah kelompok
remaja masjid, Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar, Jakarta. Tami pernah
bekerja untuk Program Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, sebuah
program kerjasama antara UNIFEM dan UNFPA tahun 2000-2001. Kemudian
ia bergabung dengan Multistakeholder Forestry Program (MFP) — sebuah program
kerjasama Pemerintah Kerajaan Inggris dan Departemen Kehutanan RI —
sebagai fasilitator daerah Kalimantan.
11. Seselia Ernawati
Nina, demikian panggilan sehari-hari perempuan berusia 29 tahun ini,
bergabung bersama Yayasan Riak Bumi pada pertengahan 2003. Sebelumnya,
Nina menyelesaikan pendidikan Ilmu komunikasi di Bandung. Pernah punya
pengalaman sebagai bidan di desa selama tiga tahun. Saat ini, di Yayasan
Riak Bumi, ia sedang melakukan penelitian aksi berkaitan dengan gender dan
Dari Desa ke Desa xiii
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
keanekaragaman hayati di Taman Nasional Danau Sentarum yang didukung
CIFOR. Sambil bekerja, Nina masih menyempatkan diri untuk kuliah di Fakultas
Hukum, Universitas Tanjungpura, Pontianak.
12. Neldysavrino
Lahir di Jambi, 4 Oktober 1970, dari pasangan H. Erman Imran dan Rosna Erman.
Penulis menamatkan seluruh jenjang pendidikan di Kotamadya Jambi dan
memperoleh gelar sarjana pertanian dari Universitas Jambi. Pengamalan kerja di
dunia LSM mulai digelutinya sejak 1999 bersama Yayasan WARSI untuk proyek
Integrated Conservation and Development Project (ICDP-TNKS) hingga 2001.
Selanjutnya penulis bekerja pada beberapa proyek-proyek jangka pendek dari
Yayasan Gita Buana Jambi dan BirdLife Indonesia. Sejak awal 2005 hingga saat
ini penulis bekerja untuk program Collective Action and Property Right (CAPRi)
– CIFOR.
DAFTAR SINGKATAN DAN
AKRONIM
ACM Adaptive Collaborative Management
AKP Analisis Kemiskinan Partisipatif
AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
BBM Bahan Bakar Minyak
BKSDA Balai Konservasi Sumber Daya Alam
CAPRi Collective Action and Property Right
CIFOR Center for International Forestry Research
CSSP Civil Society Support and Strengthening Program
DFID Department for International Development
FAO Food and Agriculture Organization
HPH Hak Penguasaan Hutan
HTI Hutan Tanaman Industri
IHC Institute for Himalayan Conservation
IPPM Institusi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat
Inpres Instruksi Presiden
IPB Institut Pertanian Bogor
KS-ICDP Kerinci Seblat - Integrated Conservation and Development Project
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MFP Multistakeholder Forestry Programme
NRM Natural Resources Management
Dari Desa ke Desa xv
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
ODA Overseas Development Administration
PAR Participatory Action Research
Pefor People, Forest and Reef
PHBM Pengolahan Hutan Bersama Masyarakat
PKK Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
PKM Pemulihan Keberdayaan Masyarakat
SITH-ITB Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati-Institut Teknologi Bandung
STIKI Sekolah Tinggi Informatika dan Komputer Indonesia
SPORA Solidaritas untuk Pengelolaan Lingkungan Hidup berbasis
Masyarakat
TOGA Taman obat keluarga
TVRI Televisi Republik Indonesia
UNDP United Nations Development Programme
VCD Video Compact Disk
YISC Youth Islamic Study Club

Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Pembuka
Cerita dari Desa ke Desa
Yayan Indriatmoko
Foto oleh Nursalim/Dok. BIKAL
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Masih ingat acara Dari Desa ke Desanya TVRI yang dibawakan oleh Sambas
Mangundikarta pada tahun 1980-an? Nah buku ini ada kemiripannya ketika
menceritakan episode-episode masyarakat pedesaan dari banyak tempat di
Indonesia. Narasinya berasal dari berbagai pelosok negeri ini, mulai Jambi
di Sumatera sampai Bantimurung di Sulawesi. Bedanya, jika acara TVRI itu
menyajikan sebuah keharmonisan, untuk tidak menyebutnya keberhasilan
‘pembangunan’ di pelosok pedesaan, justru kumpulan tulisan ini menggambarkan
sebaliknya: betapa pembangunan belum berbuah kesejahteraan, bahkan tak
jarang pembangunan malah makin memiskinkan masyarakat. Betapa tidak,
demi pembangunan, sumberdaya alam tak henti-hentinya dihabisi, mulai dari
kegiatan pertambangan, proyek transmigrasi, penebangan hutan, dan berbagai
kegiatan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam. Tidak perlu
diceritakan lagi bagaimana dampak dari eksploitasi ini terhadap bencanabencana
alam yang terjadi silih berganti di negeri ini.
Ironisnya, justru perempuan (dan anak-anak) adalah korban utama dari kerusakan
lingkungan. Padahal berbagai studi memperlihatkan bahwa perempuan juga
memiliki peran besar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kalau kita menengok
hasil kajian yang dilakukan Neuman dan Hirsch (2000)1, nampak bahwa di
seluruh dunia, perempuan memanen dan mengolah hasil hutan bukan kayu
untuk dijual. Bagi perempuan miskin Maranhao, Brazil, menyadap inti palem
babacu menjadi sumber pendapatan terpenting mereka. Kegiatan ini melibatkan
lebih dari 300.000 keluarga. Para perempuan di Botswana, India, Malaysia dan
banyak negara lain, menganyam keranjang, tikar dan piring dari produk hutan.
Para perempuan di hutan-hutan tropis juga mengumpulkan atau mengolah bijibijian
dan buah-buahan liar, tumbuhan obat dan jantung palem.
Pekerjaan tersebut sebagian besar dilakukan di rumah atau di sekitar hutan,
lahan-lahan kosong, kebun maupun pekarangan rumah. Hal ini memungkinkan
para perempuan menyelaraskan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan dengan
membesarkan anak dan tugas-tugas domestik lainnya. Namun pada sisi lain,
hal ini juga berdampak mengisolir mereka secara politik dan budaya dan
menghilangkan peluang kerja dan peluang memperoleh produk-produk yang
tempatnya jauh.
1 R.P. Neuman dan E. Hirsch (2000), Commercialization of Non-timber Forest Products: Reviews and
Analysis of Research. CIFOR, Indonesia dan FAO, Italia.
PEMBUKA - Yayan Indriatmoko
Lebih lanjut, studi tersebut juga memperlihatkan bahwa perempuan menjadi
pihak yang paling rentan dengan adanya program pembangunan. Tanpa adanya
kehati-hatian, program pembangunan justru meminggirkan peran perempuan.
Sebagai contoh, ketika mesin menggantikan sulaman tangan untuk membuat
alas makan sal di India, para pria mengambil alih pekerjaan tersebut dan
membiarkan perempuan tanpa pekerjaan. Sama halnya dengan para perempuan
di Papua New Guinea yang tidak dapat berpartisipasi dalam proyek kacang galip
karena kegiatan pengolahan dipusatkan di kota yang jauh dari rumah.
Berawal dari ide memfasilitasi para peneliti dan penggiat LSM pendamping
masyarakat untuk menuangkan pengalaman lapangan mereka ke dalam sebuah
tulisan, maka CIFOR dan INSPIRIT mengadakan Bengkel Menulis (Writing
Workshop) dengan tema utama gender dan pengelolaan sumberdaya alam pada
bulan September tahun lalu. Sebanyak duabelas peserta dari berbagai tempat di
Indonesia aktif belajar dan berusaha keras selama sepuluh hari untuk menuangkan
pengalaman dan pikirannya dalam bentuk tulisan. Kumpulan tulisan mereka
inilah yang menjadi cikal-bakal buku ini. Buku yang terdiri dari sebelas bab ini
akhirnya tak ubahnya seperti cerita para penulis tentang pengalaman mereka
dalam bersinggungan dengan realitas gender dan pengelolaan sumberdaya alam
di lapangan.
Kata ‘gender’ tiba-tiba saja menjadi begitu lumrah kita dengar setidaknya dalam
satu dekade terakhir ini. Kata asing ini seringkali diperbincangkan dalam media
masa, laporan ilmiah, kegiatan-kegiatan pemberdayaan LSM sampai programprogram
pemerintah. Namun demikian, sebagai konsep baru, tak sedikit
yang menerjemahkan ‘gender’ secara tidak tepat. Bahkan gender tak jarang
disamaartikan dengan perempuan. Sehingga tak heran kalau seorang teman
pernah menceritakan ketika seorang pejabat membuka acara lokakarya sembari
bertanya, kok para gendernya belum datang?’ dengan maksud menyebut peserta
perempuan. Kita menyadari tentunya sebagai konsep impor, gender perlu waktu
untuk dipahami.
Gender sesungguhnya konsepsi sosial yang muncul dari ranah sosiologi dan
antropologi untuk menjelaskan konstruksi sosial budaya dari pembagian peran
dan relasi antara kaum perempuan dan laki-laki dalam suatu masyarakat. Karena
gender merupakan konstruksi sosial budaya maka gender tidak universal atau
seragam melainkan relatif pada konteks sosial budaya masyarakatnya. Gender
biasanya dibedakan dari sex (seks atau jenis kelamin), yaitu pembagian peran
alamiah antara laki-laki dan perempuan. Misalnya perempuan berperan sebagai
sang pengandung anak, melahirkan dan sebagainya yang berkaitan dengan
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
takdir biologis perempuan. Peran ini tak tergantikan oleh mereka yang berjenis
kelamin laki-laki, sehingga konsep seks bersifat universal dan kodrati, tidak dapat
dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku di mana saja, di belahan dunia
manapun. Hal ini berbeda dengan gender yang relatif, belum tentu sama di tempat
yang berbeda, dan dapat dipertukarkan serta berubah dari waktu ke waktu.
Lantas apa kaitan gender dengan isu pengelolaan kekayaan alam? Salah satu
prinsip pengelolaan kekayaan alam atau sumberdaya alam yang lestari adalah
kesetaraan. Bukan hanya kesetaraan peran para kelompok kepentingan yang
berbeda-beda tetapi juga kesetaraan gender. Pengalaman banyak menunjukkan
bahwa ketimpangan gender dalam pengelolaan sumberdaya alam masih terjadi.
Peran perempuan seringkali tidak dianggap penting. Ketimpangan itu berlangsung
kadang tanpa disadari dan tidak kasat mata. Hal tersebut berlangsung melalui
praktek-praktek2:
a. Subordinasi (penomorduaan), yaitu anggapan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya.
Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan
peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi,
tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum
perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Sebagai contoh apabila
seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak bepergian
ke luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi kalau suami yang akan pergi
tidak perlu izin dari isteri.
b. Stereotipe (pelabelan negatif), yaitu citra baku tentang individu atau kelompok
yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Misalnya pandangan
terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan
yang berkaitan dengan pekerjaan domestik atau kerumahtanggaan.
c. Marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) perempuan sebagai dampak dari
pembangunan. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan
menjadi miskin akibat dari intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan
petani laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa
yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh
mesin yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
d. Beban Ganda, yaitu beban kehidupan yang harus dipikul oleh salah satu
jenis kelamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada
umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan
oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan
2 Lihat De Vries, D.W. 2006. Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di
Jambi. CIFOR. Bogor. Indonesia.
PEMBUKA - Yayan Indriatmoko
hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka
yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
e. Kekerasan yaitu suatu bentuk serangan terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang
bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat
umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah,
keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan.
Beberapa ‘cerita’ dalam buku ini menggambarkan kondisi yang kira-kira sama,
yaitu kemiskinan, situasi ironis, dan transisi masyarakat. Kemiskinan rupanya
benar-benar menjadi nyata dalam cerita para penulis ini. Situasi kemiskinan
tersebut menjadi ironis karena konteks lokasi cerita merupakan kawasan yang
kaya raya dengan sumberdaya alam. Di sisi lain masyarakat tidak tinggal diam
meratapi nasib, melainkan berupaya untuk berubah, baik dengan bantuan LSM
pendamping atau secara mandiri. Mereka sedang berada dalam transisi dalam
menghadapi persoalan-persoalan hidup. Berbagai tulisan dalam buku ini juga
memberikan pengetahuan kepada kita bahwa kaum perempuan mempunyai
kontribusi yang penting terhadap pengelolaan sumberdaya alam, juga kontribusi
terhadap kehidupan rumah tangga. Di satu sisi, persoalan gender masih belum
mendapatkan perhatian dari para pembuat kebijakan dan pelaksana program
pembangunan.
Tulisan Effi Permata Sari dan Salma Tadjang menggambarkan betapa peran
perempuan cukup besar dalam menopang ekonomi rumah tangga dan turut
memecahkan persoalan masyarakat melalui organisasi kelompok perempuan
desa. Di Jambi, Effi melihat bahwa selain berperan besar dalam meningkatkan
pendapatan rumah tangga melalui berbagai aktivitas baru seperti usaha kerajinan
anyaman, kebun karet dan ladang. Kelompok Yasinan tidak hanya berfungsi
sebagai majelis pengajian tetapi juga merupakan wadah dari gagasan dan kegiatan
bersama kaum perempuan untuk berperan dalam meningkatkan pendapatan
ekonomi rumah tangga. Kelompok ini juga terlibat aktif dalam upaya-upaya
pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan adat dan lubuk larangan. Suatu
bukti bahwa kaum perempuan bisa dan mampu berperan aktif dalam perumusan
kebijakan-kebijakan publik di tingkat desa. Di Bantimurung, Sulawesi Selatan,
dari tulisan Salma nampak begitu dominannya perempuan dalam kegiatan
penangkaran kupu-kupu yang menghasilkan pendapatan keluarga. Kegiatan ini
di samping menghasilkan pendapatan ekonomi keluarga juga turut memberikan
kontribusi pada upaya pelestarian spesies kupu-kupu karena sebelumnya kupukupu
yang dijual berasal dari tangkapan alam.
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Tulisan Amin Jafar, Aida, dan Catur Budi Wiati, menggambarkan suatu situasi
ironis. Masyarakat pedesaan tinggal di lingkungan yang kaya raya akan sumber
daya alam tetapi hidup dalam kemiskinan bahkan tersisihkan oleh kegiatankegiatan
eksploitasi skala besar. Amin misalnya menceritakan tentang masyarakat
di Gunung Lumut, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, yang kaya akan
sumberdaya alam hutan tetapi ironisnya hidup dalam kemiskinan. Amin juga
menggambarkan bagaimana peran pendampingan oleh LSM cukup membantu
masyarakat untuk menghadapi persoalan-persoalan masyarakat khususnya
berkaitan dengan pengelolaan kekayaan alam. Peran perempuan ternyata cukup
besar dalam ikut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
Aida menceritakan pengalamannya mendampingi masyarakat yang sedang
mencari pendapatan alternatif setelah tambang emas rakyat menurun.
Dalam upaya ini peran perempuan tidak sedikit, mereka berperan besar dalam
menopang ekonomi rumah tangga. Aida juga menggambarkan betapa ironisnya
situasi masyarakat di Desa Batu Butok, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten
Pasir, Kalimantan Timur. Kawasan ini kaya akan emas dan hasil tambang
lainnya, tetapi masyarakat terpinggirkan dan tetap semakin miskin. Sementara
itu, Catur, bak seorang antropolog, memaparkan pengalamannya dengan
pengisahan sejarah kehidupan (life history) dari seorang perempuan di wilayah
pedalaman Kalimantan. Kisah hidup yang digambarkan seolah bersifat pribadi,
tetapi mampu menghadirkan banyak informasi dan pelajaran dari pengalaman
seorang perempuan. Sosok ‘Mama Sugeng’ memperlihatkan kepada kita secara
gamblang bagaimana terpinggirkannya masyarakat pedesaan oleh programprogram
besar pemerintah seperti transmigrasi, penambangan skala besar, dan
penebangan hutan komersial. Ujung-ujungnya kembali lagi, sebuah kondisi
ironis, masyarakat tetap miskin atau malah bertambah miskin di atas tanah yang
kaya sumberdaya alam.
Swari Utami Dewi, Seselia Ernawati, Ciharu Hiyama dan Asmanah
menggambarkan tentang upaya bersama yang dilakukan kaum laki-laki dan
perempuan dalam mencari solusi bersama. Swari dengan mengambil kasus
masyarakat Dusun Teluk Lombok, Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur,
menceritakan bagaimana bencana disikapi dengan upaya yang melibatkan
kerjasama antara kaum laki-laki dan perempuan. Saling mendukung diantara
dua kelompok tersebut membuahkan hasil yang positif. Masyarakat Dusun
Teluk Lombok telah berbuat sesuatu dengan menanam kembali mangrove yang
melindungi pantai mereka. Tulisan Tami juga mendukung tesis bahwa kekayaan
alam dapat dijaga ketika mendukung kesejahteraan masyarakat. Sementara
itu Seselia menggambarkan kelompok masyarakat di pedalaman kapuas hulu,
PEMBUKA - Yayan Indriatmoko
tepatnya di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum yang sedang berupaya
mencari solusi atas menurunnya hasil dari kegiatan nelayan. Tulisan Seselia
mewakili narasi tentang dampak dari degradasi SDA terhadap ekonomi
masyarakat. Bahu-membahu masyarakat baik perempuan dan laki dalam mencari
solusi menarik untuk dijadikan pelajaran. Mereka berupaya untuk berladang,
sebuah aktivitas yang sama sekali hal baru bagi nelayan Semalah. Meski juga
menggambarkan peran laki-laki dan perempuan, Ciharu dan Asmanah dalam
tulisannya menggarisbawahi bahwa dalam Program PHBM (Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat) Perum Perhutani di Pelabuhan Ratu, Sukabumi belum
sensitif terhadap persoalan gender meski dalam kenyataannya menunjukkan
bahwa kaum perempuan berperan besar dalam pelaksanaan program ini.
Tulisan Neldy dan Yentirizal lebih banyak menceritakan pengalamannya
mendampingi masyarakat di Jambi di bawah program penelitian CAPRi (Collective
action and property rights). Penelitian ini menggunakan metode aksi partisipatif
(Participatory Action Research) di mana masyarakat, termasuk kelompok perempuan
terlibat aktif dalam suatu kegiatan bersama. Neldy menggambarkan bahwa kendala
utama bagi kaum perempuan untuk berkegiatan bersama adalah keterbatasan
waktu mereka karena tersita oleh tanggung jawab mengurus rumah tangga seperti
mengasuh anak dan kegiatan mencari pendapatan rumah tangga. Sedang Yenti
menceritakan bahwa terdapat pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki.
Laki-laki lebih berperan dalam kegiatan perkebunan karet dan mencari hasil hutan
sementara perempuan merawat ladang dan sawah. Yenti menceritakan kendala
yang dihadapi oleh kaum perempuan dalam kegiatan-kegiatan bersama. Selain
masalah waktu yang tersedia juga ada hambatan dalam berkomunikasi dengan
orang luar, misalnya pegawai pemerintah. Tulisan Yenti dan Neldy sebetulnya
ingin mengutarakan perlunya peningkatan kapasitas kaum perempuan pedesaan
agar lebih bisa berperan setara dalam kehidupan sosial masyarakat.
Tommy menceritakan pentingnya sebuah ruang atau arena publik tempat kaum
perempuan bertukar pikiran, menggagas ide-ide baru untuk perubahan. Dengan
mengambil cerita dari Masyarakat Kota Baru Santan di Bengkulu, Tommy
memaparkan bagaimana dinamika kehidupan masyarakat pedesaan mencoba
bertahan hidup di tengah arus perubahan. Madrasah ternyata bisa dijadikan
ruang bagi kaum perempuan untuk secara informal berdiskusi membahas ideide
mereka untuk perubahan yang lebih baik. Tommy sesungguhnya ingin
mengutarakan bahwa ketika ruang formal tidak tersedia bagi kaum perempuan
maka akan muncul ruang-ruang informal yang dengan alamiah dimanfaatkan
kaum perempuan untuk ikut serta menyumbang gagasan dan tindakan bagi
kehidupan yang lebih baik.
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Hemat kami, kumpulan tulisan ini bermanfaat bagi siapa saja yang peduli
akan persoalan gender dan pengelolaan sumberdaya alam. Kumpulan tulisan
ini memang tidak menyuguhkan solusi-solusi praktis, melainkan lebih pada
pengalaman-pengalaman yang bisa menjadi bahan renungan dan pemikiran apa
yang sebaiknya kita lakukan ke depannya. Tentu saja, buku ini masih jauh dari
sempurna. Kami percaya jika menunggu sebuah kesempurnaan, maka kumpulan
tulisan ini tak akan pernah ada di tangan pembaca sekalian.
Bogor, Desember 2006
BAGIAN 1
Merintis Konservasi, Kesejahteraan
dan Kesetaraan Bersama Bakau
Swary Utami Dewi
“…Kita tidak boleh putus asa meski penghasilan melaut tidak lagi
mencukupi. Anak-anak tetap harus sekolah...”
(Amriani, ibu empat anak, tinggal di Teluk Lombok)
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Foto oleh Nursalim/Dok. BIKAL
10 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Semangat untuk meraih sukses bisa timbul dari mana saja, termasuk dari kerusakan
alam. Inilah yang ditunjukkan masyarakat Dusun Teluk Lombok, Taman
Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Pesisir desa dengan hutan bakau yang rusak
tidak membuat semangat mereka surut untuk merintis kesuksesan. Bergandengan
tangan dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama BIKAL, dimulailah
tapak perjalanan masyarakat, laki-laki dan perempuan, menuju kesetaraan dan
hidup yang lebih baik bersama bakau.
Bakau dan Teluk Lombok
Teluk Lombok merupakan salah satu kampung nelayan dalam naungan desa
Sangkima, Kabupaten Kutai Timur, di pesisir Taman Nasional Kutai. Hutan
mangrove yang melindungi pantai dari erosi, hantaman gelombang dan terpaan
badai, terbentang di sepanjang timur taman nasional yang memiliki luas 198.629
ha ini. Hutan bakau di Taman Nasional Kutai merupakan bagian dari kekayaan
hutan bakau Kalimantan Timur yang luasnya hanya kalah dari hutan serupa di
Papua dan Sumatera Selatan.
Masyarakat Teluk Lombok dan dusun lainnya di Sangkima berdarah Sulawesi.
Gelombang kedatangan orang Sulawesi Selatan, yang memiliki budaya pelaut, ke
Sangkima diawali oleh hadirnya Datuk Solong pada 1922 bersama dua anaknya,
Lato La Talana dan Lato La Dolomong. Dolomonglah yang dikenal sebagai orang
pertama yang menetap di Sangkima. Khusus Teluk Lombok, wilayah ini menjadi
perkampungan pada 1960-an. Kini paling tidak ada sekitar 320 orang (120 KK)
menetap di Teluk Lombok, meneruskan tradisi para leluhurnya menjadi nelayan
(Ali, Mukti, 2004).
Saat masih begitu rimbun, hutan bakau menjadi gantungan hidup masyarakat
Teluk Lombok. Ikan, udang dan kepiting yang begitu melimpah, mencari makan,
bernaung dan berkembang biak di sekitar rimbunan bakau. Nelayan menangkap
hasil laut dan menjualnya mentah ke pasar. Sebagian diolah menjadi ikan asin
oleh para perempuan.
Petaka Data ng
Rimbun bakau ternyata tidak bertahan lama. Hutan bakau perlahan menghilang,
tercabut dari pesisir Taman Nasional Kutai. Bermula dari dibangunnya jalan di
wilayah tersebut oleh satu perusahaan besar di awal 1970-an, akses masuk pun
tercipta. Perambahan terhadap kawasan ini pun terjadi. Bakau bersama jenis
BAGIAN 1 - Swary Utami Dewi 11
pohon hutan lain yang ada di situ ditebangi secara membabi buta oleh orang
luar, seperti dari Balikpapan dan Ujung Pandang. Hutan bakau juga banyak
disulap menjadi tambak udang. Fenomena ini sekali lagi membuktikan bahwa
pembangunan jalan mempunyai andil besar terhadap kerusakan hutan di negeri
ini.
Pesisir Teluk Lombok yang dulu terkenal rimbun juga tidak luput dari gerayangan
tangan-tangan penjarah. Ado Tadulako (59 tahun), mantan kepala dusun
Teluk Lombok, masih mengingat dengan jelas bagaimana mulai pertengahan
1970-an banyak orang luar datang menebangi bakau dan memboyongnya ke
kota. “Katanya ada yang dijual ke Ujung Pandang,” papar Ado sambil mengisap
kreteknya. Masyarakat Teluk Lombok waktu itu hanya menonton berkubikkubik
kayu bakau dari dusun mereka diangkut keluar. “Waktu itu, tidak ada yang
melarang. Tidak ada yang menghalangi karena kami pikir tidak akan ada akibatnya
bagi kami yang tinggal dan bermata pencaharian di sini,” kenangnya.
Bertahun-tahun kemudian, Teluk Lombok mulai merasakan derita akibat lenyapnya
hutan bakau di pesisir. Abrasi membuat garis pantai semakin melebar sehingga Ado
harus memindahkan pondok keluarganya ratusan meter ke arah daratan. Beberapa
bulan kemudian, anggota dusun lainnya menyusul langkah Ado.
PROVINSI
KALIMANTAN TIMUR
MUARA WAHAU
SANGKULIRANG
MUARA ANCALONG SENGATTA
MUARA BENGKAL
BERAU
KUTAI
KUTAI TIMUR
BONTANG
MALINAU
KUTAI BARAT
BULUNGAN
SAMARINDA
Sangatta
Teluk Lombok
0 12.5 25 50 75 100 Kilometer
SULAWESI
TENGAH
KALIMANTAN
TIMUR
KALIMANTAN
TENGAH
Legenda
Ibukota Kabupaten
Desa
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, Biro Pusat Statistik
Peta dikompilasi oleh Mohammad Agus Salim, GIS Unit, CIFOR 2006
12 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Sambil menerawang,
Ado melanjutkan cerita
terpuruknya Teluk Lombok.
“Dulu kita tidak perlu jauh
melaut. Tapi, hasilnya
melimpah. Setiap hari kita bisa
menangkap ikan, selain udang
dan kepiting rata-rata 2-3 pikul,”
tuturnya. Seiring rusaknya
bakau, tangkapan hasil laut
pun semakin menipis. “Mulai
1982 terasa susahnya. Sehari
paling banyak 20 kilogram. Itu
pun sudah harus melaut jauh dari
pantai,” tutur pria bertubuh
kurus ini.
Seiring berjalannya waktu, keadaan bertambah sulit. Untuk melaut, masyarakat
harus pergi jauh dari pantai. Bertarung dengan ombak yang lebih besar harus
dilakukan. Perahu juga membutuhkan bahan bakar lebih banyak karena jarak
melaut yang makin jauh. Namun, hasil tangkapan tidak seberapa. Bahkan jika
bisa mendapat 10 kg saja dalam sehari, kata Ado, “kita sudah seperti kejatuhan
rezeki dari langit”.
Saat hasil laut sudah tidak bisa menjadi satu-satunya pegangan, masyarakat mulai
mencoba melakukan pekerjaan lain. Bersamaan dengan pindahnya letak dusun
ke arah daratan akibat abrasi, masyarakat mulai mencoba kegiatan berkebun
palawija. Walau tidak menyumbang pada tambahan penghasilan, hasil kebun
ditambah hasil tangkapan laut yang tidak seberapa, cukup jadi pengganjal perut.
Ado: Sang Motivat or
Ado, sebagai seorang tokoh setempat, terus berpikir mengapa nasib buruk bisa
menimpa Teluk Lombok. Saat itu, pemerintah dan beberapa lembaga swadaya
masyarakat yang peduli terhadap Taman Nasional Kutai mulai melakukan
berbagai aktivitas. Rasa ingin tahu membuat Ado bersemangat mengikuti kegiatan
tersebut. Ado pun mulai paham betapa kuatnya keterkaitan antara hutan bakau
dengan kehidupan ikan, udang dan kepiting serta dengan kestabilan garis pantai.
Selama ini pemukiman Teluk Lombok harus terus menerus berpindah jauh ke
arah daratan.
Abrasi di pesisir Teluk Lombok
Foto oleh Saparuddin/Dok. BIKAL
BAGIAN 1 - Swary Utami Dewi 13
Atas dorongan Ado, masyarakat Teluk Lombok kemudian giat melakukan
upaya rehabilitasi hutan bakau untuk menumbuhkan kembali mata pencaharian
mereka. Ado memulainya dengan mengajak anggota dusun mendiskusikan
kesulitan mereka dan mencari jalan keluarnya.
Upa ya Konservasi dan Pendirian
Kelompok Peta ni Bakau
Keaktifan Ado, membuatnya bertemu BIKAL, salah satu lembaga swadaya
masyarakat di Kalimantan Timur, yang berkantor di Samarinda dan Bontang.
Awal kerjasama BIKAL dan Teluk Lombok dilakukan tahun 2000 melalui
program “Resolusi Konflik: Konsolidasi Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional
Kutai”. Program ini mendapat dukungan dana dari NRM (Natural Resources
Management), sebuah lembaga pemberi dana.
Pertengahan 2001, saat melakukan kampanye kelestarian dan penguatan
kelembagaan desa, BIKAL menyadari ajakan melestarikan lingkungan tidak
dipedulikan masyarakat karena mereka sedang menghadapi persoalan yang sangat
mendesak, yaitu kebutuhan perut. Lembaga swadaya masyarakat ini melihat bahwa
pendekatan harus diubah. Masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat menjadi
peluang mengembangkan program rehabilitasi bakau di kawasan pesisir.
BIKAL beruntung karena masyarakat Teluk Lombok memiliki Ado yang
menjadi pemompa semangat masyarakat. Dengan dimotori Ado, masyarakat
terus melakukan diskusi. Kegiatan ini membuat mereka semakin menyadari
pentingnya rehabilitasi bakau
untuk mengembalikan sumber
mata pencaharian dusun Teluk
Lombok.
Dalam upaya rehabilitasi bakau,
masyarakat Teluk Lombok
mengalami proses belajar.
Kegagalan program reboisasi
bakau 2002 yang dilakukan
Dinas Kehutanan Kutai Timur,
yang juga menjangkau Teluk
Lombok menjadi bahan diskusi
masyarakat. Masyarakat menilai
bahwa program seluas 200 ha ini
Seorang Ibu sedang masukkan tanah ke
polybag untuk pembibitan bakau
Foto oleh Saparuddin/Dok. BIKAL
14 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
gagal karena mereka tidak dilibatkan secara aktif sebagai pelaku. Program tersebut
hanya menempatkan warga Teluk Lombok sebagai penanam bibit bakau belaka.
Selebihnya diatur oleh kontraktor luar yang dipercaya Dinas Kehutanan.
Ketika BIKAL memperoleh dana Civil Society Support and Strengthening Program
(CSSP) untuk program peningkatan ketrampilan dan kemampuan masyarakat
2002-2003, ruang belajar bagi masyarakat Teluk Lombok semakin terbuka. Pada
Juli 2003, Usman Kallu, tokoh muda masyarakat Teluk Lombok, bersama BIKAL
berkesempatan melihat pengelolaan bakau masyarakat di Desa Tongke-Tongke,
Sinjai, Sulawesi Selatan dan pengelolaan bakau proyek masyarakat dengan
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Balikpapan di Kariangau, Balikpapan,
Kalimantan Timur. Cerita menarik Usman sepulang dari kunjungan belajar
tersebut membuat masyarakat Teluk Lombok berkeinginan mengelola bakau
sendiri. Kunjungan ini, terutama ke Desa Tongke-Tongke, juga mengajarkan
mereka bahwa keberhasilan masyarakat desa tersebut sangat ditentukan oleh
keberadaan organisasi petani yang dibentuk sendiri oleh masyarakat.
Bercermin dari kegagalan program Dinas Kehutanan Kutai Timur 2002 dan
keberhasilan masyarakat Tongke-Tongke mengelola bakau sendiri, masyarakat
yakin bahwa rehabilitasi bakau di dusunnya bisa berjalan jika mereka sendiri yang
menanam, menjaga dan memelihara. Namun, kesempatan untuk membuktikan
diri harus lebih dulu ada. Pendekatan BIKAL dengan Mitra Taman Nasional Kutai
membuahkan hasil. Masyarakat mendapat dukungan modal untuk mengelola
sendiri rehabilitasi bakau di pesisir dusunnya seluas 10 ha. Namun, keperluan
administratif membutuhkan adanya organisasi resmi.
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, Pangkang Lestari didirikan pada April
2004. Dalam bahasa setempat, Pangkang berarti api-api (sejenis bakau). Penamaan
Pangkang Lestari menandai keinginan masyarakat untuk menumbuhkan dan
melestarikan bakau di Teluk Lombok (Pangkang Lestari, 2005).
Dukungan berbagai pihakpun semakin bertambah menyambut semangat
masyarakat Teluk Lombok untuk mengejar kesejahteraan. Mulai Maret 2005,
BIKAL dan masyarakat di tujuh dusun Taman Nasional Kutai, termasuk Dusun
Teluk Lombok, menjalankan program “Penguatan Kemandirian Ekonomi
Masyarakat Melalui Kemitraan Multipihak” atas dukungan Multistakeholder
Forestry Program (MFP) atau program kehutanan multipihak, kolaborasi
pemerintah Kerajaan Inggris dan Departemen Kehutanan RI.
BAGIAN 1 - Swary Utami Dewi 15
Perempua n Mulai Berpera n
Ketika mendapat kesempatan melihat proses pembibitan bakau di Kariangau,
Balikpapan Juli 2003, Usman juga sempat melihat cara penggemukan kepiting
melalui keramba. Kepiting keramba inilah yang menjadi alternatif mata
pencaharian, selain melaut dan belajar menjadi penyedia bibit bakau. Saat
pertama kali dicoba, dalam 20 hari, kepiting sudah bisa dipanen, kemudian dijual
dengan harga antara Rp 8.000 – Rp 10.000 tiap kilogramnya.
Usaha kepiting keramba Pangkang Lestari menumbuhkan inovasi tersendiri bagi
perempuan Teluk Lombok. Saat uji coba penggemukan kepiting di keramba,
ternyata tidak semua kepiting bisa dijual. Kepiting yang cacat tidak laku di
pasaran. Petani harus membuang lumayan banyak kepiting cacat. Dari 15-
20 kilogram kepiting di satu keramba, sekitar 2-3 kilogramnya cacat. Melihat
banyaknya kepiting yang terbuang percuma, saat itu timbul ide para ibu untuk
mengolahnya menjadi krupuk kepiting.
Ide krupuk kepiting ini berdasarkan cerita Usman tentang seorang ibu di
Kariangau, Balikpapan, yang membuat produk ini untuk dikonsumsi sendiri. Saat
Pangkang Lestari mendapatkan pelatihan pengelolaan kepiting keramba, seorang
ibu menanyakan makanan apa saja yang bisa diolah dari kepiting. Krupuk adalah
salah satu jawaban.
Anggota Pangkang Lestari sedang beramai-ramai
menanam bibit di pesisir Teluk Lombok
Foto oleh Nursalim/Dok. BIKAL
16 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Semangat perempuan Teluk Lombok ditanggapi secara positif oleh para lelaki.
Untuk lebih mengefektifkan rintisan usaha ekonomi dan menambah ketrampilan
perempuan ini, Pangkang Lestari dan masyarakat Dusun Teluk Lombok sepakat
untuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Krupuk Kepiting menjelang akhir
2004.
Ternyata, usaha krupuk kepiting sangat menguntungkan. Jika harga kepiting
mentah berkisar antara Rp 8.000 – Rp 10.000 per kg, krupuk kepiting produksi
Pokja Krupuk Kepiting ini dihargai Rp 40.000 per kg. Penjualan pun mulai
merambah ke beberapa kota seperti Sangatta dan Bontang.
Meski relatif muda, Pokja yang diketuai Sumanti ini sudah menunjukkan
prestasi. Dalam Lomba Teknologi Tepat Guna Masyarakat tingkat Kabupaten
Kutai Timur dan tingkat Provinsi Kalimantan Timur, mereka berhasil meraih
kemenangan. Kelompok ini kemudian mewakili Kalimantan Timur dalam lomba
tingkat nasional yang diselenggarakan September 2005 di Palembang.
Terus Menggala ng Semangat Belajar dan
Kerjasama Lelaki Perempua n
Semangat belajar yang tinggi terus diperlihatkan masyarakat dalam berbagai
kegiatan yang dilakukan di Dusun Teluk Lombok. Dalam melakukan proses
rehabilitasi bakau misalnya, Pangkang Lestari memiliki cara tersendiri untuk
memantau perkembangan bibit bakau yang ditanam. Setiap bulan Sekolah
Lapang digelar, baik di lokasi pembibitan maupun di pantai tempat penanaman.
Di tempat pembibitan, Sekolah Lapang dilakukan untuk mengamati bibit, misal
serangga apa saja yang mengganggu dan bagaimana mengatasi gangguan tersebut.
Di pantai tempat penanaman akan dilihat sejauh mana pertumbuhan tanaman
setiap bulan dan apakah ada gangguan di lokasi tanam. Sesudahnya, sambil
duduk santai di pantai, masyarakat secara serius mendiskusikan perkembangan
bakaunya.
Berkat ketekunan masyarakat, bibit bakau yang ditanam tumbuh dengan baik
dengan laju pertumbuhan cukup tinggi. Seorang pengamat lingkungan dari
Semarang, Muhammad Marzuki, seperti dikutip Harian Kompas (9 Agustus
2004), menjelaskan tentang tidak mudahnya menanam bakau. “Untuk setiap inci
pertumbuhan bakau bisa memerlukan waktu berbulan-bulan. Kendala berdatangan
ketika masyarakat sekitar pantai tidak juga paham perlunya hutan bakau,” tutur
Marzuki. Di Teluk Lombok, bibit bakau yang ditanam sekitar 200.000 pohon.
Menurut Ado, anak bakau yang waktu ditanam memiliki tinggi sekitar 30-50 cm
BAGIAN 1 - Swary Utami Dewi 17
dalam 13 bulan menjadi 1,5-2 m. Karenanya, rehabilitasi Pangkang Lestari bisa
dikatakan sukses.
Tidak hanya itu, luas wilayah rehabilitasi yang semula luasnya 10 ha pada
Agustus menjadi 12 ha pada Desember 2004. Para petani melakukan penanaman
tambahan secara swadaya sesudah melihat ada tanah gundul di sekitar pesisir yang
perlu ditanami. Bibit bakau di area tambahan ini juga tumbuh dengan baik.
Keberhasilan ini menjadikan Pangkang Lestari dipercaya sebagai penyedia bibit,
dimulai dari program rehabilitasi bakau Dinas Kehutanan Kutai Timur. Dinas
Kehutanan selama ini memasok bibit dari Balikpapan. Saparuddin dari BIKAL
menjelaskan Pangkang Lestari waktu itu mampu menyediakan 375.000 bibit
bakau untuk lahan seluas 150 ha. Setiap batang bibit dihargai Rp 450.
Dalam penyediaan bibit untuk program-program rehabilitasi bakau, Pangkang
Lestari melibatkan sekitar 50 keluarga di RT 1, 2, dan 3 Dusun Teluk Lombok.
Dalam melakukan pembibitan terdapat pembagian peran antara lelaki, perempuan
bahkan juga anak-anak. Nursalim dari BIKAL menjelaskan, lelakilah yang
bertugas mencari bibit bakau di sekitar wilayah Teluk Lombok. Jika diperlukan
bibit bisa dicari sampai ke wilayah Bontang. Sementara itu, perempuan dan anakanak
biasanya membantu mengisi tanah ke dalam polybag. Sesudah didapatkan,
bibit akan ditancapkan ke dalam polybag baik oleh lelaki maupun perempuan.
Selanjutnya, ribuan bibit bakau yang sudah berada di kantung-kantung plastik
diletakkan sementara di suatu tempat di pinggir pantai. Tempat sementara
tersebut memiliki atap sederhana terbuat dari daun nipah. Fungsinya adalah untuk
melindungi bibit tersebut dari sinar matahari. Para bapak yang biasanya pergi
melaut dan melewati tempat peletakan sementara bibit, biasanya menyempatkan
diri untuk mengecek kondisi bibit bakau tersebut. Dalam 1-3 bulan, bibit yang
sudah disemaikan di polybag siap untuk ditanam di pinggir-pinggir pantai atau
dikirim ke tempat-tempat yang sudah memesan bibit tersebut seperti ke Bontang
atau Bulungan, Kalimantan Timur.
Terus Belajar , Berkemba ng dan Menularka n
Semangat
Menjelang akhir 2006, tercatat paling tidak 3 daerah di Kalimantan Timur,
yaitu Bontang, Sangatta dan Bulungan, menggunakan bibit bakau pasokan dari
Kelompok Tani Pangkang Lestari dan masyarakat Teluk Lombok. Sejak akhir
2005 sampai Oktober 2006, paling tidak telah terjual bibit bakau sebanyak
18 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
1.113.500 dan total penjualan sebesar Rp 541.850.000. Jika dulu satu bibit hanya
terjual Rp 450 per buah, sekarang dihargai sampai Rp 600.
Hasil wawancara yang dilakukan BIKAL (Oktober 2006) saat menjalankan
kegiatan Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP) dukungan MFP di 4 desa,
termasuk Desa Sangkima, memperlihatkan peningkatan ekonomi telah terjadi
di Dusun Teluk Lombok dari penjualan bibit bakau. Husen, 77 tahun, salah satu
anggota Pangkang Lestari mengatakan kepada Mukti Ali dari BIKAL, bahwa dia
baru sekali memegang uang jutaan rupiah. Dan ini diperoleh dari hasil penjualan
bibit bakau. Sumanti, 34 tahun, ketua Pokja Krupuk Kepiting menyatakan dalam
bahasa Mamuju, “Ampunna’ u’de tau mabbalukang polo, u’de diang ni pambayyari
anak sekolah ampe mambayarri panginranggang”. Artinya kira-kira, ”Kalau tidak
ada penjualan polo (bakau), tidak ada ongkos untuk membiayai sekolah anak dan
membayar hutang.”
Lebih lanjut, para petani bakau di Teluk Lombok juga mendapat semangat lain
dari usaha krupuk kepiting yang telah dijalankan para perempuan. Mengingat
harga krupuk kepiting yang jauh lebih tinggi dibandingkan kepiting mentah,
masyarakat setempat menyadari perlunya ketersediaan bahan mentah untuk
menunjang usaha krupuk kepiting tersebut. Bahan mentah dari kepiting alam
masih sulit diperoleh karena hutan bakau masih belum pulih. Maka, dalam
jangka pendek, upaya penggemukan kepiting keramba tetap dilakukan. Petani
Pangkang Lestari kini giat mempelajari cara yang lebih efektif untuk pembesaran
kepiting di tambak dan penggemukan di keramba dengan dukungan dari Mitra
Taman Nasional Kutai.
Selain itu, masyarakat Teluk Lombok, juga mulai melirik upaya budidaya rumput
laut yang biasanya juga dilakukan di wilayah hutan bakau. Kelompok Kerja
Rumput Laut pun terbentuk di bawah Kelompok Pangkang Lestari. Budidaya
rumput laut nampaknya pilihan tepat. Budidaya ini sangat menguntungkan
dan hanya memerlukan teknologi sederhana. Kantor Berita Antara mengutip
pendapat Prof. Sulistijo, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
tentang hal ini. Menurutnya, jika budidaya berhasil, rumput laut dapat dipanen
setiap 1,5 bulan. Satu hektar bisa menghasilkan Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000.
Indonesia sendiri, masih menurut Sulistijo, setiap tahunnya kekurangan rumput
laut sebanyak 40.000 ton untuk diekspor (LKBN Antara, 2005). Mengingat
prospeknya, kiranya tepat pilihan budidaya rumput laut yang rencananya akan
dilakukan juga oleh Pangkang Lestari.
BAGIAN 1 - Swary Utami Dewi 19
Akan halnya para perempuan, mereka juga menunjukkan semangat berkembang
yang sama. Tidak hanya berhenti sampai krupuk kepiting, kini mereka sudah
mempelajari berbagai macam makanan olahan dari rumput laut, menyambut
rencana budidaya rumput laut Pangkang Lestari. Beberapa jenis makanan, seperti
puding, manisan dan es rumput laut, sudah bisa diolah oleh para perempuan di
Teluk Lombok. Selain itu, pada November 2006 kelompok perempuan yang
dalam 2006 ini juga mendapat dukungan MFP, melakukan studi banding tentang
manajemen usaha dan pemasaran rumput laut di Kutuh dan Nusa Ceningan,
Bali.
Mengingat usaha beberapa kelompok masyarakat di Taman Nasional Kutai
ini sudah mulai menampakkan hasil, BIKAL mendorong pendirian lembaga
keuangan masyarakat. Sejak Agustus 2006, Unit Pelayanan Tapak Surya telah
beroperasi di 5 desa di Taman Nasional Kutai. Unit Pelayanan yang merupakan
perpanjangan dari Credit Union Daya Lestari ini, diharapkan mampu berfungsi
sebagai wadah simpan pinjam masyarakat. Selain itu, Tapak Surya juga berperan
sebagai agen yang berperan mendidik masyarakat tentang arti penting menabung
dan merencanakan keuangan untuk masa depan. Jika misalnya masyarakat
memiliki masalah modal usaha, mereka dimungkinkan mendapat pinjaman dari
Tapak Surya.
Yang lebih mengesankan adalah kegiatan-kegiatan yang berdampak pada
kesejahteraan dan kesetaraan di masyarakat Teluk Lombok telah memberikan
inspirasi kepada masyarakat di dusun dan desa lain di Taman Nasional Kutai.
Keberadaan Pokja Krupuk Kepiting di Dusun Teluk Lombok, Desa Sangkima
mendorong pendirian Pokja Krupuk Udang di Kelompok Sumber Rezeki,
Dusun Satu, Desa Sangkima Lama. Kelompok Sumber Rezeki pada mulanya
hanya melibatkan nelayan lelaki. Tertarik dengan proses dan pengalaman di
Teluk Lombok, perempuan di Dusun Satu akhirnya juga membentuk Pokja
Krupuk Udang, yang berfokus pada usaha pembuatan krupuk udang. Antara
Pokja Krupuk Kepiting dan Pokja Krupuk Udang sudah dilakukan beberapa kali
pertemuan saling belajar untuk bertukar pengalaman tentang pengelolaan usaha
dan organisasi perempuan.
Selanjutnya, kelompok tani Gula Angin Mamiri, yang juga terletak di Dusun
Satu, Desa Sangkima Lama, juga berniat mendorong penguatan perempuan dalam
usaha gula merah dan gula semut. Jika dulu kelompok ini hanya menghasilkan
gula merah yang secara turun temurun digeluti lelaki, sekarang mereka juga telah
melakukan diversifikasi produk. Gula semutpun bisa dihasilkan. Pada prosesnya,
pengerjaan gula semut dilakukan secara bersama oleh lelaki dan perempuan. Lelaki
20 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
mengambil nira dari pohon
aren, sementara perempuan
memasak dan memproduksi
nira tersebut menjadi gula
semut. Di masa mendatang,
perempuan akan berfokus pada
usaha gula semut dan lelaki
tetap berkonsentrasi pada gula
merah.
Pelajara n
Berharga Teluk
Lombok
Dari upaya yang dilakukan
masyarakat Teluk Lombok
bersama BIKAL, ada beberapa pelajaran menarik yang dipetik. Pertama, masyarakat
memiliki kemampuan bertahan dan mengembangkan diri meski berangkat dari
kondisi keterpurukan. Pada masyarakat Teluk Lombok, kerusakan hutan bakau
mendorong mereka untuk berjuang dan bertindak kreatif dalam menumbuhkan
kembali bakau dan meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Kedua, apa yang
terjadi di Teluk Lombok memperlihatkan hal-hal yang diperlukan masyarakat
untuk menyelamatkan lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan. Adanya
tokoh atau motivator lokal serta pihak yang mendukung menjadi hal penting. Hal
yang tidak kalah pentingnya adalah pengorganisasian diri masyarakat, semangat
untuk belajar serta saling dukung antar komponen masyarakat. Ketiga, terkait isu
gender, apa yang terjadi di Teluk Lombok menunjukkan hubungan saling dukung
antara laki-laki dan perempuan. Keempat, keberhasilan rehabilitasi bakau di
kawasan ini juga Karen dilandasi oleh kebutuhan bersama, ada rasa memiliki
diantara anggota masyarakat. Kelima, belajar dari tempat lain (studi banding)
terbukti menjadi sarana yang ampuh asal dikelola dengan baik.
Singkatnya, masyarakat Dusun Teluk Lombok dan BIKAL berhasil membuktikan
bahwa upaya mendorong usaha alternatif masyarakat bisa menimbulkan efek
domino yang lebih besar. Dalam hal ini, bukan hanya usaha ekonomi alternatif
yang diciptakan, tapi juga upaya konservasi dan kesetaraan gender.
Para ibu sedang membuat kerupuk
kepiting bakau
Foto oleh Rohmatul Hidayati/Dok. BIKAL
BAGIAN 1 - Swary Utami Dewi 21
Ucapa n Terimakasih
Penulis menyampaikan terimakasih yang mendalam kepada masyarakat Dusun
Teluk Lombok, Desa Sangkima, Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur,
yang telah menjadi inspirasi dan narasumber tulisan ini. Ucapan yang sama
juga diberikan kepada para sahabat dari BIKAL yang selama beberapa tahun ini
telah menjadi teman sejati dalam bekerja bersama masyarakat. Jika masyarakat
mengajarkan perjuangan hidup, maka BIKAL banyak mengajarkan kesabaran
kepada penulis. Terakhir, penulis mengungkapkan rasa syukur atas ‘keberuntungan’
menjadi bagian dari tim MFP selama bertahun-tahun. Kesempatan belajar dari
berbagai pihak termasuk dari masyarakat Teluk Lombok dan BIKAL, yang
difasilitasi program ini, menjadi anugerah yang tidak ternilai bagi penulis.
Bahan Bacaa n
Anonim. 2005. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan Ekosistem Bakau. www.cofish.net/uploaded/
others/Bab%205-6%20Kepedulian%20Cofish%20thd%20hutan%20bakau.pdf (9 Sep 2005).
Ali, M. 2004. Sejarah Sangkima. Bikal. Kutai Timur, Indonesia.
Arika, Y., dan Triana, N. 2004. Ketika Pantura Jateng Terjamah Abrasi. Kompas, 09 Agustus
BIKAL. 2004. Catatan Pertemuan Lokakarya Akhir Program Rehabilitasi Hutan Mangrove Desa
Sangkima. Bikal. Kutai Timur, Indonesia.
BIKAL. 2004. Lestarikan Hutan Mangrove Kita. Bikal. Kutai Timur, Indonesia.
BIKAL. 2005. Draft Kurikulum Belajar Bikal: Pengalaman di Taman Nasional Kutai. Bikal. Kutai Timur,
Indonesia.
BIKAL. 2005. Ringkasan Eksekutif Program Pengembangan Kapasitas Masyarakat dalam PSDA. Bikal.
Kutai Timur, Indonesia.
BIKAL. 2006. Draft Laporan Participatory Poverty Assessment (PPA), Kecamatan Sangatta Selatan,
Kutai Timur, Kalimantan Timur. Bikal. Kutai Timur, Indonesia.
Pangkang Lestari. 2005. Rencana Usaha Pangkang Lestari dan Pokja Krupuk Kepiting. Pangkang
Lestari. Kutai Timur, Indonesia.
Prasetyo, E. P. 2003. Ladia Galaska Tidak Berkaca pada Taman Nasional Kutai. http://www.kompas.com/
kompas-cetak/0311/18/daerah/694347.htm (9 Sep 2005).
Sedana, N. R., et al.1985. Uji coba Budidaya Rumput Laut di Pilot Farm. www.fao.org/docrep/field/003/
AB882E/AB882E37.htm (13 September 2005).

BAGIAN 2
Aksi Kolektif Perempuan Kelompok Dasa Wisma
Neldysavrino
“Entahlah... Istri kepala desa mengatakan kami anggota Kelompok Dasa Wisma,
tapi entahlah... yang pasti dia meminta kami menanam bibit tanaman obat di pekarangan”
(Mardiyah, penduduk Desa Lubuk Kambing)
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Foto oleh Neldysavrino/Dok. CAPRi
24 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Petikan kalimat di atas meluncur dari mulut seorang ibu ketika ditanyai apakah
ia anggota Kelompok Dasa Wisma. Selintas terlihat gurat keraguan dalam garis
wajahnya. Pernyataan serupa juga ditemui pada belasan ibu-ibu di Desa Lubuk
Kambing, Kecamatan Merlung yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten
Tanjung Jabung Barat, yaitu sebuah desa di ujung barat Provinsi Jambi.
Kelompok Dasa Wisma sebagai bagian dari program Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) ternyata belum bermanfaat bagi perempuan Desa Lubuk
Kambing. Bukan tidak mungkin hal seperti ini juga terjadi di banyak tempat,
apalagi di daerah pelosok atau terpencil. Program Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga hanya sekedar lembaga formal yang harus ada dan terstruktur dari
tingkat pusat hingga desa tanpa terkecuali di Desa Lubuk Kambing.
Desa di pinggir Huta n
Desa yang terletak sejauh 155 km dari ibu kota Provinsi Jambi ini memiliki luas
wilayah 33.640 hektar. Sebagian besar wilayah desa masih berupa hutan, baik
hutan produksi maupun hutan lindung dan kebun masyarakat. Kawasan hutan
produksi merupakan kawasan hutan bekas Hutan Tanaman Industri (HTI)
PROVINSI
RIAU
MERLUNG
TUNGKAL ULU
PENGABUAN
TUNGKAL ILIR BETARA KABUPATEN
TANJUNG JABUNG BARAT
KABUPATEN
BATANG HARI
KABUPATEN
TEBO
KABUPATEN
MUARO JAMBI
KABUPATEN
TANJUNG JABUNG TIMUR
Kualatungkal
Lubuk Kambing
0 5 10 20 30 40 Kilometers
BENGKULU
SUMATERA
SELATAN
RIAU
SUMATERA
BARAT
Legenda
Ibukota Kabupaten
Desa
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, Biro Pusat Statistik
Peta dikompilasi oleh Mohammad Agus Salim, GIS Unit, CIFOR 2006
BAGIAN 2 - Neldysavrino 25
PT. Inhutani V. Sementara kawasan hutan lindung termasuk ke dalam Taman
Nasional Bukit Tiga Puluh.
Layaknya masyarakat desa di sekitar hutan, mereka hidup bergantung pada
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, hutan dan lahan. Namun
demikian bertani tanaman karet (Hevea braziliensis) masih menjadi pekerjaan
utama masyarakat desa ini, disamping pekerjaan lain seperti pembalakan
kayu (bebalok), berdagang dan mengambil hasil hutan, seperti getah jernang
(Daemonorops sp.) dan berbagai jenis tanaman rotan. Kecuali bebalok dan
berdagang, mencari getah jernang dan rotan mulai jarang dilakukan karena sulit
mendapatkannya di hutan. Menurut masyarakat hal ini akibat rusaknya hutan
karena telah ditebangi oleh perusahaan maupun masyarakat desa yang bebalok.
Pendapatan masyarakat dari hasil tanaman karet masih rendah. Penghasilan ratarata
sebesar Rp. 600.000 tiap bulan masih belum cukup memenuhi kebutuhan
rumah tangga. “Harga karet bagus, Rp. 4.000 per kilo, tapi hasil sedikit,” begitu
alasan yang diungkapkan masyarakat ketika ditanya tentang penghasilan
petani karet. Ternyata pola perkebunan karet tradisional yang dilakukan tidak
memberikan hasil yang maksimal.
Sebenarnya penghasilan dari bebalok cukup tinggi. “Bisa Rp 100.000,- sehari
om!” ungkap Tomi bersemangat ketika ditanya tentang penghasilan dari bebalok.
Hanya saja penghasilan yang disebutkan Tomi tadi ibarat rezeki harimau. Artinya
kalau lagi ada rezeki akan dapat uang banyak, namun sebaliknya bila apes tidak
mendapat sepeserpun. Selidik punya selidik ternyata bebalok sangat tergantung
dengan keadaan musim. Rezeki besar hanya didapat di musim kemarau, sebaliknya
nasib malang bila musim penghujan atau sedang marak razia kayu.
Perempua n Desa Lubuk Kambing
Perempuan di desa berpenduduk 4.000 jiwa ini rata-rata hanya mengenyam
pendidikan hingga sekolah dasar. Mereka perempuan yang terbiasa mengerjakan
pekerjaan rumah tangga dan bekerja di luar rumah untuk membantu mencukupi
nafkah keluarga. Bersama suami mereka ikut menyadap karet, berdagang ataupun
menanam padi ladang, meskipun terkadang hasilnya belum mencukupi.
Kenyataannya, beban kerja yang berat tidak membuat mereka berhenti menjalani
kehidupan sosial di masyarakat. Budaya patriarki yang berlaku tidak melarang
perempuan untuk melakukan berbagai kegiatan sosial, seperti pengajian yasinan,
arisan dan lain sebagainya. Namun demikian, dalam hal pengambilan keputusan
mutlak ada di tangan laki-laki.
26 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Kegiatan sosial lainnya juga
dilakukan lewat Kelompok
Dasa Wisma, yang merupakan
bagian dari program PKK, sebuah
program pemerintah yang telah
ada sejak tahun 1972. Berada di
bawah kelompok kerja II program
PKK, Kelompok Dasa Wisma
merupakan kelompok kecil yang
terdiri dari 20 orang anggota,
yang dibentuk di masing-masing
rukun tetangga (RT). Namun
sayangnya Kelompok Dasa
Wisma sebagai wadah kegiatan
untuk peningkatan keterampilan
keluarga belum banyak
dimanfaatkan oleh perempuan di
Desa Lubuk Kambing.
CAPRi dan Kelompok Dasa Wisma
Lewat penelitian Collective Action and Property Rights (CAPRi), Fasilitator dan
peneliti memberikan perhatian pada kegiatan bersama (aksi kolektif) yang
dilakukan masyarakat dalam kelompok-kelompok. Penekanan pada belajar melihat
proses bagaimana aksi kolektif atau dikenal dengan kata kerja bersama dilakukan
pada kelompok masyarakat yang sudah ada, tanpa membentuk kelompok baru.
Dipilihlah Kelompok Dasa Wisma dan kelompok tani sebagai tempat melakukan
penelitian CAPRi. Ada kelompok yang berbeda, mewakili kelompok perempuan
dan kelompok laki-laki.
Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan Participatory Action Research
(PAR) atau biasa disebut penelitian aksi bersama. Siklus dari penelitian ini bisa
dilihat pada bagan 1. Pada Kelompok Dasa Wisma, pendekatan ini digunakan
untuk mengajak anggota kelompok memahami persoalan yang dihadapi dan
menemukan solusi dari permasalahan oleh mereka sendiri. Di sini fasilitasi yang
dilakukan hanya untuk memandu dan memotivasi anggota kelompok.
Panen padi ladang, tanggung jawab perempuan dalam
penanaman padi ladang di Desa Lubuk Kambing.
Foto oleh Neldysavrion/Dok.CAPRi
BAGIAN 2 - Neldysavrino 27
Pengalama n bersama Kelompok Dasa Wisma
Bekerja dengan kelompok perempuan di Desa Lubuk Kambing merupakan
pengalaman unik. Takut atau malu-malu tampak pada wajah mereka ketika
observasi dimulai di pertengahan Februari 2005 lalu. Kebiasaan membatasi diri
bergaul dengan laki-laki lain ketika suami tidak di rumah atau rasa tidak percaya
diri pada seorang gadis desa menjadi kendala dalam membangun komunikasi.
Kendala ini dapat diatasi dengan meminta bantuan seorang perempuan desa
untuk selalu menemani fasilitator pada saat mengobrol dengan perempuan desa.
Ketika komunikasi telah dibangun, persoalan Kelompok Dasa Wisma mulai
dipahami. Pembentukan Kelompok Dasa Wisma yang tidak aspiratif menjadi
persoalan pertama yang diketahui. Alasan tidak tahu tujuan berkelompok
dan sulit berkomunikasi sesama anggota karena letak rumah berjauhan, telah
mendorong sebagian anggota Kelompok Dasa Wisma menginginkan pembentukan
ulang kelompok. Cukup menggembirakan ketika keinginan membentuk ulang
Kelompok Dasa Wisma terlaksana dan terbentuk Kelompok Dasa Wisma di
masing-masing rukun tetangga.
Sayangnya, tidaklah seluruh Kelompok Dasa Wisma yang telah dibentuk
berjalan sesuai dengan tujuan. Kurang paham akan tujuan kegiatan kelompok
dan rendahnya minat menyebabkan banyak Kelompok Dasa Wisma berhenti.
Kegiatan yang dilakukan hanya sebatas membuat kebun taman obat keluarga
(TOGA) untuk menghadapi lomba desa.
Bagan 1. Siklus PAR
28 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Apa yang dilakuka n bersama Kelompok Dasa Wisma
Rambuta n
Satu kelompok yang masih menunjukkan minat untuk berkembang adalah
Kelompok Dasa Wisma Rambutan. Kelompok inilah yang kemudian menjadi
fokus kegiatan penelitian CAPRi. Penelitian ini bertujuan merekam proses
kegiatan Kelompok Dasa Wisma Rambutan dalam hal kerjasama anggota.
Proses belajar diawali dengan memperkenalkan pendekatan PAR secara sederhana
kepada anggota kelompok. Kelompok diajak memulai kegiatan dengan membuat
rencana bersama. Selanjutnya melaksanakan rencana yang telah disepakati
atau melakukan aksi. Lalu kelompok diajak melakukan pengawasan dan refleksi,
yaitu melihat kembali apa yang telah dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
rencana berhasil dijalankan. Setelah itu kelompok kembali diajak menentukan
rencana baru. Proses ini berlangsung terus menerus tanpa putus dan dikenal
dengan istilah siklus Participatory Action Research (siklus PAR).
Melalui diskusi informal hubungan dalam Kelompok Dasa Wisma yang
beranggotakan perempuan berusia antara 17-40 tahun ini terbangun. Mengobrol
di rumah atau di warung merupakan kegiatan yang sering dilakukan. Karena
lebih santai, dari sebuah obrolan muncul banyak ide, pikiran dan gagasan.
Selain itu, melalui obrolan informal banyak informasi yang dapat diperoleh
anggota kelompok. Hal itu turut membantu membuka wawasan berpikir dan
meningkatkan kepercayaan mereka. Perubahan cara pandang mereka terhadap
Kelompok Dasa Wisma memunculkan keinginan menjadikan kelompok ini
sebagai wadah kegiatan peningkatan ekonomi rumah tangga.
Beberapa ide yang muncul dibahas pada pertemuan kelompok, di antaranya
beternak itik, membuat kue, kerajinan tangan, keterampilan menjahit dan rias
pengantin. Dari ide-ide ini selanjutnya dipilih satu ide secara bersama oleh
anggota Kelompok Dasa Wisma. Fasilitator CAPRi mengambil peran untuk
memfasilitasi proses menggunakan metode penentuan skala prioritas. Indikator
sederhana penentuan skala prioritas tersebut adalah ketersediaan sumberdaya
dan manfaat. Dari pertemuan itu, beternak itik petelur dipilih sebagai kegiatan
bersama yang akan dilakukan oleh Kelompok Dasa Wisma.
Rencana beternak itik petelur telah disusun dan mulai dijalankan. Kegiatan
awal yang dilakukan adalah mencari informasi cara beternak itik petelur dan
mengumpulkan bahan serta alat yang diperlukan. Anggota mencari langsung
informasi beternak itik petelur pada peternak itik di Desa Lubuk Mandarsah,
BAGIAN 2 - Neldysavrino 29
Kecamatan Tebo Tengah Hilir, Kabupaten Tebo. Dengan cara ini informasi yang
didapat tidak hanya sebatas teori melainkan melihat langsung cara peternak
memelihara itik.
Informasi lainnya berupa buku dan brosur didapat dari Kantor Cabang Dinas
Pertanian dan Peternakan Kecamatan Merlung. Mereka juga mendapatkan
informasi kredit usaha, tempat mendapatkan bibit itik dan tempat pemasaran serta
pengolahan hasil telur itik menjadi telur asin. Selain itu, mereka mendapatkan
juga informasi tentang kegiatan-kegiatan Dinas Pertanian dan Peternakan berupa
pelatihan, penyuluhan dan pembinaan peternak.
Pengumpulan bahan dan alat yang diperlukan untuk beternak mulai dilakukan.
Kelompok Dasa Wisma memanfaatkan bahan-bahan yang terdapat di sekitar
mereka, seperti bambu, kayu dan lain sebagainya yang dapat digunakan untuk
membuat kandang itik. Pengumpulan bahan dan alat dilakukan secara bergotongroyong
oleh anggota kelompok.
Pelajara n dari aksi kolektif pada Kelompok Dasa
Wisma
Upaya mewujudkan keinginan beternak itik petelur masih terus berlangsung.
Terlalu dini untuk menilai keberhasilan yang diraih. Namun ada pengalaman
yang dapat diambil dari apa yang telah dilakukan oleh Kelompok Dasa Wisma,
diantaranya:
1. Motivasi dan komitmen kelompok
Motivasi anggota untuk bekerja bersama dalam Kelompok Dasa Wisma masih
rendah. Komitmen untuk beternak itik belum sepenuhnya ditepati anggota. Hal
ini tercermin dari sedikitnya peserta yang hadir di setiap pertemuan, antara 7-12
orang. Alasan yang selalu dilontarkan oleh ibu-ibu adalah karena sibuk mengurus
rumah tangga.
Rendahnya motivasi dan komitmen perempuan yang dilihat dari kehadiran
dalam pertemuan, dapat dijadikan suatu parameter betapa beban kerja perempuan
cukup berat. Alasan sibuk mengurus keluarga bukan tidak mungkin adalah alasan
yang sebenarnya, apalagi kenyataannya sebagian dari perempuan di Desa Lubuk
Kambing juga bekerja untuk menopang ekonomi keluarga.
30 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Pada kondisi ini dapat dibenarkan betapa sulitnya perempuan meluangkan waktu
untuk berkumpul, apalagi untuk suatu kegiatan yang mereka sendiri belum yakin
akan manfaat kegiatan tersebut bagi mereka. Sehingga selain motivasi, kepastian
akan suatu kegiatan bersama menjadi penting. Untuk mencapai kepastian
tersebut diperlukan informasi yang memadai tentang apa yang sedang kelompok
lakukan.
2. Keyakinan untuk mencapai tujuan
Sebenarnya anggota kelompok memiliki keyakinan bahwa dengan berkelompok
tujuan mereka akan lebih mudah dicapai. Pengalaman kehidupan mereka seharihari
mengajarkan pada mereka bahwa dengan berkelompok akan lebih mudah
mencapai tujuan, seperti yang tercermin pada kegiatan gotong-royong untuk
persiapan penanaman padi ladang.
Keraguan yang muncul dalam kelompok atas rencana beternak itik petelur
adalah masalah modal dan keterampilan yang mereka miliki. Alasan munculnya
keraguan tersebut karena kondisi ekonomi anggota Kelompok Dasa Wisma ratarata
masih rendah sehingga sulit untuk mengeluarkan modal beternak. Selain itu
mereka belum sepenuhnya menguasai keterampilan beternak itik.
Upaya menepis keraguan anggota Kelompok Dasa Wisma dilakukan dengan
terus meyakinkan mereka bahwa melalui kerja bersama dalam kelompok mereka
dapat mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. Untuk keluar dari
persoalan modal mereka sepakat menempuh dua cara, yaitu melalui swadaya
dan memperoleh modal dalam bentuk pinjaman. Sedangkan untuk mengatasi
persoalan keterampilan beternak itik dilakukan dengan memperluas masukan
informasi bagi kelompok, terutama informasi beternak itik petelur secara lengkap.
Studi banding ke tempat lain bisa juga menjadi solusi atas masalah ini.
Kendala dalam berkelompok
Kendala yang ditemui perempuan untuk melakukan kegiatan kelompok adalah
persoalan membagi dan mengelola waktu. Mereka sering kesulitan membagi dan
mengelola waktu antara tugas rumah tangga dengan kegiatan-kegiatan sosial
di luar rumah. Tidak dapat dipungkiri banyak ibu-ibu yang tidak mempunyai
cukup waktu untuk berkumpul karena harus bekerja dan mengasuh anak, apalagi
umumnya mereka mempunyai anak balita.
BAGIAN 2 - Neldysavrino 31
Kendala lain yang juga ditemui dalam mewujudkan keinginan beternak itik adalah
kesibukan perempuan pada penanaman padi ladang. Kegiatan penanaman dan
pemeliharaan padi ladang menyita seluruh waktu perempuan, hingga terkadang
mereka harus berdiam di lahan. Dapat dikatakan, selama musim penanaman
padi ladang, perempuan tidak lagi mempunyai waktu untuk melakukan kegiatan
bersama dalam Kelompok Dasa Wisma.
Ucapa n Terimakasih
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada CIFOR yang telah
menyelenggarakan kegiatan lokatulis untuk buku ini dan kepada program CAPRi-
CIFOR yang telah mendanai kegiatan penelitian pendampingan di dua desa di
Jambi. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh masyarakat Desa
Sungai Telang dan Desa Lubuk Kambing yang telah membantu berlangsungnya
kegiatan penelitian Collective Action and Property Right (CAPRi). Selanjutnya
ucapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh pihak, yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, yang telah mendukung seluruh proses penelitian dan
penulisan ini.
Bahan Bacaa n
Kantor BPS Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2003. Kecamatan Merlung Dalam Angka Tahun 2003.
Pemda Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jambi, Indonesia.
Pemda Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2003. Sejarah dan Prestasi Singkat Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga Tingkat Nasional. http://jambi.wasantara.net.id/tungkal/pmrt/pkk.htm (8 Sep 2005).

BAGIAN 3
Ketika Emas Tak Lagi Bersinar
Aida Rahmah
Foto oleh Rudy Sanusi/Dok. Yayasan Padi Indonesia
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
34 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Di bawah teriknya matahari, seorang perempuan tua sibuk menusukkan sekop
ke tanah berair di areal penambangan emas tradisional Desa Batu Butok,
Kalimantan Timur. Usianya, 65 tahun. Dia mencangkul tanah dan menaruhnya ke
pendulangan hingga penuh. Setelah penuh, mulailah dia mengayak pendulangan
untuk mendapatkan butir-butir emas. Kegiatan Itu dilakukannya berulang kali.
“Sudah sepuluh tahun lebih saya melakukan ini,” katanya. Dia biasa bekerja dalam
kubangan air berlumpur dari pagi hingga siang, kadang sampai sore hari. Tapi,
uang yang dia peroleh tak menentu, bahkan cenderung merosot.
“Emas makin ngalih kami dapatkan. Amun kawa kami dibari pang bibit tanaman
gasan behuma (Emas semakin sulit untuk kami dapatkan. Kalau bisa, kami diberi
tanaman buat bertani)”, katanya dalam bahasa setempat. Ibu tua ini mengaku
punya sedikit tanah yang bisa digarap. Namun, harapannya tak terpenuhi hingga
dia meninggal. Perempuan tua itu meninggal karena kecelakaan saat menyeberang
jalan raya di depan rumahnya. Cucunya, berumur 13 tahun, mewarisi harapan
itu. Sang cucu mengikuti program pendampingan yang dilakukan Yayasan Padi
Indonesia untuk membantu masyarakat setempat mencari mata pencaharian
alternatif yang ramah lingkungan.
Desa Penamba ng Emas
Desa Batu Butok terletak di Kecamatan
Muara Komam, Kabupaten Pasir,
Kalimantan Timur. Jaraknya 175
km dari Balikpapan, bisa ditempuh
dalam empat jam, yakni satu jam
berlayar dengan kapal motor dan tiga
jam berkendaraan lewat darat.
Sebagian besar warganya hidup
dari menambang emas tradisional,
di samping bertani, berternak ikan
nila, atau berjualan di rumah.
Walaupun terletak di daerah yang
kaya sumberdaya alam, termasuk
emas, penduduk desa ini tergolong
menderita. Penduduk memang
masih dapat makan dua kali sehari, atau memiliki rumah yang bisa melindungi
mereka dari hujan dan panas. Tapi, mereka tak mampu memenuhi kebutuhan
Alat tradisional untuk mencari emas (pengambuh).
Foto oleh Rudy Sanusi/Dok. Yayasan Padi Indonesia
BAGIAN 3 - Aida Rahmah 35
sandang secara memadai. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Badan Pusat
Statistik Kalimantan Timur mengkategorikan Desa Batu Butok sebagai desa
miskin.
Sejak 30 tahun lalu, kandungan emas Desa Batu Butok telah menarik para
pendatang, termasuk dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Bersama
penduduk setempat, para pendatang itu mengusahakan penambangan emas
dengan teknologi sederhana, tanpa alat berat dan tanpa zat kimia (merkuri).
Pada awalnya, hasil penjualan emas mampu memperbaiki ekonomi masyarakat.
Mereka dapat mencukupi kebutuhan sandang dan pangan dengan cukup. Meski
begitu, karena harganya yang murah, penghasilan dari emas ini tidak banyak
mengubah kesejahteraan masyarakat secara umum. Hanya penduduk yang
mempunyai mesin pendulang yang memperoleh keuntungan besar. Mereka bisa
memiliki pesawat televisi, antene parabola, kendaraan bermotor, genset, lemari
es, dan kebutuhan lainnya. Sementara itu, para pekerja pendulang umumnya
tetap miskin.
Secara ekologis, penambangan emas ini telah merusak lingkungan. Para
penambang membabat dan membuka hutan, serta meninggalkan lubang-lubang
PASIR
PENAJAM
PASER UTARA
KUTAI BARAT
PROVINSI
KALIMANTAN TIMUR
PROVINSI
KALIMANTAN SELATAN
PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH LONG
KALI
MUARA
KOMAN
LONG IKIS
KUARO
TANAH
GROGOT
PASIR
BALENGKONG
TANJUNG
ARU
BATU
SOPANG
Kampung Muluy
Tanah Grogot
Batu Butok
0 5 10 20 30 40 Kilometers
KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
BARAT
Legenda
Ibukota Kabupaten
Desa
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, Biro Pusat Statistik
36 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
besar bekas penambangan. Kegiatan itu juga telah mencemari air sungai. Penduduk
tidak tahu cara memperbaiki lahan bekas penambangan yang rusak. Akibatnya,
daerah garapan petani terus menyusut karena para pemilik tanah biasanya tergoda
untuk cepat mendapatkan hasil dengan membuka pertambangan emas di kebun
mereka.
Kebun jahe hasil bantuan bibit
Foto oleh Rudy Sanusi/Dok. Yayasan Padi Indonesia
Memikirka n alter natif
Kini, menambang emas tradisional bukan lagi primadona bagi penghasilan
warga desa ini. Emas yang didapatkan terus berkurang. Beberapa tempat bahkan
telah habis sama sekali emasnya. Sementara penghasilan terus berkurang, risiko
pendulang emas bertambah karena harus naik-turun kubangan galian yang makin
dalam.
Beberapa warga mulai melirik cara lain mendapatkan uang untuk menghidupi
keluarga. Hal ini mendorong mereka berkumpul bersama untuk mencari solusi
bagi masalah yang dihadapi. Akhirnya terbentuklah suatu kelompok tani
yang cukup besar dan beranggotakan laki-laki dan perempuan. Mereka mulai
merencanakan membuka ladang di hutan adat. Pada hari yang disepakati, dan
biasanya Jum’at, saat libur dari mendulang emas, mereka mulai membersihkan
lahan yang akan mereka garap.
Selain membersihkan lahan yang akan dipakai untuk menanam, mereka juga
membagi-bagi lahan kepada para anggota. Luas tanah biasanya disepakati antara
BAGIAN 3 - Aida Rahmah 37
satu sampai dua hektar per keluarga. Mereka juga tetap melakukan aktivitas
bertani di lahan yang mereka telah miliki. Penduduk menanam sayur-sayuran,
jahe, bahkan juga padi. Padi yang dihasilkan dalam satu musim dapat memenuhi
kebutuhan beras keluarga untuk enam hingga 12 bulan.
Pendampingan Lapa ngan
Sejak Desember 2004, Yayasan PADI Indonesia yang berkantor di Balikpapan,
Kalimantan Timur, mulai melakukan pendampingan masyarakat di lapangan.
Yayasan PADI merasa perlu membantu masyarakat Batu Butok melalui proses
belajar untuk perubahan yang lebih baik. Dalam pendampingan ini dilakukan
kegiatan-kegiatan bersama masyarakat, terutama yang berkaitan dengan
kerusakan lingkungan akibat penambangan emas tradisional. Tujuan yang ingin
dicapai adalah mencari sumber pendapatan baru yang ramah lingkungan.
Yayasan PADI menyelenggarakan sejumlah program yang dapat meningkatkan
kapasitas masyarakat melalui beberapa pelatihan, seperti pelatihan kelompok
swadaya masyarakat dan wanatani (agroforestry) dengan budidaya karet. Para
pelatih datang dari berbagai kalangan, termasuk staf pemerintah dari Dinas
Kehutanan dan Dinas Pertambangan dan Dinas Pertanian Kabupaten Pasir.
Selain pelatihan, Yayasan PADI
mencoba untuk memberikan
bantuan berupa bibit durian,
rambutan, karet, jahe, sayuran,
serta bibit ayam dan ikan Nila
guna mendorong dan memotivasi
penduduk desa untuk bertani
dan tidak lagi melakukan
penambangan emas. Selain
mendampingi masyarakat dalam
memonitor pengelolaan bibit,
fasilitator juga memfasilitasi
pertemuan-pertemuan kampung
setiap bulannya. Masyarakat
akhirnya bisa menyusun proposal
bantuan bibit karet yang diajukan
kepada Bupati Kabupaten Pasir
dan Dinas Kehutanan setempat.
Kegiatan seorang ibu mengambuh emas di Desa
Batu Butok
Foto oleh Rudy Sanusi/Dok. Yayasan Padi Indonesia
38 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Karet menjadi pilihan masyarakat karena dinilai lebih menguntungkan secara
ekonomis, karena pohon karet bisa menghasilkan getah sampai berumur 50
tahun. Sedangkan umur ekonomis kelapa sawit hanya 25 tahun saja.
Manfaat dan kendala Pendampingan
Hingga akhir 2005, program pendampingan ini masih berjalan. Menurut penulis,
hal positif dari pendampingan ini antara lain:
1. Meningkatkan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, misalnya
dengan mempertemukan para pejabat Pemerintah Kabupaten Pasir, Dinas
Kehutanan serta Dinas Pertambangan dengan masyarakat,
2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pelatihanpelatihan,
3. Meningkatkan pengetahuan generasi muda (mulai dari siswa sekolah dasar
sampai sekolah menengah atas) tentang bahaya menambang emas secara
tradisional,
4. Meningkatkan komunikasi sesama anggota masyarakat melalui pertemuanpertemuan
kampong untuk membahas masalah-masalah yang mereka
hadapi.
Bagaimanapun juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan ke depannya,
antara lain tentang tanah adat. Meskipun lahan yang akan dibuka untuk ladang
dan kebun karet merupakan lahan tak tergarap, tapi masyarakat asli mengklaim
hutan itu tanah adat mereka. Kondisi ini menghambat proses pembebasan lahan
untuk ladang baru karena tidak semua penduduk asli bersedia berbagi dengan
pendatang. Penduduk asli meminta adanya kompensasi berupa uang jika lahan
adat akan dikelola oleh pendatang.
Hikmah
Cerita masyarakat Desa Batu Butok di atas menggambarkan fenomena bagaimana
masyarakat pedesaan harus bertahan hidup. Pengelolaan sumberdaya alam yang
tidak ramah lingkungan terbukti tidak bertahan lama, tidak menjamin masa depan.
Selain kerugian atas rusaknya lingkungan, masyarakat juga tidak mendapatkan
penghasilan yang mencukupi. Masyarakat desa tersebut kini harus memikirkan masa
depan mereka, mencari sumber pendapatan baru. Peran pendampingan dari LSM
dan pemerintah bisa membantu masyarakat memecahkan permasalahan masyarakat.
Usaha-usaha ini akan membuat masyarakat berdaya jika dilakukan dalam kerangka
pembelajaran bersama. Pengalaman dari desa kecil di pedalaman Kalimantan ini
mungkin bisa mengilhami daerah lain yang mempunyai kondisi serupa.
BAGIAN 3 - Aida Rahmah 39
Ucapa n Terimakasih
Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada masyarakat Desa Batu Butok,
Kecamatan Muara komam, Desa Mandaro-Serakit dan Busui di Kecamatan
Batu Sopang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Terimakasih juga kepada
teman-teman di Yayasan PADI Indonesia, antara lain Sarmiah, Rudi Sanusi,
dan Kusnadi yang telah membantu penulis untuk dapat mengumpulkan data dan
bahan tulisan serta memberikan saran dan kritik yang membangun. Juga kepada
ILO-IPEC Kalimantan Timur yang telah memberikan dukungan dana kepada
penulis sewaktu menjadi pendamping masyarakat di tiga desa ini.

BAGIAN 4
Mencari Alternatif di Sungai Telang
Yentirizal
Foto olehYentirizal
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
42 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Perempuan di Indonesia dirugikan oleh kemiskinan dan dipinggirkan oleh proses
pembangunan. Kontrol terhadap sumberdaya alam penopang kehidupan masih
jauh dari jangkauan tangan mereka. Ketika presiden baru menduduki jabatannya,
sejumlah kelompok perempuan kembali mengulangi pernyataan mereka agar
perempuan memiliki suara yang lebih besar pada tingkat lokal dan nasional dalam
pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka (DTE 63/November 2004).
Perubahan ke arah yang lebih baik merupakan impian setiap orang. Impian itu
diwujudkan melalui proses pembelajaran bersama atau dikenal dengan nama aksi
kolektif. Melalui aksi ini kelompok perempuan Sungai Telang berusaha memahami
persoalan yang dihadapi saat itu dan berusaha mencari solusinya. Proses yang
berlangsung membuat adanya perubahan bagi ibu-ibu dalam suatu kelompok.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah ibu-ibu berani mengungkapkan
pendapatnya.
Wilayah Desa Sungai Telang mempunyai luas 12.089,75 ha. Desa ini berdampingan
dengan Hutan Produksi, Hutan Lindung Pematang Bayur dan Taman Nasional
Kerinci Seblat dengan luas 8.714,5 ha. Secara administratif desa ini termasuk
dalam Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.
Mata pencaharian utama masyarakat Sungai Telang adalah bertanam padi (sawah
dan ladang) dan berkebun karet. Proses penanaman dan pemeliharaan kebanyakan
dilakukan oleh perempuan sementara laki-laki membantu pada saat dibutuhkan.
Hasil pertanian mereka sangatlah tergantung pada musim dan siklus tanam. Pada
musim tertentu, hasil pertanian tidak mencukupi dan mereka mencoba mencari
alternatif lain adalah sesuatu yang terlintas di pikiran mereka.
Masyarakat ini hidup dikelilingi kawasan Hutan Lindung dan kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat. Para laki-laki umumnya pergi ke hutan mengambil
kayu, rotan (Calamus manan), getah jernang (Daemonorops sp), damar (Aghatis
dammara) dan madu, sedangkan para perempuan mengolah lahan pertanian.
Beratnya beban hidup tidak membuat mereka berhenti menjalani kehidupan
sosial kemasyarakatan.
Perempua n-perempua n Perkasa
Data nasional menyebutkan bahwa 65% anak yang putus sekolah adalah
perempuan. Demikian pula halnya dengan realitas perempuan di dunia.
Perempuan yang tidak sekolah, berumur di atas 10 tahun jumlahnya dua kali
BAGIAN 4 - Yentirizal 43
lipat (11,5%) dari laki-laki. Dari 900 juta penduduk yang tidak bisa membaca
65% adalah kaum perempuan (DTE 63/November 2004)
Kenyataan ini terjadi juga di Desa Sungai Telang, Kecamatan Rantau Pandan,
Kabupaten Bungo, Jambi. Rata-rata perempuan desa ini hanya menamatkan
pendidikan sekolah dasar (madrasah) lalu menikah. Lain halnya dengan lakilaki
yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengenyam sekolah yang
lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh tradisi masyarakat Sungai Telang yang
menganggap sekolah lebih penting untuk laki-laki dibanding perempuan.
Sosok Soleha di bawah ini bisa menggambarkan kondisi perempuan Sungai
Telang. Soleha adalah satu dari 1.551 jiwa penduduk Desa Sungai Telang. Seperti
warga desa yang lain, Soleha memandang bahwa rumah bagaikan istana dambaan
setiap orang, walaupun di dalamnya belum tentu kita merasa nyaman. “Rumah
yang berbentuk panggung ini, berdinding papan, beralaskan tikar, selalu membuat
kami tertidur nyenyak,” kata Soleha. Kalau kita melihat ke bawah rumah, terlihat
kandang ternak yang berdampingan dengan gudang padi.
PROVINSI
SUMATERA BARAT
PROPINSI
RIAU
PELEPAT
BILANGAN VII
JUJUHAN
RANTAU PANDAN
MUARA BUNGO
PELEPAT ILIR
TANAH SEPENGGAL
MUKO-MUKO BATIN VII
TANAH TUMBUH
KABUPATEN
TEBO
KABUPATEN
MERANGIN
KABUPATEN
KERINCI
Sungai Telang
0 5 10 20 30 40 Kilometers
TEBO
TANJUNG
JABUNG
TIMUR
TANJUNG
JABUNG
BARAT
SAROLANGUN
MUARO
JAMBI
MERANGIN
KOTA
JAMBI
KERINCI
BUNGO BATANG
HARI
BENGKULU
SUMATERA
SELATAN
RIAU
SUMATERA
BARAT
Legenda
Ibukota Kabupaten
Desa
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, Biro Pusat Statistik
Peta dikompilasi oleh Mohammad Agus Salim, GIS Unit, CIFOR 2006
44 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Aktivitas perempuan sungguh sangat berbeda dengan laki-laki. Aktivitas seharihari
perempuan dimulai dengan sholat dan mempersiapkan sarapan pagi untuk
keluarga. Hal ini merupakan tugas yang harus dijalankan oleh Soleha sebagai
suatu rutinitas kegiatan seorang ibu rumah tangga. Berbekal sebungkus nasi dan
sebilah parang yang diselipkan dalam kain yang digendong ia berjalan tanpa alas
kaki melewati hutan. Dua jam perempuan ini berjalan untuk menuju ladangnya.
Sesampai di ladang, banyak pekerjaan yang harus dilakukan, membersihkan
rumput satu diantaranya. Menjelang waktu Magrib baru kemudian dia beranjak
pulang meninggalkan ladang. Saat Adzan Magrib berkumandang Soleha tiba di
rumah dengan keringat di badan dan lumpur di kaki.
Setelah membersihkan diri dan menunaikan sholat Magrib, Soleha melakukan
aktivitas rutin, memasak dan menyiapkan makanan untuk keluarga. Setelah itu
dia harus mengajar anak-anak mengaji Al-quran. “Mendampingi suami, mengurus
anak adalah tugas istri,” kata Soleha. Pekerjaan di bidang pertanian tersebut tidak
dilakukan terus menerus karena siklus tanam yang jarang.
Seperti perempuan yang lain di desa ini yang tidak mempunyai pendapatan
mencukupi, Soleha berkeinginan untuk memiliki peralatan memasak. Karena
tidak adanya uang untuk membeli peralatan tersebut muncul ide untuk
membentuk kelompok pekerja perempuan. Mereka bekerja sebagai pekerja
upahan terutama mengerjakan ladang. Upah yang diterima oleh kelompok
pekerja ini dikumpulkan sedikit demi sedikit yang nantinya akan digunakan
untuk membeli peralatan memasak.
Setahun setelah kelompok pekerja tersebut dibentuk, Soleha bersama anggota
kelompok telah menikmati hasil dari kerjasama mereka. Peralatan masak berhasil
dimiliki oleh tiap-tiap anggota kelompok. Para perempuan ini tidak puas sampai di
situ. Mereka mempertahankan kelompoknya, kali ini hasil upah kerja digunakan
untuk membeli gula dan minyak goreng. Bahan-bahan keperluan dapur ini
mereka bagi pada saat menjelang bulan puasa dan lebaran dengan tujuan para
suami tidak terbebani dengan kebutuhan ini.
Sudah semenjak dulu, Perempuan Desa Sungai Telang di waktu-waktu luang
membuat anyaman untuk kebutuhan sendiri seperti tikar, bakul, nyiru dan lainlain
dengan bahan baku daun pandan, bambu yang banyak tersedia di sekitar
desa.
Kaum perempuan adalah kontributor utama bagi ekonomi baik melalui pekerjaan
yang dilakukan di bidang pertanian yang diupah maupun melalui pekerjaan
BAGIAN 4 - Yentirizal 45
tradisional yang bermanfaat dalam rumah tangga maupun di masyarakat. Hampir
90% dari perempuan yang ada di Sungai Telang mengakui bahwa merekalah
yang paling banyak bekerja di sawah dan ladang. Sementara laki-laki banyak
pergi masuk hutan untuk mengambil hasil hutan. Dan selama beberapa waktu
meninggalkan lahan pertaniannya. Pada saat tersebut, perempuan secara otomatis
bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan, baik di dalam maupun di luar rumah.
Soleha mengeluh hasil pertanian tidak bisa memenuhi biaya hidup keluarga.
“Apakah kami akan selamanya begini?” kata Soleha. Bagaimana masa depan anak
kami?”
Lelaki Desa Sungai Tela ng
Sementara perempuan banyak melakukan kegiatan
pertanian padi (sawah dan ladang) dan kegiatan
tradisional, laki-laki banyak melakukan kegiatan
pertanian karet dan mencari hasil hutan. Bagi
penduduk Sungai Telang, musim hujan merupakan
salah satu faktor yang merugikan masyarakat.
Penyadapan pohon karet sangat tergantung pada
musim yang ada. Pada musim panas hasil sadapan
karet meningkat, tetapi di musim hujan hasil
menurun. Faktor musim ini yang mendorong lakilaki
mencari sumber pendapatan lain yaitu mencari
hasil hutan.
Coba kita lihat kisah Abu Bakar, seorang lakilaki
setengah baya merupakan penduduk asli
Sungai Telang. Ia mempunyai dua orang putra dan
berprofesi sebagai penyadap karet milik orang lain.
Ia mengandalkan penghasilan dari tanaman karet
milik orang lain. Rata-rata hasil sadapan karet bila
musim panas mencapai 10 kg per hari dan di musim hujan 5 kg per hari dengan
harga Rp.5000 tiap kg. Di Sungai Telang, sistem pembagian hasil sangatlah
berbeda dengan daerah lain yaitu 1/3 dari hasil sadapan untuk pemilik kebun
dan 2/3 hasil sadapan untuk dia. Tetapi Abu Bakar diharuskan menjual hasil
sadapannya kepada pemilik kebun dengan harga yang rendah. Untuk memenuhi
ekonomi keluarga, dia dituntut mendapatkan pendapatan yang lebih dari hanya
sekedar menjual karet.
Mencari petai hutan sebagai penambah pendapatan
keluarga
Foto oleh Yentirizal
46 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Sumber ekonomi alter natif
Kabupaten Bungo yang memiliki luas lahan + 166.239,5 hektar (36,70 % dari
luas kabupaten terdiri dari Taman Nasional Kerinci Seblat 71.134 hektar; Hutan
Lindung 13.529 hektar; Hutan Produksi 70.576,5 hektar; Areal Penggunaan Lain
(APL) 10.000 hektar dan hutan adat 2000 hektar. Berdasarkan citra satelit tahun
2000 dan revisi kenyataan di lapangan tahun 2004 menunjukkan bahwa kondisi
hutan di Kabupaten Bungo telah mengalami deforestasi maupun degradasi pada
tingkat yang cukup memprihatinkan yaitu mencapai 6.086 hektar pada Hutan
Lindung dan 61.455,5 pada Hutan Produksi. Selain itu juga terjadi pembukaan
lahan untuk transmigrasi, perkebunan, pertambangan batu bara dan pemukiman
menyebabkan keterbukaan lahan dan hutan menjadi semakin cepat (Pemerintah
Daerah Kabupaten Bungo. 2005).
Penghasilan penduduk yang kurang pasti akan membuat penduduk mencari
sumber ekonomi alternatif seperti mengambil hasil hutan kayu maupun non
kayu di sekitar kawasan hutan lindung. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh
para lelaki ketika musim hujan, sedangkan para perempuan biasanya melakukan
kegiatan pertanian padi (sawah dan ladang) yang sangat bergantung pada siklus
tanam dan juga melakukan kegiatan tradisional. Karena beberapa faktor-faktor di
atas, maka penduduk memerlukan sumber ekonomi alternatif untuk menopang
kehidupan keluarga.
Pengalama n bersama kelompok
Sembilan bulan yang lalu, tepatnya bulan Januari 2005, CIFOR menjalankan
suatu program dengan nama Collective Action and Property Rights (CAPRi). Dalam
program ini kami melakukan penelitian dengan menggunakan metoda Penelitian
Aksi Partisipatif atau Participatory Action Research (PAR) di Desa Sungai Telang.
Penelitian dengan penekanan belajar bersama melalui aksi kolektif pada kelompok
yang sudah ada di desa. Kelompok gotong-royong perempuan adalah salah satu
kelompok sasaran dalam kegiatan CAPRi ini.
Fasilitator mendampingi kelompok gotong-royong ini untuk menjalankan
proses kegiatan kolektif atau kegiatan bersama. Melalui aksi bersama dengan
menggunakan metode PAR, kelompok perempuan menemukan sumber
pendapatan baru yaitu mengembangkan usaha kerajinan anyaman bambu.
Kegiatan usaha anyaman yang semula mereka anggap tidak ekonomis ternyata
bisa menjadi penunjang penghasilan keluarga. Peluang ini didukung pula dengan
ketersediaan bahan baku yang cukup di sekitar desa dan adanya keterampilan
yang sudah dimiliki para perempuan anggota kelompok. Motivasi yang tinggi
BAGIAN 4 - Yentirizal 47
dari kelompok ini dalam mengembangkan anyaman bambu ditunjukkan dengan
semangat mereka untuk belajar dari desa lain yang sudah mengembangkan
kegiatan serupa.
Sampai saat tulisan ini dibuat, kelompok perempuan Desa Sungai Telang masih
sedang berupaya mengembangkan kerajinan anyaman ini. Nampaknya masih
memerlukan waktu dan usaha yang serius untuk mencapai apa yang mereka
cita-citakan. Hambatan dan rintangan dalam mencapai suatu tujuan tak selalu
berjalan dengan mulus seperti apa yang diharapkan. Begitu pula pengalaman
bersama perempuan desa ini dalam upaya menemukan sumber pendapatan
alternatif. Rasa takut dan malu bila berhadapan dengan orang luar menjadi
salah satu hal yang perlu diperbaiki ke depannya. Kelompok perempuan ini
juga merasakan adanya kendala pembagian waktu. Mereka seringkali kesulitan
mengatur waktu untuk mengurus rumah tangga dan kegiatan di luar rumah.
Banyak dari anggota kelompok yang tidak cukup waktu untuk berkumpul karena
adanya tugas mengurus rumah tangga dan menggarap lahan pertanian.
Hikmah
Fasilitasi dengan metode PAR telah mendorong perubahan di Sungai Telang.
Kelompok perempuan yang menjadi sasaran dampingan telah belajar banyak
mulai dari memahami kondisi dan persoalan yang mereka hadapi, mencari
solusi-solusi yang mungkin dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan,
terutama mencari sumber pendapatan alternatif. Dengan proses belajar bersama
ini kapasitas perempuan meningkat, komunikasi diantara mereka menjadi
lebih bermakna. Mereka juga mulai berani untuk berkomunikasi dengan pihak
pemerintah kabupaten yang diharapkan bisa memberikan dorongan bagi upayaupaya
kelompok perempuan ini.
Pengalaman perempuan Sungai Telang sekali lagi menunjukkan bahwa peran
dan kontribusi perempuan dalam menopang pendapatan keluarga tidak bisa
diremehkan. Anggapan bahwa perempuan pedesaan hanya bertugas mengurus
dapur dan anak-anak agaknya perlu segera dikesampingkan. Perempuan Sungai
Telang selain mengurus rumah tangga, juga bekerja mengurus ladang, bahkan
sekarang berupaya mencari sumber pendapatan alternatif.
Ucapa n Terimakasih
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada tim CAPRi CIFOR (Ibu Carol
Colfer, Pak Heru Komarudin, Ibu Yulia Siagian, Ibu Yuneti Tarigan dan Ibu
48 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Dede William) yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk bisa
terlibat dalam penulisan ini. Tak lupa saya ucapkan terimakasih banyak kepada
masyarakat Desa Sungai Telang yang telah bekerja sama dengan baik selama
kegiatan pendampingan di lapangan.
Bahan Bacaa n
Anonim.2004. Perempuan, Tanah dan Sumber Daya Alam. Down to Earth No. 63. November.
http://dte.gn.apc.org/63iwo.htm (15 Sep 2005).
Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo. 2005. Kebijakan Daerah Pembangunan Kehutanan
Kabupaten Bungo. Bungo, Jambi, Indonesia.
Wiliam, Dede. 2005. Adil Gender: Mengungkap Realita Perempuan di Jambi, laporan
workshop Gender di Sungai Telang-Bungo dan Lubuk Kambing-Tanjung Jabung Barat,
Provinsi Jambi. CIFOR. Bogor, Indonesia.
BAGIAN 5
Bertahan Saat Hidup Semakin Sulit
Seselia Ernawati
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
“Sudah tiga hari ini keluarga kami tidak makan ikan. Sulit mencari ikan bahkan untuk lauk”.
(Sariah 45 th, perempuan kampung nelayan Semalah, Taman Nasional Danau Sentarum)
Foto oleh Yayan Indriatmoko/CIFOR
50 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Danau Sentarum, Kalimantan Barat
merupakan wilayah hamparan
banjir terunik di dunia. Memiliki
kandungan lapisan gambut purba
berumur 20 ribu tahun yang
kaya keanekaragaman hayati.
Pontianak, ibu kota provinsi
Kalimantan Barat diuntungkan
dengan keberadaan kawasan
ini sebagai juru atur air. Danau
Sentarum juga merupakan tulang
punggung industri perikanan
bagi Kalimantan Barat. Namun,
nasibnya kini terancam.
Wim Giesen dan Julia Aglionby,
peneliti asal Belanda dan Inggris
dalam bukunya berdasarkan penelitian tahun 1993-1997 menuliskan bahwa
Danau Sentarum menghasilkan hingga 13.000 ton ikan pertahun. Danau
Sentarum menjadi sumber penghidupan sekitar 6500 nelayan yang tersebar di 39
kampung, terutama pada saat danau mengering di musim kemarau.
Kini delapan tahun kemudian, ikan sebagai primadona penghasilan warga
menurun drastis. Bahkan untuk makan sehari-hari pun susah. Penduduk
merasakan kemerosotan kualitas lingkungan Danau Sentarum, tempat mereka
hidup.
Seperti Sariah, perempuan dari Dusun Semalah, para perempuan lain di dusun itu
mengeluh serupa. Mereka mengatakan sulit menemukan ikan Belida (Notopetrus
chitala H.B), yang dulu biasa mereka pakai membuat temet (kerupuk basah yang
menyerupai pempek Palembang). Ikan Arowana (Scleropages formosus), yang
dulu banyak berkeliaran di danau itu, kini hanya dapat dinikmati di akuarium
atau tempat penangkaran.
Kedua spesies tadi hampir tak pernah ditemukan lagi di danau dan sungai di
kawasan itu. Warga setempat, khususnya perempuan sebagai pengelola rumah
tangga, merasa dirugikan karenanya.
Muka air sungai naik dan turun lebih cepat, sulit diduga. Hujan semalam saja
dapat membuat permukaan air naik sampai dua meter lebih tinggi dari biasanya,
Diskusi bersama kelompok perempuan.
Foto oleh Yayan Indriatmoko/CIFOR
BAGIAN 5 - Seselisia Ernawati 51
lalu segera turun dalam beberapa jam saja. Jika tak ada hujan, muka air sungai
berkurang sampai beberapa hari. Bahkan airnya berbau.
Fluktuasi debit air yang cepat itu disebabkan oleh berkurangnya hutan akibat
kebakaran dan penebangan di dalam maupun kawasan penyangga Danau
Sentarum. Volume air menjadi sulit diprediksi, disertai kerusakan hutan. ‘Kiamat’
sedang pelan-pelan melanda Danau Sentarum, sebuah kawasan yang dikenal
memiliki ekosistem terunik di dunia.
Taman Nasional Danau Sentarum , Paru -Paru
Kalimanta n
Terletak di kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Danau Sentarum
merupakan tipe ekosistem hamparan banjir terluas yang masih tersisa dalam
kondisi baik di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.
Kawasan ini terdiri atas sekumpulan danau musiman berwarna hitam kemerahan
yang dihubungkan aliran sungai. Dari banyak penelitian yang dilakukan, Danau
Sentarum dinyatakan sebagai wilayah hamparan banjir terunik di dunia.
KAPUAS HULU
SINTANG
EMBALOH HULU PUTUSSIBAU
BATANG
LUPAR
PURING BADAU
KENCANA
EMPANANG
SEMITAU
SEBERUANG
SUHAID
SELIMBAU
EMBAU
BATU
DATU
BOYAN
TANJUNG
BUNUT
HILIR
EMBALOH
HILIR
KEDAMIN
KALIS
MANDAY
MENTEBAH
BUNUT
HULU
HULU
GURUNG
SILAT
HULU
SILAT
HILIR
Semalah
0 5 10 20 30 40 Kilometers
KAPUAS HULU
SINTANG
KETAPANG
SANGGAU
PONTIANAK
LANDAK
BENGKAYANG
SAMBAS
KALIMANTAN
TIMUR
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN BARAT
Legenda
Desa
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Batas TNDS
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, Biro Pusat Statistik
Peta dikompilasi oleh Mohammad Agus Salim, GIS Unit, CIFOR 2006
52 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Kawasan ini punya kandungan
gambut purba berumur
20.000 tahun, yang kaya akan
keanekaragaman hayati. Terdapat
sekitar 250 spesies ikan, 10%
diantaranya hanya terdapat di
Danau Sentarum. Sekitar 250
spesies burung, 143 spesies
mamalia, seperempatnya hanya
ada di Danau Sentarum. Tiga jenis
buaya, dan lusinan tumbuhan
yang juga hanya ada di Danau
Sentarum. Belum lagi fungsi
hidrologis yang dimiliki.
Bagai spon yang menyerap air,
gambut di Danau Sentarum
menerima tumpahan air dari
Sungai Kapuas pada musim hujan dan banjir, kemudian menyimpannya dalam
mangkuk cekungan danau, ketinggian air dapat mencapai 12 m. Dilihat dari
ketinggian Danau Sentarum tampak seperti hamparan danau luas tertutup air,
dengan pulau-pulau berhutan yang umumnya tergenang.
Saat musim kemarau, danau melepaskan air ke Sungai Kapuas secara perlahanlahan
sehingga air danau semakin surut. Saatnya air danau kering, terlihat
aliran sungai yang dangkal dan genangan disana sini. Jika kekeringan berlanjut,
permukaan danau terlihat retak-retak.
Danau Sentarum sejak tahun 1981 berstatus Cagar Alam, setahun kemudian
berubah status menjadi Suaka Margasatwa. Belakangan, tahun 1999 Danau
Sentarum dinyatakan sebagai Taman Nasional. Tidak hanya itu, Danau Sentarum
menjadi satu dari dua kawasan Ramsar di Indonesia karena dipandang sebagai
kawasan hamparan banjir yang penting, bukan saja bagi Indonesia tapi juga
kehidupan dunia internasional.
Karenanya, kabupaten Kapuas Hulu, tempat danau ini berada mendeklarasikan
diri sebagai kabupaten konservasi sejak satu Oktober 2003. Danau Sentarum juga
menjadi bagian dari proyek besar yang dinamakan The Heart of Borneo.
Taman Nasional Danau Sentarum dilihat
dari Bukit Tekenang.
Foto oleh Yayan Indriatmoko/CIFOR
BAGIAN 5 - Seselisia Ernawati 53
Ratusan tahun sebelum dinyatakan sebagai kawasan lindung, Danau Sentarum
telah dihuni oleh masyarakat dari Suku Melayu dan Suku Iban. Mereka hidup
dengan menggantungkan diri pada alam. Sekalipun Danau Sentarum dianggap
layak menjadi kawasan konservasi di Kalimantan Barat, hingga kini belum dapat
menjamin kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Berkurangnya jumlah tangkapan ikan mengurangi pendapatan para nelayan,
bahkan pada saat panen raya. Kegiatan yang disebut masyarakat setempat labuh
zakat ini, tak menghasilkan ikan sebanyak dulu lagi.
Tujuh tahun lalu saat musim kemarau mereka masih bisa menangkap satu perahu
seharian, sekarang setengahnya pun susah. “Jika kami hanya mengharapkan ikan,
10 tahun lagi kami akan kelaparan. Saya tidak akan mampu menyekolahkan
anak-anak”, kata Sabli (35 th) kepala dusun tetangga, Semangit.
Demikian pula budidaya Ikan Toman (Channa micropeltes) dalam keramba.
Nelayan mengeluh ikan banyak mati saat air bangar. Bukan hanya itu, kualitas
air yang memburuk juga menyebabkan diare dan penyakit kulit bagi penduduk
terutama saat musim kemarau.
Penyebab berkurangnya ikan tidak berdiri sendiri. Hampir seluruh nelayan danau
membudidayakan ikan Toman yang membutuhkan pakan ikan-ikan kecil cukup
banyak. Hal ini juga satu penyebab berkurangnya ikan di Taman Nasional Danau
Sentarum.
Belum lagi pertambahan populasi yang mencari nafkah dengan mengandalkan
ikan. Mereka mencari pakan Toman menggunakan jaring rapat (warin) untuk
menangkap anak ikan. Bayangkan saja, jika dalam sehari seribu ekor ikan Toman
dalam satu keramba berukuran satu kg dapat makan 40 kg anak ikan. Jumlahkan
berapa banyak anak ikan mati dalam setahun.
Masalah perikanan ini tak hanya berdampak pada laki-laki, sebagai pengelola
dapur perempuan terkena dampak juga. Mereka bertanggung jawab menyediakan
makanan yang baik bagi keluarga. Dengan cara alami mereka mencari jalan untuk
tetap dapat menghidupkan dapur rumahnya.
Kegiata n Riak Bumi
Yayasan Riak Bumi berdiri 2000. Namun awal pendampingan dimulai sejak 1992
saat dilakukan oleh Overseas Development Administration (ODA). Tiga orang yang
54 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
kemudian membentuk Yayasan Riak Bumi, sesudah berakhirnya proyek ODA
bekerja di bawah payung Yayasan Dian Tama.
Berakhirnya proyek bersama Yayasan Dian Tama 2000, tidak lantas menghentikan
kegiatan pendampingan di Danau Sentarum. Tahun 2000 terbentuklah Yayasan
Riak Bumi. Sampai sekitar tahun 2004, Riak Bumi memiliki fokus kegiatan
pada penguatan ekonomi melalui upaya mencari pendapatan alternatif dan
pemberdayaan hukum adat masyarakat di Taman Nasional Danau Sentarum.
Perhatian Riak Bumi terhadap masalah gender, dimulai tahun 2005. Bermula
dari kegiatan pelatihan “Gender dan Keanekaragaman Hayati” di Muara Bungo,
Jambi 2004, dengan bantuan dana dari CIFOR (Center for International Forestry
Research) Riak Bumi melakukan penelitian gender dan keanekaragaman hayati
di Taman Nasional Danau Sentarum. Salah satu kampung yang diteliti adalah
Dusun Semalah.
Melalui percakapan sehari-hari, diskusi bersama masyarakat dan pengamatan
langsung, penelitian ini dilalui. Beberapa kali diskusi dilakukan dengan
memisahkan kelompok laki-laki dan perempuan, agar mereka bebas
mengemukakan pendapat.
Pertemuan-pertemuan ini bukan yang pertama untuk perempuan. Melalui
kegiatan pendampingan, para perempuan pengrajin sering berdiskusi untuk
membahas persoalan kerajinan keranjang rotan. Penguatan kelompok pengrajin
rotan merupakan salah satu upaya mencari pendapatan alternatif.
Semalah , Surga Ya ng Hila ng
“Sekarang kami lebih banyak bergantung dari kebun dan ladang, karena mencari dan
memelihara ikan lebih tidak pasti” (Ratna, 33 th).
Perjalanan ditempuh dua jam dengan menggunakan sampan bermotor 15 pk dari
muara Sungai Leboyan, Taman Nasional Danau Sentarum. Semalah merupakan
kampung nelayan keempat dari hilir Sungai Leboyan.
Kondisi alam yang berbukit-bukit, dataran rendah, sungai dan danau, menjadikan
masyarakat yang berdiam di tepi sungai ini mengandalkan ikan sebagai pendapatan
utama. Madu lebah hutan, ladang, hasil kebun dan sesekali kerajinan keranjang
rotan menjadi pendapatan tambahan masyarakat.
BAGIAN 5 - Seselisia Ernawati 55
Warga Semalah tinggal di rumah-rumah panggung yang tiang tonggaknya sering
terendam air. Tiap rumah dihubungkan ke sebuah jembatan panjang yang juga
berfungsi sebagai jalan dusun. Dusun ini berpenduduk 218 jiwa, mayoritas Suku
Melayu. Perempuan hampir 50% dari penduduk dusun itu.
Meski perempuan memperoleh akses untuk memanfaatkan sumber daya alam,
tidak demikian dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaannya. Perempuan
tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan kampung, rapat priau untuk
madu, rapat nelayan maupun pemanfaatan lahan bersama, sekalipun ia adalah
perempuan kepala keluarga.
Padahal bukan saja bertanggung jawab pada urusan rumah tangga, perempuan
turut berperan mendukung ekonomi keluarga. Perempuanlah pemeran utama di
ladang dan kebun. Membantu suami mencari dan memelihara ikan juga bagian
mereka.
Ancama n Mengintai
Tahun 2004, bagian hutan lindung Semalah ditawar cukong kayu lokal. Dianggap
sebagai sumber uang, melalui pertemuan kampung yang hanya dihadiri laki-laki,
warga desa sepakat menerima walau dengan perdebatan alot. Namun, belakangan
mereka mengakui penebangan kayu ini tidak menambah kesejahteraan, hanya
memperkaya segelintir orang.
Awalnya, melalui banyak pertemuan antar kampung, Semalah dikenal sebagai
kampung nelayan Melayu yang ingin mempertahankan keutuhan hutan mereka.
Namun maraknya penebangan hutan, kebutuhan akan uang tunai menjadi
dorongan kuat bagi masyarakat Semalah untuk menebang hutan.
Setahun terakhir sebelum penebangan hutan dihentikan pemerintah tahun
2005, mereka akhirnya turut menebang hutan. Walau hasilnya tidak membantu
ekonomi keluarga secara menonjol.
Yang tersisa, bekas lahan penebangan. Ini menyebabkan bukan saja kerusakan
alam, beresiko pula bagi keutuhan keanekaragaman hayati di hutan dan Danau
Sentarum. Akhirnya mengancam masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar
Danau Sentarum.
56 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Berlada ng, Mata Pencaharia n Baru
Setelah para cukong pergi, warga setempat memutuskan memanfaatkan lahan
bekas penebangan hutan menjadi kebun karet. Lahan dibagi 66 kapling, masingmasing
selebar 30 tombak (1 tombak sekitar 1,5 m) untuk tiap keluarga, memanjang
ke arah kaki Bukit Semalah. Tiap keluarga dapat mengolah sesuai kemampuan.
Sementara menunggu waktu tanam dan pengumpulan bibit karet, para perempuan
menggarapnya untuk ladang dan kebun dengan harapan menutupi belanja dapur
sehari-hari. Pada awalnya hanya tujuh keluarga yang membuka ladang, saat ini
ada 70 keluarga turut menggarapnya.
Hanya sedikit perempuan Semalah yang pernah berladang. Mereka memang
tidak mempunyai tradisi berladang selama ini. Untuk membuka ladang baru,
mereka harus belajar dari awal perihal berladang. Penambahan mata pencarian
ini bahkan membuat beberapa dari mereka pergi mengunjungi kerabat Suku
Dayak Iban di kampung lain untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan
menggarap lahan.
Jauhnya lahan ladang baru ini bukan halangan bagi mereka. Memerlukan satu
jam bersampan mesin 15 pk, dilanjutkan berjalan kaki sekitar dua jam untuk
sampai di lokasi. Belum lagi jauhnya sumber air bersih dari ladang baru, sekitar
dua jam berjalan ke kaki Bukit Menyukung. Sering mereka harus membawa bekal
air setiap kali ke ladang. Namun
demi manfaat jangka panjang,
mereka mau melakukan pekerjaan
berat ini. “Jika menanam karet di
tanah sendiri,” kata Ibu Salma salah
satu warga desa, “Hasilnya bukan
saja untuk kami, tapi juga untuk
anak cucu. Nanti kami juga bisa lihat
hutan karet.”
Beberapa laki-laki membantu
keluarga menebang kayu untuk
persiapan membuka ladang,
menugal dan merontokkan
padi. Namun secara keseluruhan
perempuanlah yang paling banyak
mengurusi ladang.
Ladang Suku Dayak Iban di Taman
Nasional Danau Sentarum
Foto oleh Yayan Indriatmoko/CIFOR
BAGIAN 5 - Seselisia Ernawati 57
Hasil panen tiap tahun bisa mencapai 600 kula atau sekitar 1.500 kg. Meski
tidak menjual hasil padi, panen padi bisa untuk keperluan makan keluarga dalam
setahun.
Sayur-mayur hasil kebun juga menjadi konsumsi keluarga. Berbagai jenis hasil
kebun dihasilkan, dari jagung, labu, timun, kacang panjang dan sayuran lainnya
ditanam di sana. Kelebihannya dijual di Semalah atau kampung berdekatan.
Sehingga tidak pun memiliki banyak uang, hasilnya dirasakan sangat membantu
perempuan dalam pengeluaran sehari-hari keluarga.
Ini perkembangan yang unik bagi Suku Melayu. Sejak dulu di wilayah Danau
Sentarum, Suku Ibanlah yang menjadikan perladangan sebagai pekerjaan utama.
Selain banyak wilayah Kampung Melayu yang berada di perairan danau, wilayah
kampung yang memiliki lahan kering lebih sering mengolahnya untuk berkebun.
Biasanya hanya beberapa keluarga saja yang berladang. Di Semalah pada awalnya
hanya tujuh keluarga yang berladang dari 87 kepala keluarga yang ada.
Keraji nan Tangan Pembuka Jala n Menuju
Pengorga nisasian
Sejak lama perempuan memanfaatkan waktu luang untuk membuat perabotan
rumah tangga dari bahan rotan dan tikar pandan. Rotan masih cukup mudah
ditemukan di wilayah mereka. Keahlian turun-temurun ini juga menjadi sumber
pendapatan tambahan mereka.
Sejak tahun 1995 melalui proyek bantuan ODA, kegiatan pemasaran hasil hutan
bukan kayu turut dilakukan. Termasuk produk-produk dari Semalah. Yayasan
Riak Bumi melanjutkan memfasilitasi kegiatan ini setelah proyek ODA selesai.
Dalam pertemuan–pertemuan bersama pendamping dari Yayasan Riak Bumi
mereka menentukan bentuk-bentuk kerajinan yang akan dihasilkan. Riak Bumi
kemudian juga turut membantu memasarkan produk-produk mereka itu, seperti
keranjang-keranjang kecil dari rotan dan tikar.
Namun permasalahan pemasaran turut menjadi kendala kelancaran pemesanan.
Perlu ada strategi baru yang digunakan dalam sistem pemasaran. Misalnya
berhubungan dengan dinas pemerintah terkait. Harga yang lebih tinggi dibanding
dengan harga di pulau Jawa turut mempengaruhi penjualan kerajinan ini.
58 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Harga yang lebih tinggi ini disebabkan produk yang mereka hasilkan adalah
kegiatan sampingan dan penentuan harga juga dibandingkan dengan kondisi
pengeluaran mereka, seperti harga BBM yang tinggi di wilayah ini. Belum lagi
transportasi yang cukup mahal untuk mencapai Semalah dari ibu kota provinsi,
Pontianak.
Namun di lain sisi, ada hal positif yang dapat diperoleh dari kegiatan ini.
Meskipun perempuan tidak dilibatkan dalam kebanyakan pertemuan “laki- laki”,
mereka dapat leluasa menyampaikan pendapat pada pertemuan dengan sesama
perempuan dalam kegiatan anyaman. Ini menjadi dasar bagi perempuan untuk
mulai berorganisasi.
Dalam kegiatan pendampingan, mereka mulai menyampaikan permasalahanpermasalahan
yang dihadapi. Dari permasalahan yang ada, mereka bersama-sama
mulai merumuskan masalah apa yang paling mendasar dan paling mungkin bisa
diatasi.
Kegiatan-kegiatan ini belum menghasilkan banyak. Perjalanan masih panjang.
Masih banyak upaya dan dukungan yang diperlukan untuk mencapai sebuah
gambaran ideal dari perempuan yang berdaya dalam masyarakat juga dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Namun jika terus ditekuni bukan tidak mungkin
jalan yang tampaknya gelap, lama kelamaan semakin terang seperti semburat
matahari yang muncul perlahan namun pasti dari timur.
Dari pengalaman perempuan Semalah ini, kita melihat bahwa suku tradisional
memiliki mekanisme bertahan hidup akibat perubahan lingkungan yang
mengancam kehidupan mereka. Mereka mencari alternatif sumber ekonomi
baru. Sesuatu hal yang dianggap biasa namun menjadi sangat bermanfaat saat
keadaan sulit.
Secara umum Suku Melayu di kampung ini kurang melibatkan perempuan dalam
mengambil keputusan publik. Padahal perempuanlah yang sebenarnya kelak akan
banyak mengerahkan waktu dan tenaga di ladang itu. Tentu perubahan ini akan
lebih positif dan produktif jika dapat memaksimalkan keterlibatan perempuan.
Ucapa n Terimakasih
Saya mengucapkan terimakasih kepada masyarakat Dusun Semalah di Taman
Nasional Danau Sentarum yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu namanya.
Terimakasih untuk dukungan teman-teman di Yayasan Riak Bumi selama
BAGIAN 5 - Seselisia Ernawati 59
kegiatan saya di lapangan. Terimakasih pula untuk Carol Colfer dan Linda
Yuliani (CIFOR) untuk masukan-masukannya, termasuk referensi yang saya
perlukan. Terimakasih untuk Yayan Indriatmoko untuk foto-fotonya. Saya
ucapkan terimakasih juga kepada CIFOR yang dengan baik hati telah memberi
kesempatan kepada saya menuangkan pengalaman lapangan hingga menjadi
bagian dari buku ini. Akhirnya, terimakasih perlu saya ucapkan untuk para
mentor selama lokatulis yang membuat tulisan ini menjadi layak dibaca.
Bahan Bacaa n
Anshari, G.Z., Anyang, Y.C.T., Kusnandar, D., Valentinus, H., Jumhur, A., 2000. Taman Nasional
Danau Sentarum Lahan Basah Terunik di Dunia. Yayasan Konservasi Borneo dan Yayasan
Riak Bumi. Pontianak. Indonesia.
Colfer, C.J. P.et al. 2000. Understanding patterns of resource use and consumption. Borneo
Research Bulletin, Volume 31: 29 -88.
Giesen, W. and Aglionby, J. 2000. Introduction to Danau Sentarum National Park, West
Kalimantan. Borneo Research Bulletin, Volume 31: 5 - 28.
Simatauw, M., Simanjuntak, L., Kuswandoro, P. T. 2001. Gender & Pengelolaan Sumber Daya
Alam: Sebuah Panduan Analisis. Pikul. Kupang. Indonesia.

Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
BAGIAN 6
Menyelamatkan Kerajaan Kupu-kupu
di Bantimurung, Sulawesi Selatan
Salma Tajang
Foto oleh Salma Tadjang
62 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Gemuruh air terjun mengalir di sela-sela batu cadas, ribuan kupu-kupu warnawarni
beterbangan mengipaskan sayapnya di alam bebas, burung berkicau di
ranting pepohonan nan rindang. Gambaran itu ada di Bantimurung, tempat
seindah surga.
Kerajaa n Kupu-Kupu
Bantimurung, sebuah kecamatan di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, sekitar
42 km dari Kota Makassar, dikenal sebagai surganya kupu-kupu. Alfred Russel
Wallace (1856-1857), seorang pakar zoologi asal Inggris, menulis dalam bukunya
The Malay Archipelago, beragam spesies kupu-kupu yang unik dan cantik yang
pernah ia jumpai di Bantimurung. Naturalis Inggris ini menyebut Bantimurung
sebagai The Kingdom of Butterfly (Kerajaan Kupu-kupu).
Seratus tahun lebih kemudian setelah kehadiran Wallace, jumlah kupu-kupu
berkurang drastis. ‘’Dulu, ketika saya masih kecil setiap pagi saya menyaksikan kupukupu
ramai berseliweran hinggap di ranting pohon ataupun di pucuk bunga di halaman
rumah kami. Kini sangat kurang, maksimal sepuluh atau lima ekor’’, ujar Nismawati
seorang penduduk yang bermukim di sekitar ‘istana Kupu-Kupu’. Kini kupu-kupu
tersebut terancam punah.
Sejumlah upaya kini dilakukan pemerintah dan warga setempat untuk mengurangi
laju kepunahan kupu-kupu melalui penangkaran. Kesadaran ini muncul dari
kenyataan bahwa kupu-kupu alam semakin berkurang karena selain lingkungan
alam mulai tercemar dan adanya kegiatan pengambilan kupu-kupu alam tersebut
untuk dijual. Upaya penangkaran dilakukan agar kupu-kupu yang dijual tidak
berasal dari alam langsung dan bisa untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dalam upaya-upaya ini perempuan memiliki peran yang penting.
Kawasan ini kini menjadi lokasi wisata air terjun dan ramai dikunjungi tidak
hanya warga Sulawesi Selatan tetapi juga mancanegara. Lokasinya bisa dicapai
dalam waktu dua jam dengan kendaraan roda empat atau pun roda dua dari Kota
Makasar. Topografi wilayah ini sangatlah bervariasi. Bentangan pegunungan
dengan jenis batu karts (kapur) yang curam dan vegetasi tropis yang subur. Di
depannya terhampar sawah yang luas. Iklimnya sedang dengan bulan basah yang
seimbang dengan bulan kering.
Penduduk umumnya bekerja sebagai petani, wiraswasta, buruh pabrik dan pegawai
negeri. Kondisi sosial perempuan tak jauh berbeda dengan wilayah lain. Mereka
lebih banyak di rumah ketimbang bekerja di luar. Kalaupun bekerja, mereka
BAGIAN 6 - Salma Tadjang 63
lebih mengembangkan usaha yang tidak mengharuskan mereka meninggalkan
rumah seperti membuka warung atau pun melakukan penangkaran kupu-kupu.
Pilihan ini bisa jadi karena masih kentalnya budaya patriarkhi, yaitu suatu
kepercayaan atau ideologi yang memandang kedudukan laki-laki lebih tinggi
dari perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam meningkatkan pendapatan keluarga bukanlah hal
baru. Namun kegiatan yang sekaligus berdampak pada pelestarian lingkungan ini
mungkin tidak banyak dijumpai.
Surga kupu-kupu yang dikunjungi Wallace tahun 1857 dan berhasil menemukan
270 species ini sudah jauh berbeda kondisinya saat ini. Andi Mappatoba Sila,
seorang profesor peneliti dari Universitas Hasanuddin tahun 1997 kembali
meneliti dan hanya menemukan 147 species. Delapan tahun kemudian, Farid
Suaib, mantan pejabat Bupati Maros menginformasikan spesies kupu-kupu yang
ada di Bantimurung tinggal setengahnya (135) dari jumlah yang sebelumnya
pernah ada.
Hanya hampir satu setengah abad saja setengah (54%) spesies kupu-kupu
mengalami kepunahan. Sebuah angka kepunahan yang cukup tinggi. Bila tidak
UJUNG PANDANG
BONE
BARRU
PANGKAJENE
KEPULAUAN
MAROS
SINJAI
GOWA
MALLAWA
CENRANA
CAMBA
TOMPU
BULU
TANRALILI
SIMBANG
BANTIMURUNG
BONTOA
LAU
MARUSU TURIKALE
MAROS
BARU
MONCONGLOE
MANDAI
0 2.5 5 10 15 20 Kilometers
SULAWESI
SELATAN
SULAWESI
TENGAH
SULAWESI
TENGGARA
Legenda
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, Biro Pusat Statistik
Peta dikompilasi oleh Mohammad Agus Salim, GIS Unit, CIFOR 2006
64 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
ada upaya yang dilakukan untuk melestarikan kupu-kupu, istana kupu-kupu ini
bisa jadi tinggal cerita kelak.
Empat tahun setelah penelitian Mappatoba Sila, Institusi Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat (IPPM) kembali melakukan penelitian intensif di
wilayah tersebut. Hasilnya jauh lebih buruk. “Bukan hanya species yang punah
tetapi populasi juga menurun,’’ ujar Direktur IPPM, Rahmad Sabang.
Penyebab Runtuhnya Kerajaa n Kupu-kupu
Punahnya separuh lebih spesies yang diikuti menurunnya populasi bukanlah
tanpa sebab. Banyak faktor yang mengakibatkan serangga penghisap madu ini
tak kuasa hidup lebih lama di kawasan tersebut. Perubahan ekosistem yang
disebabkan penebangan hutan yang berlebihan dan penambangan bukit-bukit
kapur di sekitar kawasan merupakan faktor utama. Selain itu, pemakaian pestisida
yang berlebihan untuk pertanian membuat udara dan air tercemar. Faktor
lainnya adalah terbukanya informasi mengenai nilai ekonomi kupu-kupu yang
menyebabkan penduduk berlomba-lomba melakukan penangkapan yang sulit
dikontrol. Hal senada diungkapkan Mappatoba Sila, bahwa permintaan ekspor
kupu-kupu begitu tinggi sehingga penangkapan liar sulit dihentikan.
Kehadiran Taman Wisata Alam Bantimurung yang ditetapkan secara resmi pada
tahun 1981 juga bagaikan buah simalakama. Di satu sisi, taman wisata ini menjadi
sumber pendapatan asli daerah pemerintah Kabupaten Maros dan mampu
meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Di sisi lain, keberadaannya
mengusik penghuni ‘kerajaan’ kupu-kupu akibat bau tak sedap dari kepulan
asap sampah yang dibakar pengunjung tanpa sengaja. Masih untung jika bau
asap tersebut membuat serangga yang usia maksimalnya hanya empat bulan ini
berpindah ke tempat yang lebih aman, tapi paling celaka kalau serangga gemulai
ini mati sebelum meletakkan telurnya pada sehelai daun. Jika ini terjadi, spesies
kupu-kupu ini bisa habis.
Sudah suratan takdir hidup kupu-kupu harus berkerabat dekat dengan tanaman
dan lingkungan. Kupu-kupu tidak bisa hidup di lingkungan yang penuh kebisingan
dan udara serta air yang tercemar oleh zat kimia. Itulah sebabnya kupu-kupu
dapat menjadi indikator sehat tidaknya sebuah lingkungan.
BAGIAN 6 - Salma Tadjang 65
Upa ya Mengembalika n Kedaulata n
Bukan tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kedaulatan
wilayah ‘kerajaan’ kupu-kupu itu. Untuk mencegah kepunahan total,
pemerintah, kalangan akademisi, pemerhati satwa maupun masyarakat setempat
telah mengambil langkah-langkah konkret. Terkait perubahan ekosistem yang
berdampak pada rusaknya habitat kupu-kupu, Menteri Pertanian tahun 1981
telah menetapkan kawasan ini sebagai kawasan konservasi. Tidak cukup itu,
pada 2004 Menteri Kehutanan menetapkan perubahan fungsi kawasan hutan
Bantimurung-Bulusaraung menjadi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung.
Kerusakan hutan bisa diatasi dengan reboisasi dan restorasi. Namun tidak
demikian halnya dengan kerusakan habitat kupu-kupu akibat penambangan
bukit-bukit kapur. Kapur atau karst merupakan sumber daya alam yang tidak
terbaharui. Satu-satunya jalan, pemerintah provinsi Sulawesi Selatan harus ketat
dalam memberikan izin tambang bagi perusahaan marmer.
Sebagai peneliti yang memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan,
Mappatoba Sila melakukan restorasi habitat dan restorasi populasi kupu-kupu di
kawasan ini. Restorasi ini merupakan upaya pengembalian kondisi lingkungan
kepada kondisi semula secara alami. Restorasi ini dilakukan terutama di daerah
hulu. Ia menanam kembali berbagai tanaman yang menjadi pakan kupu-kupu,
misalnya Aristolachia sp. untuk jenis kupu-kupu Troides, Citrus sp. dan Rutaceae
untuk Papilio, Ficus sp. untuk Euploea sp., Annona muricata dan squoma untuk
Graphium, Cassia sp. untuk Eurema sp. serta Passiflora sp. untuk Cesthosia myrina.
“Hal ini dilakukan demi kenyamanan kupu-kupu,’’ ujar Mappatoba.
Terkait dengan penangkapan kupu-kupu yang tidak terkontrol, apakah cukup
dengan mengeluarkan selembar surat keputusan tentang perubahan fungsi hutan
menjadi kawasan konservasi? Ataukah ada cara lain yang lebih ampuh untuk
mengatasinya? Sekedar surat keputusan tentu saja tidak cukup. Dibutuhkan
keberanian mengubah sikap dan perilaku menangkap kupu-kupu secara langsung
di alam. Sikap ini tidak serta merta terwujud tanpa upaya penyadaran terhadap
siapa saja yang melakukan penangkapan langsung, apakah itu dilakukan sekadar
hobi ataupun tujuan lain semisal bisnis kupu-kupu.
66 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Meningkatka n Pengetahua n dan Keterampila n
Masyarakat
Berkaitan dengan peningkatan kesadaran masyarakat, Institusi Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat (IPPM) sejak 2001 mencoba ambil bagian dalam
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat setempat. Untuk
tujuan ini, Institusi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat menggandeng
Yayasan Bina Usaha Lingkungan Jakarta–Global Environment Facility/Small
Grants Programme dan UNDP. IPPM juga menjalin koordinasi dengan Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kabupaten Maros agar tercipta sinergi
dalam melakukan upaya pelestarian kupu-kupu.
Untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat, apalagi yang berdampak
pada sumber kehidupan sehari-hari tidaklah mudah. Masyarakat di Bantimurung
terbiasa memperoleh pendapatan dengan cara menangkap kupu-kupu secara
langsung di alam. Lalu mereka menukarnya dengan uang seribuan sampai
duapuluhribuan kepada kolektor atau ke pengunjung yang ingin menghias
ruanganya dengan hiasan kupu-kupu yang telah diawetkan. Masalah ini bisa
dipecahkan kalau ada pendapatan alternatif. Misalnya, mengajak mereka untuk
membuat penangkaran sendiri yang dikelola secara profesional. Penangkaran ini
mungkin bisa menjamin sumber penghasilan masyarakat tanpa harus mengusik
ketenangan hidup kupu-kupu alam.
Program ini diawali dengan studi banding ke PT. IKAS di Bali, sebuah perusahaan
penangkaran, tahun 2001. Beberapa warga diikutsertakan agar bisa melihat
langsung teknik penangkaran maupun proses pengawetan dan pengemasan kupukupu
yang memenuhi standar ekspor. Sepulang dari Bali, digelar seminar untuk
merencanakan program. Hasilnya, masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan
menangkarkan secara tradisional, didorong menjadi penangkar skala lebih besar
dan dikelola secara berkelompok. Pengelompokan masyarakat bertujuan agar
distribusi informasi mudah dilakukan dan mendorong kerjasama yang baik
dengan semua anggota kelompok baik laki-laki maupun perempuan.
Penangkara n dan Pemeliharaa n
Setelah penguatan kelompok dirasa cukup, mulailah mereka menangkarkan kupukupu
dengan membangun rumah penangkaran besar seluas 600 meter persegi dan
rumah penetasan seluas 12 meter persegi. Pengadaan bahan sepenuhnya dibantu
oleh IPPM. Setelah itu, masyarakat yang terbagi dalam dua kelompok dan masingmasing
beranggotakan sepuluh orang yakni Kelompok Swadaya Masyarakat
BAGIAN 6 - Salma Tadjang 67
Toakala dan Kelompok Swadaya
Masyarakat Nirwana Alam
mulai mengembangkan usaha
penangkarannya.
Setelah rumah tangkar dan rumah
penetasan siap, anggota kelompok
secara bersama-sama mengambil
pakan di hutan. “Untuk
mengidentifikasi jenis pakan tiap
spesies yang kami tangkarkan kami
belajar langsung dari alam, misalnya
dengan mengamati langsung jenisjenis
pakan itu,’’ ujar Ali Mutahar
didampingi Nismawati sambil
menunjuk tanaman, Aristolachia
sp. untuk jenis kupu-kupu Troides, Citrus sp. (tanaman jeruk) dan Rutaceae untuk
Papilio, Ficus sp. untuk Euploea sp., Annona muricata dan squoma untuk Graphium,
Cassia sp. untuk Eurema sp. serta Passiflora sp. untuk Cesthosia yang tumbuh subur
di penangkaran.
Selama proses penangkaran, kerjasama kelompok terjalin dengan baik. ‘’Mulai
dari menyiram tanaman pakan sebanyak dua kali sehari, hingga membersihkan rumah
tangkar dan rumah penetasan dari hama seperti semut dan laba-laba, dilakukan oleh
perempuan, ” ujar Masni. Sementara itu, untuk menangkap induk kupu-kupu
dari alam untuk dikembangbiakkan di penangkaran biasanya dilakukan anggota
kelompok laki-laki.
Pemeliharaan tidak berhenti sampai di situ. “Mengontrol siklus hidup setiap spesies
kupu-kupu, mulai dari bertelur dan meneliti telur yang bagus, memilahnya lalu
menyimpan di rumah penetasan dilakukan secara bersama’’, tegas Masni.
Perubahan dari kupu-kupu menjadi kupu-kupu kembali dalam ilmu biologi
disebut sebagai proses metamorfosis. Namun, kelompok penangkar cenderung
menyebutnya sebagai ‘siklus’. “Melalui penangkaran ini, saya banyak belajar dan
tahu kalau setiap spesies memiliki siklus hidup yang berbeda,’’ ujar Ali Mutahar.
Kupu-kupu jenis Troides memiliki siklus hidup relatif lebih lama (60 hari) dari
Papilio. Sementara Papillo relatif lebih cepat (48 hari).
Rumah penangkaran kupu-kupu dengan ukuran 15 x
8 x 5 meter dengan tanaman pakan.
Foto oleh Salma Tajang
68 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Menangkar kupu-kupu tergolong pekerjaan yang susah-susah gampang. Bagaimana
tidak, serangga gemulai ini sangatlah sensitif. Habitatnya mesti terjaga dalam
keadaan yang stabil. Pakan harus fresh (segar bugar) dan bersih. Untuk menjaga
kestabilan suhu dan tanaman pakan, ketersediaan air merupakan suatu hal yang
utama. Jika tidak, sulit mendapatkan hasil tangkaran yang maksimal. “Apalagi
kalau bukan musim kupu-kupu,’’ ujar Nismawati.
Musim kupu-kupu yang dimaksud adalah sebuah musim ketika kupu-kupu
memiliki banyak telur. Berdasarkan pengalaman, ia mengetahui kalau setiap
Mei-Desember kupu-kupu memiliki banyak telur. “Kalau musimnya, kami bisa
panen antara sepuluh sampai duapuluh ekor per jenis tiap harinya. Kalau bukan
musimnya, paling banyak 1-5 ekor saja” tambah Nismawati. Selama menangkar,
baru enam spesies dari sekian banyak spesies yang bisa ditangkarkan. Keenam
spesies itu antara lain Troides hypolitus, Papilio polypontes, Papilio ascalapus, Papilio
gigon, Papilio sataspes dan Papilio adamantius. Jadi dalam sebulan bisa dihasilkan
sebanyak kira-kira 1800-3600 ekor, tetapi kalau bukan musim kupu-kupu hanya
180-900 ekor saja.
Panen dan
Pengemasan
Di kala sisik kupu-kupu tumbuh
sempurna, panen pun dimulai.
Kupu-kupu dewasa ditangkap
dengan menggunakan sebuah
jala yang berasal dari bahan yang
halus. Tentu saja tidak semua
kupu-kupu ditangkap. Sebagian
kupu-kupu dijual, sebagian
lagi disimpan untuk dibiarkan
bertelur dan sebagiannya lagi
dilepas ke alam. Setelah
itu, sisanya diawetkan dengan
menyuntikkan formalin ke tubuh
kupu-kupu. Tujuannya, agar kupu-kupu tidak membusuk dan kelihatan tetap
segar. Sesudah pengawetan proses pengemasan dimulai dengan memasukkan
kupu-kupu awetan ke dalam plastik dan kotak putih yang juga diproduksi
sendiri.
Nismawati ditemani sebuah ‘pelita’ sedang
mengemas kupu-kupu hasil tangkarannya.
Foto oleh Salma Tajang
BAGIAN 6 - Salma Tadjang 69
Setelah dikemas, pedagang eceran sampai kolektor datang membeli. “Langganan
saya bukan saja pedagang eceran yang biasa menjual di Taman Wisata Bantimurung
tapi ada juga dari Jepang, Amerika dan Hongkong,’’ ungkap Nismawati.
Hasil penjualan dari penangkaran tidak tetap, tetapi rata-rata Rp15.000 sampai
Rp 20.000 bisa diperoleh. Ketika mereka ditanya berapa pendapatan tiap
bulannya, mereka hanya tersenyum pertanda keberatan menyebut angka. Tapi
dari pendapatan rata-rata yang disebutkan di atas dapat diperkirakan mereka
memperoleh pendapatan antara Rp 450.000 sampai Rp 900.000 tiap bulannya.
“Apa yang kami peroleh dari menangkar kupu-kupu tidak seberapa, tapi tak apalah
daripada tidak ada pendapatan,’’ ujar Nismawati.
Hikmah
Penangkaran kupu-kupu yang masih digeluti oleh masyarakat di sekitar kawasan
Bantimurung telah memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak
langsung. Manfaat langsungnya adalah peningkatan pendapatan masyarakat
terutama di kalangan perempuan. Selain itu, apa yang mereka lakukan bisa
menekan laju kepunahan spesies kupu-kupu. Kendatipun tidak ada angka pasti
dari laju kepunahan spesies kupu-kupu yang bisa ditekan, tetapi paling tidak
warga yang dulunya menjual kupu-kupu dengan menangkap secara langsung dari
alam kini berubah menjadi penangkar. Hasil tangkaran mereka bahkan sebagian
di lepas kembali ke alam. Manfaat lain yang tidak kalah pentingnya adalah
meningkatnya kesadaran masyarakat tentang keanekaragaman hayati baik flora
maupun fauna, masyarakat semakin sadar kalau alam bisa dimanfaatkan tanpa
harus merusaknya.
Penangkaran yang dilakukan masyarakat bukanlah sesuatu yang berjalan tanpa
kendala. Terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang pakan berbagai jenis
kupu-kupu menyebabkan terbatasnya pula kupu-kupu yang bisa ditangkarkan.
Minimnya pengetahuan dalam mengemas produk menyebabkan kupu-kupu dijual
dalam bentuk utuh (gelondongan) yang nilai ekonominya rendah. Padahal, jika
dikemas lebih baik dan menjadi souvenir indah, nilai jualnya bisa lebih tinggi.
Kendala lainnya, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Sulawesi
Selatan yang justru mempersulit mereka untuk mengurus izin penangkaran.
Ironisnya, BKSDA sendiri juga berperan dalam melatih masyarakat melakukan
penangkaran.
70 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Penangkaran merupakan salah satu upaya yang memiliki manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar Bantimurung maupun
melestarikan lingkungan. Seharusnya langkah ini lebih diperkuat antara lain
dengan memperkecil kendala dan didukung oleh semua kalangan termasuk
pemerintah. Dukungan yang diperlukan misalnya memberikan berbagai pelatihan
yang memperkenalkan berbagai jenis tanaman pakan kupu-kupu sehingga
semua spesies bisa ditangkarkan. Peningkatan keterampilan mengemas produk
sehingga mempunyai nilai ekonomi tinggi serta mempermudah proses perijinan
penangkaran.
Jika ini semua dilakukan, maka masyarakat sejahtera, lingkungan lestari dan
julukan Bantimurung sebagai The Kingdom of Butterfly bisa dipertahankan.
Ucapa n Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada masyarakat di Kecamatan Bantimurung,
Kabupaten Maros, yang menjadi inspirasi utama dari tulisan ini. Ucapan terimakasih
juga penulis sampaikan kepada, JURNAL CELEBES, Rahmad Sabang, tim Redaksi
Cagar, Udin di AMAN Sulawesi Selatan, Ali Muntahar dan Nismawati yang
banyak terlibat dalam penggalian data di lapangan. Penulis juga menyampaikan
terimakasih kepada MFP yang telah mendukung kegiatan ini.
Bahan Bacaa n
Azis, N.A. 2005. Merestorasi Istana Bantimurung. Kompas. 30 Juli.
Djuharsa, E. 1999. Informasi Kawasan Konservasi di Provinsi Sulawesi Selatan. Sub Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan. Makasar, Indonesia.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2004. SK Menteri Kehutanan No. 398/Menhut-
II/2004 tentang Penetapan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-
Bulusaraung sebagai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Departemen
Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta, Indonesia.
Hamdan, A. 2005. Kupu-kupu Bantimurung Nasibmu Kini (1): Dilema Bisnis Kupu-Kupu
Hiasan. http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=1011 (9 Sep 2005).
Makkawaru, S. 2004. Menjelajahi The Kingdom of Butterfly. Bisnis Indonesia . 4 Oktober.
Suriani. 2005. Kelangkaan Spesies Kupu-Kupu Bantimurung Perlu Perhatian Serius. http://
www.jurnalcelebes.com/view.php?id=1355 (9 Sep 2005).
Mardiana, dkk. 2003. Membangun Kerajaan Kupu-kupu: Jilid II. Tabloid CAGAR, Oktober
2003.
BAGIAN 7
Kembali ke Ladang Menggapai Asa
Effi Permata Sari
Foto oleh Hasantoha Adnan/CIFOR
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
72 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Ita, seorang perempuan Desa Baru Pelepat mengeluh tentang kondisi yang dialami
masyarakat saat ini. “Masyarakat tidak boleh mengambil kayu di hutan, setiap mobil
yang keluar membawa kayu ditangkap. Rotan dan jernang pun tidak boleh diambil. Jadi
apa yang harus kami lakukan?” Kata Ita. Ucapan itu terlontar karena sudah tidak
tahu lagi apa yang harus diperbuat. Instruksi Presiden (Inpres) RI No. 4 Tahun
2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan
dan peredarannya di seluruh wilayah negeri ini menyebabkan mata pencaharian
masyarakat hilang.
Masyarakat tidak siap dengan kondisi tersebut. Selama ini mereka
menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari
mereka mengambil kayu dari hutan untuk dijual. Tidak ada mata pencaharian
lain sebagai penopang pendapatan keluarga.
Walaupun pekerjaan mereka mengambil kayu, mereka sadar pentingnya
melindungi hutan. Untuk melindungi keanekaragaman hayati yang ada di hutan,
masyarakat Baru Pelepat sejak tahun 2001 telah membuat hutan adat. Hutan adat
ini bernama Hutan Adat Datuk Rangkayo Mulio yang berada di Bukit Siketan.
Hutan adat ini berguna sebagai cadangan bagi anak cucu mereka dan juga sebagai
daerah tangkapan air.
Ada beberapa upaya yang dilakukan masyarakat agar hutan adat ini aman
dari pencurian kayu baik dari dalam desa maupun dari luar desa. Upaya yang
dilakukan antara lain masyarakat bekerjasama dengan pemerintah desa dan
badan perwakilan desa membuat peraturan desa tentang pengelolaan hutan adat.
Untuk lebih menguatkan peraturan tersebut, maka masyarakat bekerjasama
dengan pemerintah kabupaten dan dinas kehutanan dengan membuat peraturan
daerah tentang pengelolaan hutan adat tersebut.
Tulisan ini mencoba mengangkat pengalaman perempuan Baru Pelepat yang
berusaha lepas dari himpitan ekonomi keluarga setelah diberlakukannya Inpres
No. 4 Tahun 2005. Desa ini merupakan lokasi penelitian ACM Jambi. ACM
(Adaptive Collaborative Management) adalah pendekatan yang dipakai untuk
mendorong proses multipihak dalam mengelola hutan dengan menekankan
aspek adaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Tim ACM bekerja
dengan menggunakan metode Penelitian Aksi Partisipatif (PAR).
BAGIAN 7 - Effi Permata Sari 73
Di Kaki Bukit Siketa n
Wilayah desa ini berada di kawasan hutan dan merupakan penyangga Taman
Nasional Kerinci Seblat. Dikelilingi perbukitan berhutan yang sebagian
diantaranya telah disulap menjadi kebun masyarakat. Dari kejauhan nampak
menjulang Bukit Siketan, tempat hutan adat mereka. Jarak tempuh bisa 3-8 jam
dari ibu kota kabupaten (Muara Bungo) tergantung kondisi cuaca. Jalan tanah
merah dan berbukit-bukit menjadi berlumpur di musim hujan.
Pemukiman penduduk berada di tepi Sungai Pelepat. Terdapat empat dusun, dua
dusun asli (Baru Tuo dan Pedukuh) dan dua dusun bentukan program transmigrasi
(Lubuk Beringin dan Lubuk Pekan). Kegiatan masyarakat mulai berjalan seiring
dengan tingginya matahari. Anak-anak berangkat ke sekolah, perempuan dengan
membawa ambung (keranjang rotan yang ditumpukan di kepala) dan berbekal
nasi secara berkelompok berangkat ke ladang. Laki-laki memanggul gergaji mesin
(chainsaw) berjalan menuju hutan. Mobil truk melaju melintasi desa memuat
kayu balak (kayu bulat hasil pembalakan).
Mata pencaharian utama masyarakat adalah bebalok (mengambil kayu di hutan)
dan berladang. Pembalakan kayu ini sudah lama mereka lakukan. Pemenuhan
PROVINSI
SUMATERA BARAT
PROPINSI
RIAU
PELEPAT
BILANGAN VII
JUJUHAN
RANTAU PANDAN
MUARA BUNGO
PELEPAT ILIR
TANAH SEPENGGAL
MUKO-MUKO BATIN VII
TANAH TUMBUH
KABUPATEN
TEBO
KABUPATEN
MERANGIN
KABUPATEN
KERINCI
Baru Pelepat
0 5 10 20 30 40 Kilometers
TEBO
TANJUNG
JABUNG
TIMUR
TANJUNG
JABUNG
BARAT
SAROLANGUN
MUARO
JAMBI
MERANGIN
KOTA
JAMBI
KERINCI
BUNGO BATANG
HARI
BENGKULU
SUMATERA
SELATAN
RIAU
SUMATERA
BARAT
Legenda
Ibukota Kabupaten
Desa
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, Biro Pusat Statistik
- SRTM 90M Elevation Data, NASA
Peta dikompilasi oleh Mohammad Agus Salim, GIS Unit, CIFOR 2006
74 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
kebutuhan sehari-hari seperti beras, sayur-sayuran dan buah-buahan diperoleh
dari ladang, sedangkan kebutuhan yang lain seperti berobat, pendidikan dan
kebutuhan lainnya dari pembalakan kayu. Perempuan menghabiskan waktu
bekerja di ladang sedangkan laki-laki ke hutan membalak kayu. Kayu diambil
untuk dijual ke toke atau sawmil.
Masyarakat lebih banyak mengkonsumsi sayur-sayuran yang sebagian besar
didapatkan dari ladang. Kebutuhan protein diambil dari ikan yang ada di sungai.
Mereka jarang sekali bisa mengkonsumsi telur dua kali seminggu, apalagi minum
susu. Anak bayi dan balita seringkali diberi susu kental manis karena tidak
sanggup membeli susu formula.
Tiap tahun masyarakat membuka hutan untuk ladang. Pembukaan ladang
dilakukan sehamparan dengan berkelompok. Dari penebasan belukar sampai
ladang siap tanam dilakukan bersama-sama antara laki-laki dan perempuan.
Demikian pula ketika menanam padi (dengan cara ditugal) dilakukan bersamasama.
Namun dalam pemeliharaannya seperti membersihkan rumput dilakukan
perempuan. Ladang ditanami padi dan cabai rawit serta karet. Masyarakat biasanya
membuat pondok di ladang karena jarak yang begitu jauh dari pemukiman agar
mudah merawat tanaman. Setelah panen padi dan cabai rawit, ladang lebih
banyak ditinggal. Penyebabnya sebagian besar masyarakat sudah pulang ke dusun
sehingga perempuan takut untuk menjaga ladang sendirian.
Perempuan mempunyai kegiatan sosial yang cukup tinggi. Hari Jum’at yang
merupakan hari libur adalah hari yang paling padat kegiatannya. Kegiatan
yasinan kelompok, upacara ritual keagamaan yang lain selalu dilakukan di Hari
Jum’at. Perempuan tergabung dalam kelompok yasinan pada masing-masing
dusun. Kelompok ini bertemu tiap minggunya. Kegiatan ini dilakukan bergiliran
tiap rumah setiap periode. Biasanya dimulai setelah hari raya idul fitri dan
berakhir menjelang bulan puasa. Di dalam kelompok ini, perempuan tidak hanya
berkegiatan membaca Surat Yassin (salah satu bagian dari Al Qur’an), tetapi juga
berkumpul untuk membicarakan masalah desa.
Sebelum Inpres Turu n
Sebelum tahun 1970-an masyarakat menggantungkan hidup pada kebun karet.
Banyak kebun karet yang berproduksi, padi mereka tanam di sawah menggunakan
kincir air dari Batang Pelepat. Laki-laki menyadap karet sedangkan perempuan
pergi ke sawah dan ladang. Hasil hutan yang biasa digunakan masyarakat berupa
kayu untuk bahan bangunan, rotan, madu yang sifatnya hanya untuk memenuhi
BAGIAN 7 - Effi Permata Sari 75
kebutuhan masyarakat saja tidak untuk diperjualbelikan. Selain itu juga hutan
sebagai tempat memburu hewan karena populasi hewan masih banyak.
Sejak tahun 1970-an, beberapa perusahaan kayu mulai beroperasi di sana,
diantaranya PT. Mugitriman (1975), PT. Rimba Karya Indah (RKI) (1980),
PT. Gajah Mada (1980). Masuknya HPH di tahun 1970-an tersebut dinilai
masyarakat sangat menguntungkan. Hasil pembalakan kayu lebih cepat dinikmati
dan hasilnya lebih besar daripada hasil menyadap karet, sehingga masyarakat
berlomba-lomba untuk mengambil kayu.
Perkebunan karet masyarakat menjadi terlantar. Perempuan menjadi lebih
berperan di kebun dan ladang karena laki-laki masuk ke hutan membalak
kayu. Hasil dari kebun dan ladang menjadi sedikit karena berkurangnya tenaga
untuk mengolah. Selain itu lokasi ladang yang jauh dari pemukiman membuat
perempuan takut untuk menjaganya setiap hari. Hasil kayu yang didapatkan
ternyata tidak mampu menyejahterakan, justru membuat masyarakat menjadi
konsumtif.
Masuknya program transmigrasi tahun 1997 semakin menghancurkan
perekonomian masyarakat. Kebun karet rakyat dibabat dan berubah fungsi
menjadi lahan pemukiman dan lahan usaha transmigrasi. Transmigrasi lokal
ini menggunakan dana reboisasi yang diperuntukkan bagi perambah hutan agar
tidak merambah hutan lagi, dan juga sebagai kompensasi bagi masyarakat desa
tetangga (Sei Beringin dan Rantau Keloyang) yang terkena proyek tambang
batubara. Hilangnya mata pencaharian masyarakat memberikan dampak semakin
kencangnya penebangan hutan, karena masyarakat tidak punya kebun karet yang
dapat disadap.
Setelah huta n diharamka n
Kebijakan pemerintah ini mengatur tentang pemberantasan penebangan kayu
secara ilegal di hutan dan peredarannya. Kenyataannya di lapangan, rotan dan
jernang yang dibawa keluar oleh masyarakat juga ditangkapi, dalihnya rotanrotan
tersebut berasal kawasan penyangga taman nasional. Pelarangan ekspor
rotan tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 512 Tahun 1998. Rotan
bulat yang dapat diekspor adalah rotan yang diperoleh melalui ijin, sehingga harus
ada surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Agar mereka bisa bertahan
hidup terpaksa mereka mengeluarkan secara sembunyi-sembunyi dan jumlahnya
sedikit. Albajuri, seorang sopir angkutan desa berkata, “Bila kondisi ini berlangsung
terus-menerus masyarakat akan mati. Untuk mengantarkan rotan dan jernang ke toke
76 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
(pedagang pengumpul) kami harus sembunyi-sembunyi dan dibawa sedikit-sedikit,
soalnya kalau bawa banyak dan tertangkap akan rugi besar. Jadi biarlah sedikit saja
dan kalau tertangkap, kan masih ada lagi yang lain.”
Inpres No.4 Tahun 2005 semakin mengubah kehidupan masyarakat. Ini bisa
terlihat dari berkurangnya jumlah warung penyedia kebutuhan sehari-hari,
semakin sulitnya akses masyarakat ke luar desa karena mahalnya ongkos,
meningkatnya jumlah laki-laki yang menganggur, semakin beratnya beban
perempuan, dan banyak terjadi kasus pencurian. Padahal, sebelum peraturan itu
keluar, di desa itu terdapat delapan warung (sekarang, hanya tiga yang masih
buka). Kedelapan warung tersebut mempunyai stok barang yang sangat banyak.
Perputaran uang cepat, daya beli masyarakat tinggi dan para pedagang sering ke
pasar di Muara Bungo untuk menambah barang dagangannya.
Berkurangnya jumlah toko tersebut disebabkan biaya transportasi yang cukup
besar sedangkan perputaran uang di toko lambat. Masyarakat banyak yang
berhutang di toko dan mau tidak mau pedagang harus memberikan hutang karena
sebagian besar mereka mempunyai ikatan keluarga yang cukup dekat. Untuk
mengurangi kerugian karena sukar untuk menagih hutang, maka pedagang tidak
menambah stok barang dan menghabiskan barang yang lama sambil menunggu
hutang dibayar. Bila barang terus tersedia mereka akan terus berhutang.
Pemberlakuan kebijakan pemerintah ini menyebabkan mobilisasi masyarakat ke
luar desa berkurang. Untuk berbelanja kebutuhan saja mereka harus menyiapkan
biaya transportasi yang cukup besar sekitar Rp 30.000 sampai Rp 40.000, belum
lagi uang untuk belanja. Sekarang ini dalam sehari paling-paling hanya dua hingga
lima orang yang dapat bepergian ke luar desa, padahal ada dua mobil angkutan
desa (masing-masing biasanya mengangkut 10 orang penumpang) dengan jurusan
yang berbeda, yaitu ke pasar Rantau Panjang di Kabupaten Merangin dan Pasar
Muara Bungo di ibukota Kabupaten Bungo.
Jumlah pengangguran terutama laki-laki semakin banyak, dari 171 laki-laki yang
berada pada usia produktif hanya 20% yang bekerja (ACM Jambi, 2004). Selama
ini mereka melakukan pembalakan kayu, sekarang pekerjaan yang dapat mereka
lakukan dialihkan dengan menyadap sisa-sisa kebun karet. Karet yang disadap
adalah milik orang lain yang berasal dari luar desa karena kebun karet mereka
sendiri selain terlantar juga sebagian telah berubah menjadi lokasi transmigrasi.
Hanya sebagian kecil saja yang bisa menyadap karet, karena jumlah kebun karet
yang sudah berproduksi kecil sekali dan tidak mampu menyerap tenaga kerja
yang ada. Ini menyebabkan angka pengangguran semakin besar. Terbatasnya
BAGIAN 7 - Effi Permata Sari 77
jumlah kebun yang bisa disadap, menyebabkan beberapa orang terpaksa menjadi
buruh sadap karet di desa lain.
Beberapa kejadian pencurian juga terjadi. Ironisnya barang yang dicuri adalah
beras, gula, rokok dan bahan makanan pokok yang lain. Ini menunjukkan kondisi
masyarakat sudah benar-benar kacau.
Walaupun pembalakan kayu dilarang, masih ada sebagian masyarakat yang
mengambil kayu. Kayu yang diambil dipecah menjadi papan-papan dan ketika
dibawa keluar dalam jumlah yang sedikit, dilakukan malam hari. Kayu berupa
papan dijual pada bangsal kayu (pedagang yang menjual kayu berupa papan, kayu
untuk tiang). Hasil yang didapatkan dari kegiatan ini tidak begitu besar karena
setelah dipotong biaya operasional tinggal sedikit sisa uangnya.
Kebijakan pemerintah ini membuat beban perempuan semakin bertambah.
Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari bisa mereka dapatkan dari
ladang. Biasanya untuk kebutuhan yang lain bisa diusahakan oleh laki-laki,
namun sekarang tidak bisa lagi karena penghasilan laku-laki tidak ada. Akibatnya
perempuan harus bekerja lebih berat. Karena mereka hanya bisa bekerja di bidang
pertanian dan tidak punya keterampilan yang lain, maka mereka menjadi buruh
upahan. Pekerjaan yang diupahkan seperti upah nebas, upah merumput dan upah
panen.
Sebenarnya laki-laki bisa juga bekerja di ladang, namun menurut adat kebiasaan
pekerjaan menyiangi atau membersihkan rumput di ladang orang (buruh) adalah
pekerjaan perempuan. Bila mereka melakukan pekerjaan itu di ladang sendiri
tidak masalah, namun bila dilakukan di ladang orang lain dianggap melanggar
adat, apalagi kerjanya dilakukan bersama-sama dengan perempuan. Hal ini
terungkap ketika seorang warga bernama Anas yang menyuruh istrinya agar
dirinya dapat menumpang kerja di ladang Bu Kades. Bu Kades menjawab, “Saya
tidak bisa mengupah dia, karena ini adalah pekerjaan perempuan nanti bisa kena denda
adat. Padahal saya kasihan melihat istrinya yang hamil tua. Kalau istrinya yang kerja
nanti melahirkan pula di ladang.”
Kiat perempua n Baru Pelepat menghadapi himpita n
ekonomi
Dalam kondisi ekonomi yang buruk, para perempuan melihat perlunya sumber
pendapatan pengganti. Satu-satunya yang bisa dikerjakan dan diusahakan adalah
membuat kebun karet karena mereka sudah terbiasa pada pekerjaan itu. Ladang
78 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
yang selama ini tidak dirawat
mulai dirawat kembali. Mereka
kembali ke kebun karet yang
selama ini terlantar.
Pembukaan ladang sekarang
bukan lagi untuk perluasan tanah
milik, tetapi benar-benar untuk
membuat kebun karet yang bisa
disadap. “Dahulu kami membuka
hutan untuk membuat ladang
agar mendapatkan tanah. Kami
berlomba-lomba membuka lahan
agar dapat tanah yang dekat dari
dusun tetapi sekarang sudah sukar
membuka hutan karena sudah
sangat jauh dari dusun. Kami
sekarang mulai berusaha agar kebun karet yang kami tanam dapat tumbuh baik dan
menghasilkan,” kata Bu Darnis.
Seperti telah diutarakan di atas, perempuan tergabung dalam kelompok yasinan.
Kelompok perempuan ini adalah salah satu institusi informal yang ada di desa.
Penelitian aksi partisipatif yang dilakukan tim ACM Jambi juga berfokus untuk
meningkatkan peran dan posisi perempuan dalam pengambilan keputusan
tingkat desa. Dalam suatu pertemuan kelompok perempuan tingkat desa, mereka
membicarakan tentang bagaimana kondisi ideal perempuan Desa Baru Pelepat
25 sampai 30 tahun ke depan. Salah satu teknik yang dipakai fasilitator adalah
teknik Skenario Masa Depan (Future Scenario). Dengan menggunakan teknik
ini kelompok perempuan desa menggambarkan kondisi ideal perempuan di masa
yang akan datang.
Dari gambaran yang dibuat, hal yang paling pokok adalah adanya mata pencaharian
yang mantap terutama kebun. Kuatnya organisasi kelompok perempuan juga
merupakan hal yang sangat diinginkan. Untuk mewujudkan perempuan yang
terampil, anak perempuan harus didukung untuk terus bersekolah. Hal ini
berdasarkan pengalaman masa lalu yang menunjukkan banyaknya perempuan
desa yang buta huruf dibandingkan laki-laki. Kondisi ini terjadi karena pada
jaman dulu ada larangan bagi perempuan untuk bersekolah. Perempuan tugasnya
di dapur sehingga cukup laki-laki saja yang sekolah.
Perempuan Desa Baru Pelepat menganyam kerajinan
bambu secara berkelompok. Pertemuan kelompok
mereka lakukan tiap dua minggu sekali.
Foto oleh Effi Permata Sari
BAGIAN 7 - Effi Permata Sari 79
Untuk membuat kebun karet yang bisa disadap, perempuan membuat perencanaan
bersama dalam kelompok. Hutan yang dibuka untuk membuat kebun harus
sehamparan agar mudah dalam pengendalian hama. Kebun akan dirawat intensif
dan ditunggui paling tidak tiga tahun menjelang tanaman karet besar. Satu hal
yang tidak bisa dipungkiri dan sangat disadari adalah perlunya kerjasama antara
laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan pembentukan kebun ini.
Selain bekerja di ladang membuat kebun, mereka juga mengembangkan
kerajinan anyaman bambu. Keterampilan menganyam ini sesungguhnya telah
mereka dapatkan secara turun-temurun. Hasil anyaman ini pada awalnya untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga saja seperti tikar, keranjang, tempat nasi
dan peralatan sehari-hari lainnya. Hasil kerajinan ini ternyata diminati pasar
sehingga PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) Desa Baru Pelepat
melakukan pelatihan anyaman yang bisa mengikuti selera pasar. Bahan baku
Beberapa contoh kerajinan anyaman bambu dari
Kelompok Perempuan Baru Pelepat ketika mengikuti
Pameran Pembangunan, Kabupaten Bungo.
Foto oleh Effi Permata Sari
dalam pelatihan anyaman ini adalah bambu karena bahan baku ini banyak
tersedia di sekitar desa. Dengan meningkatkan keterampilan menganyam, kini
mereka sudah bisa memproduksi anyaman yang dapat dijual.
Besarnya keinginan untuk mengembangkan perekonomian dan meningkatkan
taraf hidup ternyata tidak bisa hanya mengandalkan tenaga saja. Modal usaha
merupakan permasalahan berikutnya. Dahulu modal untuk membuka ladang
80 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
berasal dari pembalakan kayu, sedangkan sekarang tidak bisa lagi. Mendekati
pemerintah daerah untuk mendapatkan bantuan modal adalah salah satu
solusinya.
Kelompok perempuan akhirnya berkunjung ke Dinas Perindustrian Perdagangan
dan koperasi, Kabupaten Bungo. Tujuan kunjungan ini adalah memberitahukan
kepada instansi tersebut bahwa di Desa Baru Pelepat sudah ada kelompok
kerajinan anyaman. Selain itu juga mencari peluang-peluang untuk pemasaran
produk dan pengembangan usaha. Gayung pun bersambut, pada perayaan ulang
tahun Kabupaten Bungo, kelompok anyaman Desa Baru Pelepat ini diminta oleh
instansi tersebut untuk mengisi stan pameran pembangunan.
Dengan didampingi oleh fasilitator ACM, kelompok perempuan bersama-sama
mencari modal usaha. Kelompok perempuan ini membuat proposal kegiatan dan
diajukan ke Dinas Kehutanan, Kabupaten Bungo untuk program bantuan usaha
produktif yang dimiliki dinas tersebut. Kelompok perempuan ini juga difasilitasi
untuk berinteraksi dengan Dinas Perindustrian Perdagangan dan koperasi,
Kabupaten Bungo untuk pengembangan kerajinan anyaman bambu. Mereka juga
membuat proposal bantuan dana untuk modal dan pengembangan kelompok ke
instansi ini.
Kesimpula n dan Hikmah
Demikianlah cerita kaum perempuan Desa Baru Pelepat dalam upaya menciptakan
sumber penghasilan alternatif setelah keluarnya Inpres tentang penebangan ilegal
tersebut. Usaha pemerintah mengeluarkan Inpres ini pada dasarnya baik karena
bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia.
Pengambilan hasil hutan baik kayu dan bukan kayu perlu ada aturan yang jelas
sehingga pada akhirnya tidak merugikan lingkungan dan masyarakat. Sayangnya,
peraturan pemerintah semacam ini seringkali tidak sampai ke masyarakat desa,
apalagi masyarakat yang tinggal di pelosok desa. Kesan yang timbul di masyarakat
justru peraturan tersebut menyengsarakan rakyat karena minimnya alternatif
sumber pendapatan.
Cerita di atas juga memberikan beberapa hikmah yang perlu dijadikan pelajaran.
Pertama, eksploitasi hutan besar-besaran di era HPH pada tahun 1970-an dan
1980-an telah berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Selain hilangnya
hutan, dampak lanjutannya adalah terlantarnya areal persawahan dan perkebunan
karet rakyat karena masyarakat desa lebih suka mencari kayu dibanding merawat
sawah dan kebun karet. Kedua, pada saat-saat seperti ini beban perempuan
BAGIAN 7 - Effi Permata Sari 81
menjadi bertambah. Mereka harus juga turut berupaya dalam menciptakan
sumber pendapatan keluarga di samping tetap menjalankan tugas domestiknya.
Ucapa n Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada masyarakat Desa Baru Pelepat, sebagai
kontributor utama tulisan ini. Juga kepada teman-teman di tim ACM- Jambi
(Eddy Harfia Surma, Hasantoha Adnan, Marzoni, Ismaldobesto, Muriadi dan
Ngateno) yang telah banyak memberikan dukungan data dan saran. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada MFP yang telah memberikan dukungan
pendanaan untuk kegiatan ACM-Jambi.
Bahan Bacaa n
ACM Jambi. 2004. Monografi Desa Baru Pelepat. Jambi, Indonesia.
Anonim. 2005. Instruksi Presiden RI No. 4 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan
kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah RI. http://
www.dephut.go.id/INFORMASI/Inpres/4_05.htm (7 Sep 2005).
Anonim. 2005. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 512 tahun 1998.
Ketentuan pelaksanaan ekspor rotan. http://www.ditjenphka.go.id/kepmen/kkh/No.512-
Kpts-II-1998.pdf (7 Sep 2005).
Wollenberg, E.; Edmunds, D.; Buck, L. 2001. Mengantisipasi Perubahan: Skenario sebagai
sarana pengelolaan hutan secara adaptif: suatu panduan. CIFOR, Bogor, Indonesia.

BAGIAN 8
Prospek Pelibatan Perempuan
dalam Rehabilitasi Hutan
Asmanah Widiarti dan Chiharu Hiyama
Foto oleh Chiharu Hiyama
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
84 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Ibu Tika sangat senang karena tanamannya tumbuh subur. Tiap hari dia dengan
bangga memandangi pohon mahoni yang ditanamnya. Ibu Tika adalah satu
dari ratusan perempuan yang terlibat dalam program rehabilitasi hutan dengan
model PHBM (Pengolahan Hutan Bersama Masyarakat) yang diselenggarakan di
Desa Citarik, Sukabumi Jawa Barat. PHBM yang dimulai tahun 2001 disambut
antusias oleh warga setempat, khususnya di kalangan perempuan karena mereka
akan punya lahan garapan tumpang sari.
Kini, kawasan itu telah mulai rimbun. Tapi, ada yang menyedihkan dan membuat
mereka mengeluh. “Kami tak punya kegiatan lagi,” kata Ibu Tika. Keluhan lain,
“Kami tak memperoleh penghasilan lagi,” kata Ibu Tinah. Ibu Tika yang berumur
mendekati 60 tahun, bercerita dengan pelan mengisahkan, dulu “leuweung”
(artinya hutan dalam bahasa Sunda) di sini lebat bahkan kami takut masuk kawasan
hutan”. Hingga terjadilah kejadian yang tidak mungkin dilupakannya. Entah
siapa provokatornya, tahun 1998 masyarakat nekat melakukan penyerobotan
hutan, mengakibatkan hutan gundul dan tanahnya kering kritis. Udara menjadi
panas dan susah air.
Selama tiga tahun, program PHBM telah berjalan dan menjadi kegiatan yang
menyenangkan dan menghasilkan uang tambahan bagi Ibu Tika dan penduduk
miskin lainnya di kawasan itu. Pada saat menggarap lahan tumpang sari, ibu-ibu
ramai ke kebun, istilah baru untuk “leuweung”. Tiap hari puluhan pikul pisang di
angkut dari kebun. Kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama, pohon pisang
yang menjadi andalan penghasilan terserang penyakit. Tanaman padi dan palawija
tidak bisa ditanam karena pohon mahoni sudah mulai besar dan rimbun sehingga
menutupi sinar matahari. Ibu Tika juga bertanya tentang bibit. Pertanyaan ini
muncul karena Perhutani pernah berjanji memberikan bibit buah-buahan untuk
masyarakat. Namun sampai sekarang janji tersebut tidak pernah ditepati.
Sesungguhnya, sumbangan kaum perempuan desa dalam program PHBM
ini cukup besar baik pada keberhasilan tanaman rehabilitasi maupun pada
penghasilan keluarga.
Perempua n Desa tak Cuma Pintar di Dapur
Dewasa ini perempuan bukan hanya sebagai pekerja rumah tangga yang seringkali
tidak dianggap produktif. Perempuan di keluarga miskin umumnya justru berperan
produktif dalam menyumbang pendapatan keluarga dengan berbagai pekerjaan,
misalnya menjadi buruh tani upahan.
BAGIAN 8 - Asmanah Widiarti dan Chiharu Hiyama 85
Peran perempuan dalam menyumbang ekonomi keluarga tidak dapat dianggap
ringan khususnya yang bekerja pada kegiatan rehabilitasi hutan. Kegiatan
rehabilitasi hutan sering identik dengan kegiatan laki-laki karena dianggap
cukup berat. Anggapan ini membuat peran perempuan kurang diperhitungkan
dalam kegiatan rehabilitasi hutan. Padahal pada tahap pelaksanaan di lapangan
perempuan memegang peranan cukup penting.
Rehabilitasi hutan di Jawa, di lakukan oleh Perhutani dengan model PHBM.
PHBM mempunyai dua tujuan yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
keamanan hutan. Pengembangan PHBM didasari oleh kenyataan bahwa hutan
dikelilingi desa-desa dengan penduduk yang tergolong miskin.
Desa Citarik letaknya kurang lebih 5 km ke arah Pelabuhan Ratu dari kota
Sukabumi. Jika kita melewati jalan raya tidak akan menduga bahwa di belakang
jalan tersebut terdapat perkampungan kumuh. Di sinilah Desa Citarik terletak
Hasil pengamatan penulis pada pelaksanaan PHBM di Desa Citarik, Kabupaten
Sukabumi, menunjukkan bahwa porsi perempuan dalam kegiatan rehabilitasi
hutan sangat signifikan yakni sekitar 40 %. Perempuan secara spesifik terlibat
hampir pada setiap tahap pelaksanaan PHBM, mulai dari pembersihan
PROVINSI
JAWA BARAT
PROVINSI
BANTEN
CIEMAS
CISOLOK
CIKIDANG
LENGKONG
SIMPENAN
CIKAKAK
CIBADAK
CIKEMBAR
PABUARAN
JAMPANG TENGAH
PELABUHAN RATU
KABANDUNGAN
NAGRAK
BANTARGADUNG
WALURAN
WARUNG KIARA
CICURUG
PARAKAN SALAK
JAMPANG KULON
CIDAHU
KALI BUNDER
KALAPA NUNGGAL PARUNG KUDA
BOJONG GENTENG
CICANTAYAN
PURABAYA
SUKABUMI
Citarik
Pelabuhan Ratu
0 2.5 5 10 15 20 Kilometers
JAWA BARAT
BANTEN
JAWA TENGAH
DKI JAKARTA
GARUT
BOGOR
CIANJUR
CIAMIS
SUKABUMI
SUBANG
TASIKMALAYA
INDRAMAYU
BEKASI KARAWANG
KUNINGAN
Legenda
Ibukota Kabupaten
Desa
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, Biro Pusat Statistik
Peta dikompilasi oleh Mohammad Agus Salim, GIS Unit, CIFOR 2006
86 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
lahan, penanaman dan pemeliharaan tanaman, tidak terkecuali pekerjaan itu
sifatnya berat atau ringan. Beberapa perempuan bahkan mampu mengerjakan
sendiri kegiatan tersebut, baik karena statusnya sebagai kepala keluarga atau
menggantikan suaminya yang bekerja di tempat lain. Kegiatan penanaman sistem
tumpang sari yang menyertai pelaksanaan rehabilitasi hutan disambut dengan
baik masyarakat sekitar hutan.
Pada kegiatan inilah perempuan banyak mencurahkan waktunya. Mereka
melakukan gotong-royong mulai dari kegiatan penanaman, penyiangan dan
pemanenan. Sesungguhnya, sistem kerja gotong-royong sudah lama hilang
dalam kehidupan mereka karena sudah sekian lama mereka tidak memiliki
lahan. Gotong-royong disamping bermakna mempererat hubungan kekeluargaan
juga menghemat biaya dan mempercepat pekerjaan. Disamping itu sistem ini
juga memungkinkan suami bekerja di bidang usaha lain seperti berdagang atau
menjadi buruh.
Pengalaman Desa Citarik juga memperlihatkan bahwa perempuan memiliki
peran yang cukup besar dalam rehabilitasi hutan khususnya dalam dua hal penting
yaitu keberhasilan tanaman rehabilitasi dan pelestarian lingkungan.
Tingkat ekonomi keluarga masyarakat desa sekitar hutan umumnya rendah.
Penduduk biasanya berstatus sebagai buruh tani atau petani dengan lahan sempit
kurang dari seperempat hektar. Pendapatan mereka lebih kecil dari Rp 125.000
per bulan. Kesempatan kerja juga terbatas karena selain tingkat pendidikan yang
rendah, juga diperparah dengan kondisi sarana transportasi yang sulit. Di Desa
Citarik hanya ada alat transportasi ojeg motor untuk keluar masuk desa.
Adanya kegiatan rehabilitasi hutan dengan model PHBM telah menjadi sumber
mata pencaharian baru bagi mereka. Meskipun jika dihitung dengan analisis
usaha tani belumlah memberi manfaat ekonomi secara nyata, namun ada manfaat
sosial yang bisa diperoleh, seperti memberikan kesempatan kerja dan masyarakat
merasa memiliki ‘kebun’(hak menggarap).
Alokasi Waktu Perempua n dan Laki-laki
Sumbangan perempuan pada total pendapatan keluarga dari kegiatan PHBM di
Desa Citarik adalah 12,5 %. Kegiatan PHBM sendiri, dua tahun yang lalu, dapat
memberikan kontribusi sebesar 32% atau sekitar Rp 650.000, per tahun untuk
keluarga. Pendapatan ini tanpa memperhitungkan curahan tenaga keluarga.
Dari jenis kegiatan penduduk, yaitu kegiatan bereproduksi, produktif dan sosial,
BAGIAN 8 - Asmanah Widiarti dan Chiharu Hiyama 87
perempuan mengalokasikan waktu masingmasing
5 jam per hari untuk kegiatan
reproduksi dan produktif, sementara lakilaki
mengalokasikan waktu 7 jam untuk
kegiatan produktif dan kurang dari satu jam
per hari untuk kegiatan reproduksi. Dari
sini nampak bahwa perempuan mempunyai
beban yang lebih berat sehingga keadilan
gender belum terwujud. Hasil penelitian
Pujiwati (1990) dari Institut Pertanian
Bogor (IPB) menjelaskan di daerah
pedesaan Jawa semakin miskin rumah
tangga maka akan semakin tergantung
pada pendapatan perempuan.
Ketidakadilan gender juga terjadi dalam hal
upah kerja. Buruh laki-laki mendapatkan
upah lebih besar dari pada perempuan,
meskipun waktu kerjanya sama. Perbedaan
tersebut kadang dianggap wajar oleh
masyarakat dengan alasan pekerjaan
perempuan lebih ringan.
Perbedaan alokasi waktu juga terjadi pada kegiatan sosial. Kegiatan sosial
perempuan hanya bergerak sekitar pembinaan keluarga. Perempuan hampir
tidak mempunyai kesempatan mengikuti penyuluhan dan pelatihan, padahal
penting untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam bidang produktif.
Keterlibatan perempuan sebagai tenaga kerja produktif akan berkontribusi pada
ekonomi keluarga. Selanjutnya akan meningkatkan kemandirian, kemampuan
perempuan dalam mengambil keputusan dan status perempuan dalam keluarga
dan masyarakat.
Perempua n juga dihargai Keputusannya
Dalam banyak kultur, perempuan sering dijauhkan dari peran kepemimpinan
dan pengambilan keputusan, baik di tingkat rumah tangga, desa maupun tingkat
nasional (Rahayu, 2001). Demikian juga dalam budaya patriarki (budaya yang
juga dianut oleh suku Sunda), suami lebih dominan dibandingkan anggota
keluarga lainnya. Dalam kenyataannya, tidak berarti perempuan mempunyai
kedudukannya lebih rendah. Perempuan tetap mempunyai kekuatan dan
Seorang ibu sedang istirahat disela
pekerjaannya menyiangi tanaman.
Foto oleh Chiharu Hiyama
88 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
pengaruh dalam proses pengambilan keputusan keluarga. Kedudukan laki-laki
dan perempuan dalam mengambil keputusan memang berbeda demikian juga
dalam kegiatan PHBM ini. Laki-laki mempunyai peran lebih besar dibanding
perempuan, tapi keputusan tersebut diambil setelah melalui proses diskusi.
Demikian juga menurut hasil penelitian Suharjito dan Sarwoprasodjo (1996)
menemukan bahwa pada keluarga petani getah pinus dan petani hutan rakyat
mempunyai pola sama dalam pengambilan keputusan. Di Desa Citarik ditemukan
perempuan berpikiran maju yang memutuskan sendiri untuk mengikuti program
PHBM meskipun tidak mendapat persetujuan dari suaminya. Mereka menjadi
peserta yang cukup berhasil melakukan rehabilitasi hutan. Tentu saja ini menepis
anggapan bahwa perempuan lebih emosional, kadang irasional, tidak produktif,
dan tidak bisa menjadi pemimpin.
Sayangnya peran perempuan dalam mengambil keputusan di lingkungan keluarga
tidak berlaku juga dalam tataran lingkungan masyarakat. Dalam pertemuan
atau rapat-rapat desa, pengambil keputusan adalah para laki-laki. Persamaan
kedudukan laki-laki dan perempuan dalam akses dan kontrol atas sumberdaya
lahan, juga tidak diikuti dalam kegiatan-kegiatan pengembangan diri. Kegiatan
penyuluhan dan pelatihan hanya dihadiri laki-laki, sehingga kaum perempuan
tidak memperoleh tambahan pengetahuan. “Sebetulnya kami ingin hadir pada
pertemuan dan penyuluhan,” kata Ibu Tinah yang ingin membentuk kelompok
tani perempuan.
Laki-laki dan perempua n saling sepakat
Alasan perempuan bekerja pada lahan PHBM diantaranya karena terbatasnya
kesempatan bekerja di luar sektor pertanian. Sementara suami belum memberikan
penghasilan yang memadai untuk kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain suami
telah banyak mencurahkan waktunya untuk beragam kegiatan produktif, maka
dengan dia ikut membantu pekerjaan di kebun, suami bisa kerja di tempat lain.
Suami Ibu Tika misalnya, tetap bekerja sebagai pedagang ikan keliling di desa.
Perempuan tidak menganggap keikutsertaan mereka dalam kegiatan PHBM
sebagai beban berat. Mereka melaksanakannya atas kesadaran sendiri tanpa ada
paksaan dari suami dan dilakukan tanpa mengganggu tugas perempuan sebagai
ibu rumah tangga. Bagi perempuan, adanya program PHBM menciptakan
kegiatan di luar rumah yang menyenangkan karena bisa gotong- royong dan
berbagi hasil dengan tetangga. Masih menurut Pujiwati (1990) bahwa Beban
kerja bagi perempuan pedesaan seringkali tidak terlalu dipermasalahkan dan
BAGIAN 8 - Asmanah Widiarti dan Chiharu Hiyama 89
tidak dianggap beban melainkan sebagai hobi, dan didorong rasa tanggung jawab
pada keluarga.
Pembagian kerja laki-laki dan perempuan pada kegiatan PHBM dinilai masyarakat
Citarik sudah layak. Perempuan diberi tanggung jawab kegiatan produktif yang
lebih ringan karena perempuan harus mengurus rumah tangga. Demikian juga
kaum perempuan menyadari perlunya membantu kegiatan produktif agar suami
bisa kerja di tempat lain.
Pembagian kerja dalam keluarga nantinya tidak lagi mempermasalahkan status
gender, dan akan menuju kesejajaran laki-laki dan perempuan dalam berbagai
sisi kehidupan. Perubahan tersebut memang tidak bisa berjalan cepat karena ada
bagian dari budaya yang perlu dirubah. Keadilan gender hanya bisa terjadi jika
perempuan juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri, misalnya
mengikuti pelatihan-pelatihan. Semakin tinggi pengetahuan perempuan dalam
pengelolaan lahan akan dapat meningkatkan kontribusi mereka dalam program
PHBM.
Banyak Manfaat nya bagi Perempua n
Meskipun perempuan tidak banyak mempunyai peluang pelatihan dan
penyuluhan, tetapi pengetahuannya cukup baik tentang konservasi sumberdaya
alam. Tanggung jawab keberhasilan PHBM walaupun lebih banyak tertuju
pada laki-laki, namun dalam kenyataannya menjadi tanggung jawab kaum
perempuan. Demikian juga manfaat yang dirasakan adanya PHBM, bagi laki-laki
dan perempuan hampir sama ( Gambar 1).
Manfaat positif yang hanya diungkapkan laki-laki, bertambah wawasan
khususnya pengetahuan bertani dan berorganisasi. Dan yang hanya diungkapkan
perempuan;1) Senang bisa gotong-royong karena meningkatkan rasa kekeluargaan
dengan tetangga. 2) Lebih berani, karena sekarang sering ke luar rumah dan
punya kontribusi pada pendapatan keluarga. Menyadari peran perempuan cukup
banyak pada pelaksanaan PHBM dan peningkatan ekonomi keluarga maka
perlu meningkatkan pengetahuan dan mencari alternatif usaha, agar tetap bisa
berkontribusi. Perlu pengembangan pola tanam yang bernilai ekonomis agar hasil
bisa dinikmati kaum miskin secara kontinu. Dengan adanya manfaat positif bagi
laki-laki dan perempuan, maka diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan
PHBM di masa akan datang.
90 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Ingin tetap berpera n dalam pemba ngunan
Kegiatan rehabilitasi hutan tidak hanya memiliki aspek pelestarian lingkungan,
tetapi juga memberi sumbangan pada perbaikan penghasilan rumah tangga,
khususnya bagi keluarga miskin yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Namun
sayang sekali kegiatan rehabilitasi yang dikemas dalam model PHBM dalam
perencanaan belum melibatkan kaum perempuan. Hal ini mengakibatkan
kepentingan perempuan pada kegiatan tumpang sari terbatas waktunya. Setelah
empat tahun kegiatan tumpang sari tidak dapat dilanjutkan, pohon kayu–kayu
sudah tumbuh besar dan lahan stop memberikan penghasilan pada kaum
miskin.
Pola tanam tumpang sari pada kegiatan rehabilitasi hutan perlu diperluas dengan
jenis tanam yang bisa memberi sumbangan lebih banyak lagi bagi penghasilan
keluarga. Oleh karena itu PHBM mestinya dirancang sedemikian rupa agar kaum
miskin secara berkelanjutan memperoleh manfaat ekonomi. Pengembangan
PHBM mestinya sinergi dengan program pemerintah daerah dalam pengentasan
kemiskinan.
Gambar 1. Manfaat rehabilitasi hutan pada laki-laki dan perempuan (%)
BAGIAN 8 - Asmanah Widiarti dan Chiharu Hiyama 91
Pelaksanaan PHBM di
lapangan khususnya di
Kecamatan Pelabuhan Ratu,
Sukabumi saat ini masih
banyak kendala dan belum
dilaksanakan sesuai dengan
apa yang tercantum dalam
nota kesepahaman. Sehingga
masih belum berpihak pada
kepentingan kaum miskin.
Jangan pula terjadi sebaliknya
pemerintah dibantu
merehabilitasi hutan oleh
kaum miskin.
Ucapa n Terimakasih
Penulis menyampaikan terimakasih kepada masyarakat Desa Buniwangi dan
Citarik, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi yang telah menjadi
inspirasi tulisan ini. Juga kepada teman-teman Tim Latin Sukabumi, Sodara
Dayat, Adji dan Asep yang telah banyak terlibat dalam penggalian data di
lapangan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CIFOR atas dukungan
pendanaan untuk kegiatan ini.
Bahan Bacaa n
Pudjiwati.1990. Peranan Wanita dalam Perhutanan Sosial: Suatu Studi Integrasi Wanita
dalam Pembangunan Kehutanan Menuju Era Tinggal Landas. IPB, Bogor.
Rahayu, L.W.F. 2001. Gender dalam Program Pembangunan Hutan. Jurnal Hutan Rakyat,
Volume III No.1. Pustaka Hutan Rakyat, Yogyakarta.
Rahayu, Y.D.S., dan Awang, S. A. 2003. Analisa Gender dalam Pengelolaan Hutan Rakyat: Studi
Kasus di Desa Pecekelan, Kec. Sapura, Kab. Wonosobo, Jurnal Hutan Rakyat, Volume V
No. 1, Pustaka Hutan Rakyat, Yogyakarta.
Suharjito, D., dan Sarwoprasodjo, S. 1996. Organisasi Keluarga dan Status Wanita: Studi
Kasus Peranan Wanita pada Keluarga Penyadap Getah Pinus dan Keluarga Petani Hutan
Rakyat. Proyek Operasional dan Perawatan Fasilitas (OPF), LP-IPB, Bogor.
Pertumbuhan pohon mahoni di areal PHBM
Desa Citarik
Foto oleh Chiharu Hiyama

BAGIAN 9
Inspirasi dari Sebuah Madrasah
Tommy Erwinsyah
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Foto oleh Carol Colfer/CIFOR
94 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Sebuah bangunan madrasah mampu menjadi sarana dari munculnya ide-ide
perempuan desa. Banyak pikiran-pikiran baru perempuan Kota Baru Santan
muncul dengan berkumpul di madrasah tersebut. Hanya dengan obrolan-obrolan
ringan seputar kehidupan yang mereka rasakan maka inspirasi perempuan Kota
Baru Santan mengalir begitu deras.
Kota Baru Santa n: Desa
Di Tepi Huta n
Perjalanan ke Kota Baru Santan dari
Bengkulu ke Muara Aman, Lebong
pada umumnya melewati Curup, Rejang
Lebong. Namun sejak tahun 2004, akses
jalan menuju Kota Baru Santan dapat juga
dijangkau melalui Giri Mulya, Bengkulu
Utara. Dari Bengkulu lewat Curup menuju
Muara Aman memakan waktu 5 jam
perjalanan, sejauh kira-kira 78 km.
Jalan lintas dari Curup ke Muara Aman
melewati banyak tikungan yang berlikuliku
dan jurang dalam yang menganga
di bibir jalan itu. Sepanjang perjalanan
terlihat hutan yang cukup lebat, termasuk
Taman Nasional Kerinci Seblat yang
luasnya 113.512 ha, Hutan Lindung dan
Suaka Alam 24.358,24 ha yang berada di
kiri dan kanan jalan penghubung itu.
Alat transportasi umum utama dari Bengkulu menuju Muara Aman adalah
bis. “Harga tiket bis dua puluh lima ribu rupiah tiap orang,” ujar Indra Jaya tokoh
pemuda yang tinggal di Kota Baru Santan. Dari Muara Aman ke Kota Baru
Santan memakan waktu tempuh setengah jam. Angkutan desa tidak ada yang ke
sana. Satu satunya alat transportasi menuju ke desa tersebut adalah ojeg motor
dengan tarif lima ribu rupiah.
Kota Baru Santan termasuk bagian wilayah Lebong Atas, Bengkulu. Desa ini
terletak di tepi hutan lindung Bukit Resam yang melintang dari Barat ke Timur.
Luas wilayahnya 1.450 ha. Wilayah desa Kota Baru Santan merupakan dataran
tinggi dengan ketinggian 579 meter di atas permukaan laut. Terdapat tiga sungai
Sungai yang membelah wilayah desa
Foto oleh Carol Colfer/CIFOR
BAGIAN 9 - Tommy Erwinsyah 95
yang melintasi desa ini. Sungai Dingin dan Sungai Pelabi yang bermuara di
Sungai Anten. Sungai-sungai itu bermanfaat sebagai air minum, mencuci dan
mandi. Walaupun sebenarnya air yang mengalir di sungai sudah tidak layak lagi
dikonsumsi karena masyarakat juga membuang dedak (kotoran padi) dan sampah
rumah tangga di sungai tersebut.
Kota Baru Santa n dan Keturu nan Raja Majapahit
Menurut penuturan M. Ali Rahman (90 tahun) tokoh adat yang pernah menjadi
pasirah (setaraf camat) di Suku Sembilan, Kota Baru Santan merupakan pusat
budaya Suku Sembilan. Konon seorang bernama Tuan Biku Sepanjang Jiwo, salah
satu putra raja Kerajaan Majapahit menjelajahi Sungai Ketahun, Lebong untuk
pergi ke kerajaan Pagaruyung. Di tengah perjalanannya, Tuan Biku terpisah dari
rombongannya (Erwinsyah. 2006)
Tuan Biku lalu terus berjalan menyusuri sungai itu. Dalam perjalanannya, Tuan Biku
bertemu dengan masyarakat yang menetap di tepi Sungai Ketahun. Masyarakat di pinggir
sungai itu dipimpin oleh seorang yang bergelar Ajai (Raja) Bintang. Karena Tuan Biku
lebih sakti dari Ajai maka masyarakat memilih Tuan Biku sebagai pemimpin mereka.
PROVINSI
BENGKULU
PROVINSI
SUMATRA SELATAN
PROVINSI
JAMBI
KABUPATEN
BENGKULU UTARA
KABUPATEN
LEBONG
KABUPATEN
REJANG LEBONG
KODYA
BENGKULU
KABUPATEN
KEPAHIANG
Kec. Lebong Utara
Kec. Rimbo
Pengadang
Kec. Lebong
TengahKec. Lebong
Selatan
Kec. Lebong
Atas
Muara Aman
Baru Siantan
0 5 10 20 30 40
Kilometers
JAMBI
SUMATERA SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
Legenda
Ibukota Kabupaten
Desa
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, BPS
Peta dikompilasi oleh Mohammad Agus Salim, GIS Unit, CIFOR 2006
96 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Pada masa kepemimpinannya, Sang Biku membuat aturan hukum yang akhirnya
tertuang dalam Undang-undang Suku Sembilan. Undang-undang itu bertujuan
agar masyarakat hidup rukun, aman, dan damai tanpa perselisihan. Undangundang
itu tidak saja mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat,
tapi juga mengatur puak (hubungan manusia dengan alam). Undang-undang
itu menjadikan masyarakat arif dalam menjaga dan memanfaatkan taneak imbo
(hutan rimba) yang mengelilingi wilayah Suku Sembilan. “Ia warisan nenek
moyang kami (taneak tanai utan piadan nenek moyang keme),” tutur M. Ali Rahman
(90 tahun) salah satu tokoh adat Suku Sembilan mengenang nasehat kakeknya.
Sambil menghirup kopi yang ditanamnya sendiri, kakek yang selalu berlogat
Rejang ini menjelaskan, Suku Sembilan hanya boleh mengelola ladang di
tanah dan hutan marga. Meskipun tanah dan hutan marga berfungsi sebagai
wilayah hutan, keduanya memiliki perbedaan. Tanah marga sebagai wilayah
yang pengelolaannya dilakukan penduduk yang bermukim paling dekat jaraknya
dengan tanah itu. Penduduk lain tidak boleh mengelolanya. Kepemilikan wilayah
itu bersifat perorangan.
Lain halnya dengan hutan marga. Semua penduduk dalam masyarakat Suku
Sembilan boleh mengelolanya. “Jadi, hak kepemilikan hutan marga bersifat
komunal,” jelas tokoh Suku Sembilan yang bergelar pasirah (camat) ini. Wilayah
tanah marga berada di Bukit Resam, sedangkan hutan marga berada di Ketenong,
Muara Ketayu dan Tambang Sawah.
Kota Baru Santan sendiri memiliki luas 1.300 ha yang terletak di Bukit Resam,
di jajaran Bukit Barisan. Dengan ketinggian 579 meter di atas permukaan laut
tanaman kopi tumbuh subur di sana. Di sini terdapat 800 ha ladang kopi. Kopi
yang ditanam di Kota Baru Santan ini berjenis robusta (Coffea robusta). Menurut
Center Policy for Agro Studies (CPAS) dalam situsnya (www.cpas.or.id) tanaman
kopi dapat tumbuh pada suhu bertemperatur 210 hingga 240 Celsius dengan
ketinggian 400 hingga 700 m. Tanaman kopi ini menjadi salah satu tanaman
andalan Kota Baru Santan.
Selain kopi, tanaman yang diusahakan oleh masyarakat Kota Baru Santan adalah
padi dengan luas 300 ha. Tiga sungai yang melewati Kota Baru Santan menyediakan
air yang cukup baik untuk sawah mereka. “Selain kopi, masyarakat bertani sawah,”
sambung kakek yang memiliki cucu 15 orang itu. Sawah berada di lahan yang
berjarak kira-kira 100 m di belakang pemukiman penduduk. Laki-laki lebih banyak
bekerja di ladang kopi sedang perempuan di sawah. Dulu, sang Biku menarik pajak
0,7 % hasil kopi dan 0,1 % hasil padi. Pajak itu masuk ke kas Suku Sembilan. Pajak
BAGIAN 9 - Tommy Erwinsyah 97
berguna untuk membangun berbagai fasilitas Suku Sembilan seperti jalan, balai
pertemuan dan kebun bersama. “Dengan begitu, Suku Sembilan menikmati kehidupan
tanpa kurang suatu apa,” ujar Zainal Abidin mantan Gindei (kepala desa) yang 14
tahun lalu pensiun memimpin Kota Baru Santan.
Berguru pada Alam
Alam dijadikan guru oleh masyarakat Kota Baru Santan. Hubungan dengan
alam memberikan pengaruh terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Kearifan
dalam mengelola alam menjamin kelangsungan hidup anggota masyarakat.
Kearifan yang diwariskan dari generasi ke generasi tersebut dijelaskan dalam
bentuk-bentuk larangan, pantangan dan tabu-tabu. Misalnya, mereka dilarang
membunuh bermacam binatang seperti, rusa, harimau dan elang. “Binatangbinatang
itu merupakan penunggu hutan. Apabila dibunuh akan mengakibatkan
malapetaka,” jelas Indra Jaya.
Selain terdapat larangan membunuh binatang, mereka juga tidak boleh menebang
pohon sembarangan. Pohon-pohon besar yang tumbuh berfungsi sebagai sumber
air. Apabila menebang pohon itu maka mereka wajib mengganti dengan jenis
pohon yang sama. “Pohon itu sumber kehidupan, bukan saja kita yang memanfaatkan
pohon itu tapi mahluk lain juga,” ungkap Indra Jaya.
Sebagian besar masyarakat yang hidup dari bertani, tidak boleh bekerja saat hujan
sementara cuaca panas. Menurut kepercayaan Suku Sembilan, kondisi seperti itu
merupakan pertanda buruk seperti terjadinya kecelakaan misalnya terluka atau
terjatuh. Di samping itu, tidak boleh memasuki hutan saat hujan panas tersebut
karena pada saat itu dipercaya raja hutan (harimau) sedang berkeliaran atau
sedang keluar dari kerajaannya.
Perempua n dan Sawah
Hampir 95 % perempuan Kota Baru Santan menggarap sawah. Sawah di Kota
Baru Santan terdiri dari 200 ha sawah air idup yang sepanjang tahun mendapatkan
air dengan pematang-pematang yang tertata apik. Selain itu terdapat kira-kira
100 ha sawah bentar langit yang hanya mengandalkan air hujan. Masyarakat Kota
Baru Santan tidak lagi menanam padi lokal yang panen setahun sekali. Sejak
1984, mereka menanam padi bibit unggul. Masa panennya, tiga sampai empat
bulan. Sekali panen hampir setengah ton beras dihasilkan dari lahan setengah
ha. Harian Kompas edisi 13 Juli 2003 menyebutkan, Lebong memperoleh
pendapatan asli daerahnya (PAD) dari retribusi padi sebesar Rp 60 juta per tahun.
98 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Sedangkan kopi dan nilam
dari retribusinya hanya Rp 10
juta saja per tahunnya. Selain
petani penggarap sawah,
kelompok arisan turut serta
dalam menggarap sawah.
Kelompok ini terbentuk melalui
pengajian rutin setiap Jum’at
sore. Di samping pengajian
rutin, mereka pun ikut
bergotong-royong menggarap
sawah. Keikutsertaan mereka
dalam bergotong-royong atas
permintaan petani pemilik
sawah. Mereka membantu
menyemai bibit, menanam
benih, memupuk, dan
memanen. “Dengan pekerjaan ini kita mendapat sepertiga bagian dari hasil panen.
Bagian itu masuk ke kas arisan,” ungkap Nis, salah satu anggota arisan yang
memiliki satu putra.
Benca na Mela nda
Departemen Kehutanan menetapkan status hutan lindung Bukit Resam pada
tahun 1982. Penetapan ini membuat masyarakat Kota Baru Santan marah.
Mereka mengakui tanah marga Bukit Resam sebagai tempat berladang, bukan
sebagai hutan lindung. Walaupun Departemen Kehutanan melarang memasuki
hutan lindung ini, namun sekitar 350 laki-laki peladang kopi tetap saja pergi ke
sana. Sembunyi-sembunyi tapi pasti, mereka masuk ke wilayah lindung tersebut.
“Ini terkait dengan tanggung jawab sebagai suami. Ini pilihan terbaik agar anak dan
istri bahagia,” ujar Nasrun bapak empat anak yang sehari-harinya menggarap 2 ha
ladang kopi. Pilihan itu beresiko tinggi. Departemen Kehutanan bisa langsung
memvonisnya sebagai “perambah hutan”.
Hutan lindung Bukit Resam tetap menjadi ladang kopi para petani. Pada 1997
harga kopi membumbung tinggi. Harga jual kopi berkisar antara 18.000 rupiah
sampai Rp. 20.000 rupiah tiap kilogramnya. Toke (bandar pengumpul) lokal
ambil bagian sebagai penampung hasil panen kopi yang berharga itu. Saat itu
Bukit Resam seperti pasar yang ramai dikunjungi para pembeli dan pedagang.
Perempuan desa pulang dari menggarap sawah
Foto oleh Carol Colfer/CIFOR
BAGIAN 9 - Tommy Erwinsyah 99
Naiknya harga kopi menyebabkan
mereka lupa akan nilai-nilai luhur dalam
menjaga hutannya. Ladang kopi mereka
diperluas dari hanya 1,5 hingga 2,5 ha.
Ini dilakukan mengingat 18 juta rupiah
untuk tiap tonnya dapat mereka peroleh
dari hasil penjualan kopi. Para peladang
kopi berduyun-duyun bekerja di ladangladang
kopi. Tak ketinggalan turut serta
para istri. Bahkan anak-anak mereka yang
baru pulang dari sekolah langsung pergi ke
ladang, ikut membantu orang tuanya.
Keadaan ini tidak berlangsung lama. Pada
tahun 1999 harga kopi anjlok ke level
terendah pada kisaran 2.000 rupiah hingga
3.000 rupiah tiap kilonya. Harian Kompas
edisi 18 Agustus 1999 menyebutkan,
petani kopi di Indonesia mulai menjerit
ketika harga kopi hanya 2.500 rupiah tiap
kilonya. Harian Sinar Harapan edisi 17 Juli
2003 menyebutkan, naik turunnya harga
kopi dunia ditentukan oleh bursa kopi di London dan Inggris. Tak terkecuali
harga kopi di Indonesia. Di Lebong, untuk 1 ha ladang kopi menghasilkan 500
kilogram biji kopi. Walaupun kondisinya begitu, tetap saja masyarakat Kota
Baru Santan mempertahankan ladang kopi mereka. Dalam kebuntuan hidup itu,
nilam (Pogostemon cablin Benth) menjadi dewa penyelamat pendapatan mereka.
Nilam bersaing ketat dengan kopi. “Usia 9 bulan, siap panen,” ujar Hanafi yang
sehari-hari ke Bukit Resam bekerja di ladang. Harga jual nilam yang cukup stabil
di kisaran 225.000 rupiah tiap liternya semakin membuat petani kopi jatuh hati
pada komoditas baru ini.
Tetapi Nilam bukan tidak membawa masalah. Nilam yang berharga itu membuat
tanaman kayu di Bukit Resam habis. Tanah longsor pun seringkali terjadi. “Nilam
sangat rakus, ia tidak mau berdampingan dengan tanaman lain. Jadi nilam saja yang
tumbuh, lainnya dibabat habis,” ungkap M. Yuzir Hoesein kepala desa Kota Baru
Santan yang menjabat hampir 3 tahun itu.
Minyak nilam (Patchouli Oil) ini merupakan bahan minyak astiri. Harian Warta
Andalas edisi 18 Agustus 1999 menyebutkan, minyak astiri ini berfungsi sebagai
Perempuan desa menjemur Daun Nilam
Foto oleh Carol Colfer/CIFOR
100 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
bahan utama pembuat kosmetik, sabun, parfum, dan pengharum ruangan. Hampir
90 % minyak astiri di dunia dihasilkan dari Indonesia. Di Indonesia, minyak
astiri ini dihasilkan dari empat provinsi, salah satunya Bengkulu.
Untuk mendapatkan minyak nilam dilakukan penyulingan. Satu kali penyulingan
menghasilkan 0,75 hingga 1 liter minyak nilam. Namun satu kali suling,
membutuhkan satu meter kubik kayu bakar. Di desa ini, awalnya kayu bakar
diperoleh dari pohon kopi yang sudah mati. “Kini, kayu kopi susah. Jadi kami ambil
kayu hutan,” ujar Hanafi, petani nilam yang tubuhnya legam terbakar matahari.
Karena kayu di Bukit Resam yang mulai berkurang menyebabkan sering terjadi
longsor. Tanah yang menjadi lumpur akibat longsor seringkali menghimpit
padi. “Ini mengganggu tanaman padi kami”, ujar Rohana sambil menunjuk ke
Bukit Resam yang menjulang tinggi. Namun demikian, perempuan desa tetap
menggarap sawah.
Perempua n Merapatka n
Barisan
Berawal pada tahun 2004, setelah
dibangunnya madrasah secara swadaya
oleh masyarakat Kota Baru Santan,
perempuan Kota Baru Santan mulai
menjadikan tempat tersebut untuk
berkumpul. Bangunan semi permanen
itu menjadi tempat diskusi mereka di
sore hari. Obrolan-obrolan sore rutin
digelar. Diskusi ini membicarakan seputar
masalah perempuan seperti, kesehatan,
pendidikan dan pengajian. Diskusi ini
berkembang seiring dirasakannya manfaat dari berkumpul itu. Banyak hal yang
mereka peroleh. “Paling tidak kami bisa saling berbagi diantara kami,” imbuh Anizar
(37) yang menjadi tokoh utama dari berkumpulnya perempuan Kota Baru Santan
di bangunan madrasah itu.
Madrasah yang berukuran 15x20 m, hanya satu meter berdinding bata yang dibalut
dengan semen, selebihnya menggunakan kayu papan. Bangunan ini memiliki
dua ruang. Satu ruang belajar dan satu lagi ruang yang ditempati oleh keluarga
Anizar. Semula, madrasah itu berfungsi sebagai media belajar anak-anak usia
sekolah dasar. “Di sini mereka belajar mengaji,” lanjut Anizar yang juga menjadi
guru sekaligus penanggung jawab kegiatan belajar mengajar di madrasah itu.
Kerja bersama memetik Daun Nilam
Foto oleh Carol Colfer/CIFOR
BAGIAN 9 - Tommy Erwinsyah 101
Biasanya pada pukul 15.00 WIB, sebanyak 20 anak laki-laki dan perempuan
dari semua penjuru Kota Baru Santan berbondong-bondong menuju madrasah.
Madrasah yang letaknya di tengah-tengah desa yang di bawahnya mengalir air
Sungai Pelabi menjadi tempat berkumpulnya generasi penerus Kota Baru Santan.
Pukul 17.00 WIB, aktivitas di madrasah itu biasanya kembali sepi. Anak laki-laki
dan perempuan yang berkumpul di sana mulai keluar dari ruang belajar karena
waktu belajar sudah habis.
Seperti disebutkan di atas, madrasah itu menjadi pusat kegiatan perempuan di
Kota Baru Santan. Dengan mulai aktifnya perempuan berkumpul di hari Minggu
sore, Anizar yang selalu menggunakan jilbab itu berpikir. “Kira-kira apa yang
harus dilakukan agar perempuan Kota Baru Santan tidak saja berkumpul. Tapi juga
melakukan hal yang bermanfaat bagi mereka,” tutur Anizar sambil memperlihatkan
senyumannya kepada staf lapangan Yayasan Kelopak. Selanjutnya, Anizar
mengajak Yayasan Kelopak turut serta berkumpul di madrasah itu. Dari rumah
Datuk, tempat tinggal staf Yayasan Kelopak yang selama ini menetap di Kota
Baru Santan, tidak sampai lima menit kami sudah sampai ke madrasah itu.
Diskusipun dimulai. Karena staf lapangan Kelopak semuanya laki-laki maka,
diskusi di madrasah itu agak sedikit tersendat.
Diskusi rutin tetap berjalan setiap Minggu sore. Staf Kelopak hanya memandu
proses dan menyemangati mereka. Pada akhirnya, mereka menemukan beberapa
ide untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang dapat mengisi waktu luang
mereka. “Bagaimana kalau kita mengembangkan kerajinan bambu. Kan bambu banyak
di pinggir sungai. Kita bisa memanfaatkannya”, ujar Rohana yang berkeinginan
agar perempuan mengembangkan kerajinan bambu. “Betul kata Rohana. Kita
bisa membuat bronang (keranjang),” ujar Cik Ana menimpali. Dengan potensi
bambu yang banyak tumbuh daerah ini bukan tidak mungkin ide yang muncul
dari diskusi-diskusi Perempuan Kota Baru Santan ini dapat terwujud. Tanaman
bambu memang belum begitu dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Baru Santan.
Tanaman ini hanya dimanfaatkan sebagai bahan pembuat pagar rumah. Potensi
alam ini terdapat di hampir sepanjang sungai yang melintasi Kota Baru Santan.
Karena belum dimanfaatkan, potensi ini belum dapat membantu memberikan
arti bagi kehidupan masyarakat Kota Baru Santan. Pemanfaatan bambu yang
banyak tumbuh di pinggir sungai harus benar-benar mempertimbangkan aspek
lingkungan karena selama ini rumpun bambu tersebut berfungsi sebagai penahan
erosi. Pemanfaatan yang berlebihan tentu akan menimbulkan ancaman baru,
erosi dan banjir.
102 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Selain ide untuk mengembangkan bambu, perempuan Kota Baru Santan juga
berniat untuk mengembangkan perpustakaan di madrasah. “Perpustakaan menjadi
salah satu sarana pengayaan pengetahuan,” ujar Anizar bersemangat menggebugebu.
Ruang belajar madrasah ini kan masih luas, jadi bisa digunakan sebagai
perpustakaan desa.
“Walau sederhana, tapi manfaatnya luar biasa,” lanjutnya. Di samping dapat
dimanfaatkan oleh perempuan Kota Baru Santan, perpustakaan juga dapat
dimanfaatkan oleh kaum laki-laki. Jadi bukan hanya perempuan saja yang
mendapat tambahan pengetahuan tapi laki-laki bahkan anak-anak juga harus
memanfaatkannya. Ternyata, sebuah madrasah yang hanya berdinding papan dan
memiliki ruangan yang sedikit, dapat dimanfaatkan oleh masyarakatnya sebagai
tempat mereka berkumpul. Keterbatasan yang kita miliki bukanlah menjadi
penghalang yang berarti. Tinggal apakah kita mau berbuat atau tidak ‚“Itu juga
jadi pilihan“ sambung ibu guru madrasah itu.
Pelajara n yang Dipetik
Madrasah bagi masyarakat Kota Baru Santan, tidak hanya sebagai tempat belajar
mengaji anak-anak mereka. Akan tetapi juga sebagai sarana masyarakat khususnya
perempuan untuk juga belajar. Meski tidak ada guru dalam proses belajar ini,
pengalamanlah yang ternyata menjadi guru terbaik. Ide-ide untuk menghadapi
sulitnya hidup bermunculan di sini seiring rutinnya mereka berkumpul di tempat
itu.
Keragaman hayati yang dalam hal ini adalah keragaman hasil kebun ternyata
dirasakan manfaatnya ketika harga pasar terus mengalami fluktuasi. Kesadaran
akan pentingnya keragaman tersebut muncul dari pengalaman masyarakat sendiri.
Pelajaran lainnya yang bisa dipetik adalah bahwa kelompok-kelompok yang
sudah terbentuk dengan sukarela seperti kelompok perempuan di madrasah ini
bisa dijadikan wadah belajar. Sehingga jika ada program pendampingan baik dari
pemerintah maupun dari LSM ke depannya, alangkah layak untuk mulai dari
kelompok semacam ini.
Ucapa n Terimakasih
Terimakasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada masyarakat Desa Kota
Baru Santan yang telah menerima saya dan Yayasan Kelopak untuk melakukan
kegiatan di desa. Terimakasih juga kami haturkan untuk Kak Indra dan keluarga
BAGIAN 9 - Tommy Erwinsyah 103
yang telah membantu kami dalam melakukan berbagai aktivitas di Desa
Kota Baru Santan. Kepada Datuk dan Nenek kami haturkan terimakasih dan
penghargaan yang tinggi atas diperkenankannya kami tinggal di rumah beliau.
Kepada Kepala Desa beserta perangkatnya tak lupa kami sampaikan penghargaan
dan terimakasih telah banyak membantu kami. Kepada ibu-ibu dan remaja putri
Desa Kota Baru Santan kami juga mengucapkan banyak terimakasih. Kepada
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), terimakasih telah memfasilitasi
kami, sehingga kegiatan pemetaan partisipatif di Desa Kota Baru Santan dapat
kami lakukan.
Bahan Bacaa n
Dadang, J. 1999. Jeritan Petani Kopi. Kompas.18 Agustus.
Erwinsyah, T. 2006. Perjuangan menuntut hak. Dalam Yuliani, E.L., Tadjudin, DJ., Indriatmoko,
Y., Munggoro, D.W., Gaban, F., Maulana, F. (editor). Kehutanan Multipihak: Langkah
Menuju Perubahan. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Irawan, G. 2003. Kopi Jadi Andalan Ekspor. Sinar Harapan, 17 Agustus.
Juliany. 2004. Otonomi Kabupaten Lebong. Kompas, 13 Juli.
Yayasan Kelopak. 2003. Laporan Kegiatan Pendampingan Suku Sembilan Kabupaten
Lebong. Yayasan Kelopak, Bengkulu, Indonesia.

BAGIAN 10
Dilema Kampung Muluy di Kaki Gunung Lumut
Amin Jafar
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Foto oleh Carol Colfer/CIFOR
106 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Muluy adalah kampung di kaki Gunung Lumut Provinsi Kalimantan Timur yang
masyarakatnya mencoba bertahan dengan kearifan lokalnya demi kelestarian
hutan, namun tetap miskin. Bagi masyarakat Muluy yang berjumlah sekitar
lima belas keluarga, hutan sama dengan dompet uang. Dari hutan, mereka
bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, meskipun
tidak selalu dapat mencukupi. Buah-buahan, madu, rotan dan binatang buruan
merupakan hasil alam yang bisa dijadikan uang tanpa harus menebang pohon.
Selain itu, hutan Muluy juga menyediakan tumbuhan obat, bahan anyaman,
sayur-sayuran hingga tumbuhan perlengkapan upacara adat. Yang lebih penting,
hutan menyediakan lahan untuk berladang.
Tahun 1999, masyarakat Muluy masih mendiami permukiman di tepi Sungai
Muluy, yaitu sebuah sungai yang mengalir dari sela kaki Gunung Lumut. Airnya
yang jernih dengan dasar sungai yang berpasir dan berkerikil, ternyata banyak
menyimpan butiran emas yang ditambang masyarakat Muluy secara tradisional
pada waktu-waktu tertentu dengan cara tertentu pula.
Kini masyarakat Muluy mendiami lima puluh buah rumah kayu beratap seng
berukuran 5 x 7 meter, terletak di sebuah bekas tempat penumpukan kayu di
sisi jalan HPH (Hak Pengelolaan Hutan) milik PT. Telaga Mas. Pemukiman itu
dibangun oleh Dinas Sosial Kabupaten Pasir tahun 2000.
Di selatan kampung nampak puncak Gunung Lumut yang hijau oleh tutupan
hutan dan lumut yang senantiasa basah. Dengan ketinggian 1.888 meter dari
permukaan laut, Gunung Lumut nampak perkasa. Seakan tugu raksasa yang
membatasi langsung tiga kecamatan yaitu kecamatan Muara Komam, kecamatan
Long Ikis dan kecamatan Long Kali, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.
Secara administratif, kampung yang dihuni Suku Dayak Paser ini berada dalam
wilayah pemerintahan Desa Swanslutung kecamatan Muara Komam. Berada
sekitar 120 kilometer dari Tanah Grogot, ibukota Kabupaten Pasir atau sekitar
250 kilometer dari Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah
yang diakui masyarakat Muluy sebagai wilayah adat seluas 14.000 hektar itu
cukup untuk membuat 150 buah lapangan golf bertaraf internasional. Sebagian
wilayah adat mereka berada dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut yang
memilki luas tiga kali lipat dari Kampung Muluy.
Untuk mencapai Muluy dapat ditempuh selama satu setengah jam dengan
kendaraan roda dua atau roda empat, menyusuri jalan perusahaan HPH PT.
Telaga Mas sepanjang 60 kilometer dari simpang Desa Lembok Kecamatan
BAGIAN 10 - Amin Jafar 107
Longikis. Awalnya akan melalui hamparan kebun kelapa sawit sepanjang
delapan kilometer. Lalu hamparan bekas ladang bercampur belukar sepanjang
kurang lebih lima kilometer. Selebihnya hanya terlihat hutan lebat, tempat para
penyenso (penebang pohon) biasa beraksi.
Sikap yang Unik
Masyarakat Muluy sangat menyadari ketergantungannya terhadap hasil hutan.
Ini menjadi alasan utama masyarakat Muluy bersikap tegas terhadap kelestarian
hutan. “Kami tidak punya gaji seperti orang perusahaan. Kalau kami tidak masuk
hutan, kami tidak dapat uang untuk belanja,” ungkap Jidan (37), tokoh pemuda
yang diharapkan kelak bisa menggantikan kepala adat.
Orang yang tidak paham, akan menggolongkan masyarakat Muluy sebagai
kelompok terbelakang. Pasalnya, dari 75 jiwa hanya ada satu orang saja yang
pernah sekolah sampai tamat sekolah dasar. Tapi kalau ditanya hutan untuk
siapa, mereka akan menjawab, “Nté péya lai sori” (untuk anak cucu). Dan itu
bukan cuma kata-kata di ujung bibir. Buktinya mereka tegas menolak kehadiran
tim survei perusahaan kayu dan tambang yang beberapa kali masuk ke wilayah itu
PROVINSI
KALIMANTAN TIMUR
PROVINSI
KALIMANTAN SELATAN
PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH
LONG KALI
TANJUNG ARU
BATU SOPANG
LONG IKIS
KUARO
MUARA KOMAN
TANAH GROGOT
PASIR BALENGKONG
PASIR
PENAJAM PASER UTARA
KUTAI BARAT
BALIKPAPAN
KUTAI
Tanah Grogot
Kampung Muluy
0 5 10 20 30 40 Kilometers
KUTAI
PASIR
PENAJAM
PASER
UTARA
BONTANG
KUTAI
BARAT
KUTAI
TIMUR
MALINAU BERAU
KALIMANTAN
TIMUR
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
BARAT
Legenda
Ibukota Kabupaten
Desa
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, Biro Pusat Statistik
Peta dikompilasi oleh Mohammad Agus Salim, GIS Unit, CIFOR 2006
108 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
sejak tahun 1990 sampai 2000.
Mereka pikir, alih-alih untuk
perusahaan, mereka sendiri
tidak pernah menebang pohon
melebihi kebutuhan membuat
rumah dan ladang.
Alasan penolakan mereka juga
didasari pengalaman buruk
masa lalu yang dampaknya
terasa saat ini. Mereka
kehilangan kebun rotan karena
digusur oleh PT Telaga Mas
yang membangun HTI (Hutan
Tanaman Industri) tahun
1980-an. Akibatnya mereka
tidak bisa lagi mengambil rotan untuk dijual. “Kalaupun ada hanya cukup untuk
membuat kerajinan bakul dan gelang,” kata Rukiyah (25) adik Jidan yang terampil
membuat anyaman dan gelang rotan.
Pengalaman dari tempat lain juga menjadi pelajaran Masyarakat Muluy. Mereka
sering melewati Desa Pait yang tak berhutan lagi karena wilayahnya nyaris habis
untuk tanaman kelapa sawit. Jangankan untuk mencari bahan bangunan, untuk
kayu bakar saja susah.
Hal di atas menunjukkan bahwa meskipun mempunyai pendidikan formal
yang rendah, tetapi Masyarakat Muluy mampu berpikir arif berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya alam mereka, dalam hal ini hutan.
Dibanding dengan desa-desa lain yang berbatasan, sikap masyarakat Muluy
tergolong langka. Saat desa lain berlomba-lomba mengajukan IPPK (Ijin
Pengolahan dan Pemanfaatan Kayu) tahun 2001. Masyarakat Muluy justru
menetapkan status siaga satu, kalau-kalau ada tim survei yang mencoba
nyelonong ke wilayahnya. Demikian juga ketika masyarakat desa lain beramairamai
memanggul chain saw (gergaji mesin), membuat blambangan (balok kayu),
masyarakat Muluy tetap setia dengan ladangnya. Sebagian lagi malahan asyik
dengan seppong (alat peniru suara burung) Murainya.
Gunung Lumut menjulang tinggi di atas
Kampung Muluy
Foto oleh: Carol Colfer/CIFOR
BAGIAN 10 - Amin Jafar 109
Langkah yang Sudah Diayun
Masyarakat Muluy punya kesadaran tinggi tentang pentingnya hutan. Kesadaran
itu didukung sikap kukuh memegang kesepakatan bersama. Sehingga menjadikan
masyarakat Muluy tak ubahnya banteng jinak yang ganas. Lembut tapi garang
jika sedang marah. Tak ada yang berani membuka ladang dengan luas yang
berlebihan apalagi menebang pohon tanpa ijin kepala adat.
Sikap tegas dan konsisten, setidaknya sampai saat ini, yang melekat di setiap warga
masyarakat Muluy, sedikit banyak dipengaruhi oleh teman-teman dari Yayasan
PADI yang telah mendampingi masyarakat Muluy sejak tahun 1995. Demikian
pula lembaga-lembaga lain atau perorangan yang datang sesudahnya. Selain
menambah pengetahuan kepada masyarakat Muluy, mereka juga membantu
mengkampanyekan pentingnya kelestarian Hutan Lindung Gunung Lumut bagi
kehidupan, termasuk masyarakat luar.
Pemahaman dan pengertian yang ditularkan para pendamping masyarakat
tentang manfaat hutan lindung bagi masyarakat Muluy dan masyarakat yang
berada di hilir Sungai Telake dan Sungai Kendilo, semakin mengukuhkan sikap
masyarakat Muluy yang memang sudah punya kearifan sejak jaman Dato Nalau
(nenek moyang).
Langkah pertama yang diayunkan adalah melibatkan masyarakat Muluy dalam
setiap pertemuan, seminar, lokakarya dan studi banding yang berkaitan dengan
lingkungan dan kelestarian alam dan hutan. Baik skala lokal maupun nasional.
“Itung-itung membuka pikiran. Kita bisa banyak belajar dari orang lain,” kata Jidan
yang selalu menjadi wakil Muluy di setiap kegiatan tersebut.
Kegiatan pertama yang dilakukan bersama adalah Pemuliaan Benih Lokal. Suatu
kegiatan yang dilatarbelakangi kelangkaan benih padi lokal akibat kemarau
panjang tahun 1982. Kegiatan ini bertujuan agar benih padi unggul lokal tidak
punah. Di sini peran perempuan dominan sekali. Karena perempuan lebih banyak
bekerja mengumpul, menyimpan dan memanfaatkan benih tersebut. Program
ini dilaksanakan tahun 1995, didampingi Yayasan Padi dan didukung Yayasan
KEHATI (Yayasan Padi dan KEHATI, 1999).
Kegiatan selanjutnya adalah Pemetaan Kampung. Suatu upaya untuk
mengidentifikasi (menemukan dan mengenali) luas wilayah dan potensi
sumberdaya alam dan hutan. Kegiatan ini semakin menyadarkan masyarakat
Muluy bahwa mereka punya kekayaan alam dan hutan yang pantas dijaga.
Kegiatan ini dilaksanakan tahun 1999 dalam Program Pefor (People, Forest and
110 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Reef) yang didampingi Yayasan PADI atas dukungan BSP Kemala, Jakarta dan
Yayasan Pancur Kasih, Pontianak.
Kegiatan lainnya adalah pembibitan dan penanaman buah-buahan lokal. Suatu
upaya pengayaan lahan dan hutan dengan cara membuat pembibitan dan
membagikan bibit yang dihasilkan kepada warga yang bersedia menanamnya
di lahan masing-masing. Kegiatan ini dilaksanakan tahun 2000 atas bantuan
Perkumpulan PADI dan Yayasan PKM (Pemulihan Keberdayaan Masyarakat)
Jakarta.
Penanaman bibit rotan di lahan seluas 50 ha, melibatkan lima puluh orang warga
Muluy dari segala umur dan jenis kelamin. Kegiatan ini bertujuan menggantikan
kebun rotan yang pernah hilang sekaligus menjadikannya sebagai tabungan.
Kegiatan ini dibantu oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir tahun 2004-2005.
Perempua n Tak Cuma Berpa ngku Tangan
Hutan Muluy Gunung Lumut ibarat gudang harta karun yang harus dijaga. Tidak
hanya laki-laki saja yang ngotot mempertahankan kelestarian hutan Muluy. Tapi
para perempuan juga sama kerasnya. Rukiyah misalnya, ia paling kesal kalau
ada orang yang meremehkan Muluy. Saat musim buah awal tahun 2005 silam,
ada pencari buah yang berkata bahwa durian yang ada di hutan Muluy bukan
tanaman siapa-siapa. Jadi siapa saja boleh ambil sesukanya. Mendengar itu mata
Rukiyah yang rada sipit itu langsung melotot. “Bungang…!, éna kain bélo ngejaga
moné kuli iko témpo ndo kuman bua sio” (Dasar bodoh, [meski durian itu tidak
ditanam], kalau kami tidak menjaga mana mungkin buahnya bisa kamu makan
sekarang), kata Rukiyah. Maksudnya kalau pohon kayu yang ada di Muluy tidak
dijaga, tidak mustahil pohon tersebut akan jadi perabotan. Atau bahkan cuma
jadi kayu bakar. Termasuk pohon durian itu.
Keterlibatan perempuan tidak cuma itu. Dalam setiap pertemuan kampung,
terutama urusan hutan, kehadiran perempuan sama banyaknya dengan laki-laki.
Mereka ikut berpendapat, berargumen dan mengambil keputusan. Mereka sangat
lantang bilang setuju atau tidak setuju.
Mereka juga bisa ngobrol seputar kelakuan desa tetangga yang keranjingan
menawarkan diri pada investor (pengusaha pemilik modal). Mereka pikir, kalau
sampai perusahaan-perusahaan itu menggerayangi hutan tetangga, pasti nanti
mereka juga yang bakal repot. Terutama perusahaan tambang batu bara yang
BAGIAN 10 - Amin Jafar 111
sanggup menelanjangi hutan sampai ke bawah pusat bumi. Kalau isi perut bumi
sudah diobok-obok, tumbuhan mana yang mau tumbuh.
Buntut-buntutnya, hutan Muluy juga yang bakal diserbu untuk tempat berladang.
Kalau hutan Muluy ikut habis, bisa-bisa anak-cucu tidak sudi lahir di Muluy,
karena sudah tak ada lagi jaminan hidup.
Sebagai wakil kelompok perempuan, Rukiyah dan Diana (25), anak Pak
Lindung, hampir selalu mengikuti kegiatan yang dilakukan LSM pendamping.
Keterlibatannya ini membuat mereka lebih terbuka menyampaikan pendapatnya
dalam pertemuan di kampung. Sedangkan dalam pertemuan resmi yang dihadiri
oleh pejabat tinggi atau orang dari luar kampung, Rukiyah dan juga kebanyakan
perempuan Muluy, masih merasa
minder karena masalah bahasa.
“Bélo tau kerko aku diang basa déro
éné” (aku tidak mengerti bahasa
mereka), ungkap Rukiyah suatu
ketika.
Perempuan juga berperan penting
saat program penanaman bibit
buah-buahan lokal. Setiap
perempuan dalam keluarga
membantu suaminya menanami
bekas ladang. Demikian pula saat
diadakan program penanaman
rotan. Dari lima puluh orang yang
ikut menanam, seperlimanya
adalah perempuan.
Pembagia n Pera n Laki-laki dan Perempua n
Mungkin masyarakat Muluy tidak menyadari bahwa cara mereka memperlakukan
alam dan hutan selama ini, secara tidak langsung telah mendukung kelestarian
hutan itu sendiri. Membuka ladang dengan luasan sekedar untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari, membiarkan bera beberapa waktu, kemudian menggilirnya
di waktu yang lain, merupakan upaya pelestarian yang di satu pihak dicemooh,
dan di lain pihak dipuji. Dicemooh karena masih ada beberapa pihak yang
menganggap bahwa melestarikan hutan artinya tidak boleh menebang dan
mengambil pohon kayu. Masyarakat Muluy melakukan penebangan pohon
Memanen padi di ladang
Foto oleh: Carol Colfer/CIFOR
112 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
dalam membuat ladang, sehingga dianggap merusak lingkungan. Sedangkan
pihak yang memuji melihat bahwa meskipun masyarakat Muluy setiap tahun
membuka ladang namun kenyataannya hutan yang berada di wilayah kampung
Muluy tetap terjaga keberadaannya.
Terlepas dari anggapan di atas, Muluy tetaplah Muluy. Kondisi ekonomi
masyarakat yang sangat rendah menuntut setiap anggota keluarga berperan
dalam mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Berladang adalah pilihan utama
untuk tetap bertahan.
Dalam kegiatan berladang, antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang lebih
berhak atau yang lebih bertanggung jawab mengelola ladang. Baik dalam setiap
tahapan kegiatan berladang, maupun saat memanfaatkan hasil ladang. Tidak ada
aturan yang tegas bahwa laki-laki harus melakukan ini dan perempuan harus
melakukan itu. Perempuan boleh melakukan apa yang biasa dilakukan laki-laki,
demikian pula sebaliknya. Kondisi ini memberikan peluang bagi perempuan
Muluy untuk berperan setara dengan laki-laki dalam hal memanfaatkan hutan
dan sumberdaya alam lainnya.
Yang menjadikannya nampak berbeda adalah peran masing-masing dalam
tahapan kegiatan berladang. Ada tahapan kegiatan yang mengharuskan lakilaki
berperan lebih besar. Namun ada juga tahapan yang menempatkan peran
perempuan lebih banyak. Namun pengambilan keputusan dalam setiap tahapan
kegiatan dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan atau bersama-sama.
Misalnya memutuskan letak ladang, luas ladang yang akan dibuka, jenis padi
yang akan ditanam, waktu mulai menanam padi, waktu memulai panen hingga
urusan pendistribusian hasil panen (Untuk melihat peran perempuan dan lakilaki
dalam kegiatan berladang, lihat Kotak 1 dan 2).
Kotak 1
Peran Laki-laki dan Perempuan Dalam Kegiatan Mempersiapkan Lahan Untuk
Berladang
Kegiatan berladang dimulai dengan mempersiapkan lahan, meskipun tanggung jawab
kegiatan ini berada di tangan laki-laki namun perempuan sudah ikut terlibat. Dalam
hal menentukan lahan yang akan dijadikan ladang, perempuan mempunyai hak yang
sama dengan laki-laki. Perempuan punya hak untuk menentukan di mana ladang
tersebut akan dibuat dan berapa luas yang akan dibuka. Namun dalam pekerjaan
mempersiapkan lahan seperti menebas, menebang dan membakar, terdapat beberapa
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan.
BAGIAN 10 - Amin Jafar 113
Kegiatan menebas umumnya lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun tidak
jarang dalam suatu keluarga, suami dan istri sama-sama menebas lahan yang akan
dijadikan ladang. Setelah kegiatan penebasan kemudian dilanjutkan dengan kegiatan
menebangi pohon yang berada di lahan yang akan dijadikan ladang. Kegiatan ini lebih
banyak dilakukan oleh laki-laki. Kalaupun perempuan ikut terlibat, biasanya hanya
menebang pohon yang kecil-kecil saja. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam
penebangan lebih dikarenakan kegiatan ini cukup berat dan mengandung resiko
yang sangat tinggi. Saat ini dengan adanya gergaji mesin, keterlibatan perempuan
semakin berkurang. Karena seluruh kegiatan penebangan dilakukan oleh kaum lakilaki
dengan menggunakan gergaji mesin tersebut.
Sementara menunggu waktu pembakaran lahan, laki-laki maupun perempuan, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama mencari buah rotan untuk ditanam di lahan
yang akan dibakar. Penanaman buah rotan dilakukan di sekitar tunggul atau batang
pohon yang sudah ditebang. Dengan harapan akan memudahkan penyiangan jika
rotan tersebut telah tumbuh. Setelah pembakaran lahan biasanya rotan-rotan tersebut
mulai bertunas.
Dalam hal menanami lahan dengan rotan, tidak nampak siapa yang lebih berhak
untuk memutuskan di bagian mana dari lahan tersebut yang harus ditanami rotan,
berapa luas yang akan ditanami rotan, berapa meter jarak tanam dan berapa
banyak benih rotan yang harus ditanam. Masing-masing merasa punya hak untuk
melakukan keinginannya dan merasa punya hak untuk mengkritik apa yang dilakukan
pasangannya.
Selain kegiatan penebangan, pada waktu pembakaran lahan, laki-laki lebih besar
peran dan tanggung jawabnya. Namun demikian bukan berarti perempuan tidak
berhak untuk menyulutkan api pada lahan yang akan dibakar. Hanya saja pada saat
penyulutan api biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selain itu keterlibatan perempuan
dalam proses pembakaran adalah pada saat membuat sekat bakar di sekitar lahan.
Jika terjadi kebakaran yang diakibatkan oleh api yang menjalar ke luar sekat bakar,
maka laki-laki dan perempuan bersama-sama memadamkan api tersebut. Demikian
pula jika kebakaran tersebut merugikan pihak lain. Maka pihak yang menyebabkan
kerugian, baik suami maupun istri akan bertanggung jawab secara bersama.
Proses persiapan lahan selanjutnya adalah memanduk atau membersihkan lahan
yang telah dibakar. Kegiatan ini biasanya dilakukan bersama-sama antara lakilaki
dan perempuan. Mulai memotong batang pohon yang tidak hangus terbakar,
mengumpulkan potongan-potongan kayu menjadi sebuah tumpukan yang siap
dibakar dan membakar tumpukan kayu tersebut menjadi sebuah api unggun yang
sangat besar.
Setelah kegiatan memanduk selesai, maka lahan tersebut siap untuk ditugal dengan
benih padi. Sementara menunggu waktu menugal, kaum perempuan melakukan
kegiatan menanam jagung, tebu dan sayuran. Sedangkan laki-laki membangun
pondok untuk tempat berteduh. Pada saat yang sama laki-laki juga menanam pisang.
114 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Kotak 2
Peran Laki-laki dan Perempuan Dalam Menanam Padi di Ladang
Jika musim hujan tiba, maka dimulailah kegiatan menugal atau menanam padi.
Aktivitas ini dilakukan bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan. Umumnya
kegiatan menugal dilakukan dengan cara Sempolo yaitu gotong-royong bergiliran
dengan melibatkan pemilik ladang yang lain yang berada dalam satu hamparan atau
dalam satu desa. Dalam kegiatan ini pembagian peran sangat jelas. Laki-laki berperan
sebagai Penasok atau pembuat lubang tanam dengan menggunakan tongkat kayu.
Sedangkan perempuan bertugas sebagai Penias atau pengisi lubang tanam dengan
benih padi. Meskipun demikian ada juga laki-laki yang menjadi penias namun tidak
ada perempuan yang menjadi penasok pada saat sempolo berlangsung. Kondisi ini
memang sudah menjadi tradisi masyarakat Paser secara turun-temurun. Sedangkan
alasan lain adalah masalah teknis dimana satu orang penasok idealnya harus disertai
oleh 2-3 orang penias. Karena jika tidak maka penias akan kewalahan mengisi lubang
tanam yang dibuat oleh Penasok. Maka jika Penasok melebihi jumlah ideal maka
sebagian laki-laki akan rela menjadi penias. Namun sebalik jika penias melebihi jumlah
ideal maka tidak ada perempuan yang akan menjadi penasok.
Salah satu hal penting dalam tahapan ini adalah menentukan jenis padi dan jumlah
benih yang akan ditanam di ladang. Di Muluy atau di desa-desa sekitar Gunung Lumut,
laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam menentukan jenis padi
yang akan ditanam dan berapa banyak padi yang akan ditanam untuk tiap jenisnya.
Masing-masing pihak punya hak untuk tidak setuju terhadap pilihan pihak yang lain.
Biasanya benih padi yang dipilih adalah padi yang menghasilkan panen yang cukup
tinggi, umur tanaman yang relatif cepat, tahan terhadap hama, tahan terhadap
hembusan angin, mempunyai rasa nasi yang enak dan harum serta nilai ekonomis
yang tinggi. Biasanya dalam satu keluarga menanam lebih dari satu jenis tanaman
padi. Namun yang umum ditanam adalah padi Pulut atau ketan dan Kopas atau padi
biasa.
Selain menentukan jenis dan jumlah benih yang akan ditanam, laki-laki dan perempuan
juga mempunyai hak yang sama dalam menentukan sumber atau asal benih yang
akan ditanam, termasuk cara memperoleh benih tersebut. Umumnya benih padi yang
akan ditanam berasal dari hasil panen tahun lalu. Namun jika suatu keluarga tidak
mempunyai benih maka ia bisa memperolehnya dari orang lain dengan cara membeli,
meminjam atau menukarkan dengan jenis padi yang lain (barter). Tidak ada aturan
yang mengikat yang mengharuskan pihak laki-laki saja atau pihak perempuan saja
yang berhak dan berwenang untuk mendapatkan benih yang akan ditanam. Namun
dalam hal penyimpanan benih biasanya perempuan lebih berperan dibandingkan
laki-laki. Dan ini berlaku pula terhadap benih jagung dan benih sayuran.
BAGIAN 10 - Amin Jafar 115
Pengorba nan yang Harus Diba yar
Seolah demi kelestarian alam, masyarakat Muluy harus terpuruk dalam
kemiskinan. Kenyataannya memang masih ada keluarga yang tidak bisa mencukupi
kebutuhan makan tiga kali dalam sehari. Anak-anak hanya bisa memakai baju
lusuh seadanya. Malah lebih sering tidak memakai baju.
Tidak setiap hari pasaran para ibu dapat pergi belanja seperti para ibu yang tinggal
di perumahan transmigrasi di Desa Pait. Sebulan sekalipun tidak. Bahkan ada ibu
yang seumur hidup belum pernah menginjak pasar.
Belum lagi urusan pendidikan, kesehatan, hiburan, agama dan urusan batin
lainnya. Kawin misalnya, sejak tahun 1999–2005 hanya ada dua orang jejaka
Muluy yang bisa menikah. Bukannya orang Muluy tidak mau punya pasangan
hidup. Tapi untuk menikah perlu biaya jutaan rupiah. Bandingkan dengan desa
tetangga, Rantau Buta yang penduduknya cuma delapan belas jiwa lebih banyak
dari Muluy. Dalam waktu tiga kali musim panen (2001-2003), telah menikahkan
warganya sebanyak tujuh pasang.
Tentu saja jadi tanda tanya besar jika ada orang punya harta berharga tapi
kekurangan uang. Kemungkinannya cuma dua. Pertama, barangnya tidak laku
karena terlalu mahal dan kemungkinan kedua adalah barang itu tergolong haram.
Masyarakat Muluy tidak berani menjual harta mereka (kekayaan sumberdaya
hutan, seperti kayu), karena mereka sadar bahwa harta itu bukan milik mereka
sepenuhnya. Harta itu titipan Tuhan untuk anak-cucu mereka.
Fasilitas umum yang ada misalnya sekolah, tempat ibadah, balai pertemuan,
listrik, rumah, penampung air dan kakus merupakan bantuan Pemerintah
Kabupaten Pasir, perusahaan kayu dan LSM lokal. Masih beruntung kalau musim
hujan karena bisa mandi dengan air penampungan. Kalau tidak ada hujan warga
Muluy harus jalan kaki ke sungai sejauh satu setengah kilometer. Lalu bagaimana
kalau semua fasilitas bantuan tersebut sudah rusak nantinya?
Lebih separo masyarakat Muluy tidak sempat mencicipi bangku sekolah. Yang
sempat sekolah terpaksa berhenti sekitar 30 tahun yang silam. Karena mereka
harus pindah dari pemukiman yang lama di Desa Swanslutung ke pemukiman
sekarang.
Menurut Pak Lindung (70), kepala adat Muluy, letak sekolah yang berjarak 20
km dari pemukiman, membuat pendidikan anak-anak terputus. “Tak ada anakanak
yang sanggup berjalan kaki sejauh itu setiap hari. Kalau dititipkan di tempat
116 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
orang lain, kita harus menyediakan ongkos,” katanya. Untunglah sekolah sudah
dibangun. Meski berstatus SD (Sekolah Dasar) kunjung yang cuma punya tiga
ruang kelas dan satu guru, tapi anak-anak sudah bisa sekolah lagi meski tidak
memakai sepatu dan baju seragam.
Mereka juga kesulitan ketika membutuhkan layanan kesehatan. Seperti dialami
almarhum Madi (20) yang mengalami penyakit paru-paru basah sejak awal 2003
lalu. Sampai akhir hayatnya ia tidak pernah mendapatkan penanganan serius dari
dokter atau rumah sakit manapun. “Kami tidak punya uang untuk membawanya
berobat. Kami hanya bisa membelikan obat yang dijual di warung,” kata keluarga
Madi saat itu.
Tiga buah TV dan VCD player yang terdapat di tiga rumah penduduk merupakan
perlengkapan mewah yang dimiliki masyarakat Muluy. “TV itu milik pembeli besi
tua, TV itu kubawa karena ia tidak bisa membayar harga besi tua yang kami kumpulkan
dari bekas bengkel perusahaan,” kata Jiham.
Sebuah TV 21 inch yang dipajang di ruang kelas bangunan SD yang belum
terpakai, merupakan TV umum yang disumbangkan oleh pemerintah kabupaten.
Sedangkan TV yang lain diperoleh dari hasil penjualan Burung Murai yang
dikumpulkan dari beberapa orang.
Tape rekorder atau radio yang dimiliki masyarakat Muluy tidak lebih banyak dari jari
sebelah tangan. “Kami beli tape itu waktu gaharu masih banyak. Sekarang pohon gaharu
sudah habis. Apalagi orang dari selatan ikut juga mencari, ” kata Jahan.
Tiga buah sepeda motor bekas yang dipakai bergantian, hanya digunakan
untuk mengangkut padi ke penggilingan yang berjarak 20 km dari pemukiman.
Sesekali dipakai pula untuk membeli keperluan dapur di Pasar Simpang. Untuk
pergi keluar kampung masyarakat Muluy lebih banyak menumpang kendaraan
perusahaan kayu.
Menurut Pak Lindung, sekitar tahun 1990-an, kalau mau pergi ke pasar Simpang
perlu waktu satu hari. Mereka menggunakan gerobak kayu beroda tiga berukuran
sekitar 100x150x50 cm yang mereka buat sendiri. Terkenal dengan sebutan
‘Bemo Muluy’ meskipun bentuknya tak ada mirip dengan bemo yang sebenarnya
kecuali jumlah rodanya. Sekali berangkat bisa sampai lima buah. Sebuah gerobak
dikawal satu keluarga, 1-5 orang laki-laki dan perempuan. Kalau turun gunung,
‘bemo’ tersebut ditumpangi beramai-ramai. Tapi kalau naik gunung, ramai-ramai
pula mendorongnya.
BAGIAN 10 - Amin Jafar 117
Perta nyaan yang Belum Terjawab
Suatu saat, bukan mustahil hutan Gunung Lumut akan tinggal dongeng pengantar
tidur. Ikut punah menyusul ‘bémo’ mereka yang legendaris itu. Lantaran tak kuasa
lagi menahan himpitan ekonomi dan pengaruh budaya konsumtif bisa jadi kayukayu
di hutan ditebangi untuk dijual.
Sampai kapan mereka sanggup bertahan? Apa yang akan terjadi jika Pak Lindung,
Jidan, Rukiyah atau Diana sudah meninggal? Apakah adik-adik, anak-anak atau
cucu mereka masih sanggup meneruskan mandat yang begitu berat? Bagaimana
kalau mereka menganggap bahwa harta titipan ini, sebagai warisan yang boleh
dibagi, dikuasai dan digadaikan?
Mungkin ada pilihan yang bisa ditawarkan. Misalnya bikin peternakan lebah
madu jenis unggul (Apis mellifera) yang memang biasa dibudidayakan di Indonesia.
Sehingga tidak selalu berharap pada madu alam yang berada di pohon Lomu,
Puti dan Bilas yang menjulang tinggi, setinggi resiko yang harus dihadapi saat
memanjatnya.
Pilihan lain adalah belajar membangun rumah burung Walet (Collacalia
fuciphaga) pada teman-teman yang ada di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur dan
Jawa Tengah yang merupakan sentra budidaya Walet. Sarang Walet yang terbuat
dari air liur (saliva), bisa membantu menyembuhkan penyakit paru-paru, panas
dalam, melancarkan peredaran darah dan menyehatkan stamina. Selain itu bisa
juga mengatasi sakit ‘mata’ (mata pencaharian) karena khasiat harganya yang
tinggi (Menteri Negara Riset dan Teknologi, 2005)
Berdasarkan analisa budidaya burung Walet di daerah Jawa Barat tahun 1999,
dengan luas bangunan 10x15 sampai 10x20 meter persegi, dan populasi 500 ekor
Walet dan Sriti, akan menghasilkan 1 kilogram sarang Walet (sarang putih) dan
15 kilogram sarang Sriti (sarang hitam) setiap panen. Panen dapat dilakukan
empat kali setahun atau 20 kali selama lima tahun. Harga sarang Walet 17 juta
rupiah per kilogram. Harga sarang Sriti 3 juta rupiah per kilogram. Berdasarkan
perhitungan itu, diperoleh pendapatan Rp 400 juta selama lima tahun. Setelah
dikurangi biaya produksi selama lima tahun sebesar Rp 64.600.000, maka akan
diperoleh keuntungan sebesar Rp 335.400.000 selama lima tahun. Atau Rp
5.590.000 setiap bulan.
Memang membutuhkan modal awal yang sangat besar. Untuk rumah Walet
dan perlengkapan sekitar Rp 23.500.000, lalu ditambah biaya kerja dan biaya
lain sebesar Rp 1.076.667 setiap bulan. Hingga mencapai Rp 64.600.000 selama
118 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
5 tahun. Belum lagi jika dinilai dengan harga sekarang. Tentu modal yang
harus disiapkan lebih banyak lagi. Namun rasanya masih belum seberapa jika
dibandingkan dengan kerugian yang ditanggung manusia jika hutan Gunung
Lumut menjadi rusak. Tidak mustahil banjir yang melanda Kecamatan Long Kali
Kabupaten Pasir akhir tahun 2001, akan terulang lagi.
Semua Ora ng Punya Harapa n
Kalau ditanya keinginan Pak Lindung, Jidan, Rukiah atau warga Muluy lainnya,
mereka akan menjawab dengan nada yang sama, “Kalau bisa, sekali lagi kalau bisa,
kami mau punya uang untuk belanja. Mau jalan-jalan sambil lihat kampung orang.”
Suatu keinginan yang wajar. Karena semua orang ingin hidup sejahtera. Memang,
uang bukan yang utama tapi penting. Sungguh suatu dilema yang amat berat bagi
masyarakat Muluy. Di satu sisi ada harapan dan keinginan untuk meningkatkan
pendapatan, tetapi di sisi lain harus tetap melestarikan hutan. Masyarakat Muluy
sedang mencari sumber pendapatan tambahan yang tidak merusak hutan. Usaha
ini memerlukan dukungan baik dari pemerintah, LSM pendamping, maupun
pihak-pihak lain yang mempunyai perhatian.
Ucapa n Terimakasih
Penulis menyampaikan terimakasih kepada Masyarakat Kampung Muluy yang
sudah banyak berbagi cerita. Kepada teman-teman di Yayasan PADI Indonesia,
terimakasih banyak karena sudah banyak membantu hingga tulisan ini selesai.
Selain itu, kami sampaikan juga terimakasih kepada CIFOR dan MFP yang sudah
mewujudkan tulisan ini menjadi sebuah buku.
Sumber Bacaa n
Departemen Kehutanan Republik Indonesia.1998. Peta Penutupan Lahan Hutan Lindung
Gunung Lumut: Pemetaan Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi serta beberapa
Lahan Kritis Tahun 1996/1997.Jakarta, Indonesia.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2005. Budidaya Lebah Madu. http://www.
dephut.go.id/INFORMASI/PUSDIKLAT/program05/program24.pdf (13 Sep 2005).
Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Pemerintah Kabupaten Pasir dan Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH) Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman. 2001. Laporan
Pelaksanaan Proyek Peningkatan Pengelolaan Kawasan Lindung di Enam Kabupaten/
Kotamadya DATI II (Inpres DATI II) Provinsi Kalimantan Timur, Tahun 1999/2000 Bagian
Proyek DATI II: Kabupaten Pasir. Balikpapan, Indonesia.
BAGIAN 10 - Amin Jafar 119
Menteri Negara Riset dan Teknologi, BPPT. Deputi Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Iptek. BPPT. 2005. Budidaya Burung Walet. http://www.iptek.net.id/ind/
warintek/Budidaya_peternakan.html (13 Sep 2005)
Tropenbos International Indonesia. 2005. Hutan Lindung Gunung Lumut dan Biodiversity
Assessment. http://www.tropenbos.nl/news/Assessment%20Indonesia/Info_sheet%204_
HLGL%20Final%20250804.pdf (14 Sep 2005).
Yayasan PADI dan KEHATI. 1999. Laporan Aksi Pengembangan Bank Benih Rakyat
dan Penyelamatan Biodiversitas Jenis Padi Lokal di Kalimantan Timur. Balikpapan,
Indonesia.

BAGIAN 11
Perempuan Pembaharu Desa
Catur Budi Wiati
“Saya hanya ingin desa kami cepat maju. Desa kami jauh tertinggal
dibanding desa lain,”
kata Mama Sugeng, perempuan asal Desa Transmigrasi Bantuas, sekitar 22
km dari Samarinda.
Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Foto oleh Carol Colfer/CIFOR
122 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Meski telah lebih berusia 14 tahun, Desa Bantuas Transmigrasi nampak miskin
dan tak terurus. Sekitar 350 keluarga yang menempati tidak memiliki kepala
desa. Ketertinggalan Desa Transmigrasi Bantuas menggerakkan Mama Sugeng
(43 tahun). Perempuan yang aslinya bernama Siti Fatimah ini tergolong unik
di tengah budaya patriarki desa-desa di Indonesia. Di banyak tempat termasuk
Indonesia, sejak lama tertanam pemahaman perempuan hanya memiliki lingkup
domestik saja.
Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, banyak penelitian menunjukkan
perempuan memegang peranan penting dalam keberhasilan pembangunan
masyarakat desa. Mama Sugeng adalah salah satu bukti hidup dari fenomena
itu. Ia berperan dalam dua hal serius yang umum terjadi di berbagai pelosok
Indonesia, yaitu membantu percepatan pembangunan desa tertinggal dan
kerusakan lingkungan.
Desa yang gersang dan terbuka
Gersang dan terbuka adalah kesan pertama yang terlihat, bila kita mengunjungi
Desa Transmigrasi Bantuas. Kanan-kiri jalan menuju desa itu dipenuhi hamparan
lahan alang-alang. Kesan gersang makin jelas, bila kita melihat satu-satunya sungai
yang mengalir membelah pemukiman desa, airnya sangat surut dan berwarna
cokelat. Bila datang musim hujan, air sungai yang keruh karena membawa tanah,
meluap dan membanjiri ladang-ladang di sekitarnya.
Akibat penebangan, kebakaran dan perladangan berpindah, areal Desa
Transmigrasi Bantuas sebagian besar menjadi padang alang-alang. Menurut
Mama Sugeng, lahan tidur sudah ada jauh sebelum desanya dibangun. “Padang
alang-alang muncul karena perladangan berpindah. Dulu, kami juga melakukannya,
tetapi berhenti setelah kami jadi warga transmigrasi,” ujar Mama Sugeng. Perladangan
berpindah banyak terdapat di Bantuas, setelah kebakaran hutan pada 1997/1998
melanda kawasan ini. “Padang alang-alang juga makin banyak setelah penebang
liar menjarah kayu yang ditinggalkan perusahaan kayu PT Bengen Timber,” tambah
Senen (53), suami dari ibu beranak lima ini.
Pemanfaatan padang alang-alang untuk kawasan transmigrasi, seperti Desa
Transmigrasi Bantuas, adalah kebijakan Departemen Transmigrasi. Kebijakan ini
merupakan bagian dari Letter of Intent (nota kesepakatan) yang ditandatangani
pemerintah Indonesia dengan IMF (International Monetary Fund) pada 1999.
Salah satu dari kesepakatan itu adalah menghentikan sementara perubahan
hutan menjadi permukiman dan ladang melalui pelepasan kawasan hutan.
BAGIAN 11 - Catur Budi Wiati 123
Akibat kurangnya pembinaan dari pengelola (Departemen Transmigrasi),
ditambah dengan banyaknya hama babi, pertanian lahan kering di Desa
Transmigrasi Bantuas tidak berjalan baik. Untuk menghidupi keluarga, banyak
warga terpaksa meninggalkan desa mereka untuk menjadi buruh upahan di desa
tetangga. Banyak warga pendatang asal Jakarta, Jawa Tengah dan Lombok tidak
kuat bertahan di pemukiman transmigrasi tersebut. Posisi mereka akhirnya
banyak digantikan masyarakat sekitar seperti dari Samarinda, Sangasanga dan
Bantuas sendiri.
Ngaji dan Yasi nan menjadi Proses Awal
Seringnya perkelahian antar warga saat desa baru dibuka mendorong Mama
Sugeng berbuat sesuatu. Banyak warga masih terpengaruh ego kedaerahan asal
masing-masing. “Orang sering berkelahi karena jiwa mereka kosong. Mereka mengaku
Islam tapi baca Alquran aja gak bisa,” katanya mengenang. Matanya menerawang
seolah gambaran masa lalu melekat jelas di benaknya. Jika jiwa tenang, orang tidak
mudah tersinggung dengan ucapan orang lain,” katanya.
PROVINSI
KALIMANTAN TIMUR
PALARAN
SUNGAI KUNJANG
SAMARINDA ILIR
SAMARINDA SEBERANG
SAMARINDA ULU
SAMARINDA UTARA
KUTAI
SAMARINDA
Bantuas
0 1.5 3 6 9 12 Kilometers
KALIMANTAN
TIMUR
KALIMANTAN
SELATAN
Legenda
Desa
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Batas Provinsi
Sumber:
- Sebaran Sungai, Departemen Kehutanan RI, 2002
- Batas Administrasi, Biro Pusat Statistik
Peta dikompilasi oleh Mohammad Agus Salim, GIS Unit, CIFOR 2006
124 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Berangkat dari kenyataan itu, Mama Sugeng yang biasa hanya mengajar ngaji
untuk anak sendiri, ingin menularkan kemampuannya kepada orang lain. “Meski
artinya tidak tahu, baca ayat-ayat Alquran bisa membuat jiwa tenang,” jelasnya. Mama
Sugeng berharap dengan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, ketenangan
dapat tercipta.
Mama Sugeng membagi kelas ngaji menjadi dua karena banyak anak yang ingin
belajar. Anak usia 5–10 tahun dikelompokkan di kelas pertama, anak usia 10
tahun ke atas dikelompokkan di kelas kedua. Anak-anak dari kelas pertama
diutamakan lebih dahulu belajar. Cara ini dilakukan agar saat anak-anak yang
besar ngaji, mereka tidak diganggu anak-anak yang lebih kecil. Tujuan yang lain,
anak-anak yang besar dan sudah pintar ngaji dapat membantu mengajari anakanak
yang lebih kecil.
Mama Sugeng berusaha agar kegiatan mengajar mengaji tidak mengganggu
suami dan anak-anaknya. Karena itu, ia mengajar ngaji hanya malam hari yaitu
pukul 19.00-21.00 WITA. Biasanya, saat itu Mama Sugeng telah menyelesaikan
pekerjaan rutin rumah tangganya. “Suami dan anak-anak sangat mendukung. Jika
saya sibuk, mereka juga menjadi terbiasa mengerjakan sendiri semua pekerjaan yang
biasa saya lakukan,” jelasnya.
Lahan yang terkupas akibat penambangan
batubara di Desa Transmigrasi Bantuas.
Foto oleh Catur Budi Wiati
BAGIAN 11 - Catur Budi Wiati 125
Kegiata n Berdampak pada Perbaika n Sikap
Mama Sugeng tak sekadar mengajar ngaji. Ia juga memikirkan cara membantu
perekonomian keluarga yang dialami hampir seluruh warga saat itu. Mama
Sugeng mendorong anak-anak mencari uang dengan mengumpulkan sayursayuran,
seperti kangkung, genjer atau pakis hutan, yang banyak tumbuh di
sekitar desa. Sayur-sayuran tersebut kemudian dijual, dengan cara dititipkan
kepada warga yang hendak menjual hasil pertaniannya ke pasar. Selain itu, anakanak
mendapat uang dari upah membantu membersihkan ladang atau kebun
milik warga lain. Hasilnya ditabung dengan sistem arisan sebesar Rp 250,- per
orang yang ditarik seminggu sekali.
Mama Sugeng kemudian melanjutkan arisan uang ke arisan membersihkan
pekarangan. Ide ini muncul, saat ia melihat banyak pekarangan rumah warga tidak
terawat karena kesibukan bertani. Anak-anak diajak membersihkan pekarangan
rumah mereka secara bergantian setiap minggu pagi saat libur sekolah. Sekaligus,
menanam tumbuhan obat yang berguna untuk kebutuhan keluarga, seperti jahe,
kunyit, serai, kumis kucing dan lain-lain.
Pelajaran positif yang diperoleh anak-anak kemudian ternyata juga menumbuhkan
keinginan beberapa perempuan dewasa untuk belajar ngaji. Namun karena
jumlah perempuan yang belajar ngaji terus bertambah, Mama Sugeng kemudian
mengajak mereka melakukan yasinan. Kegiatan ini dilakukan setiap Jumat siang
pukul 14.00 WITA. Tidak seperti pengajian umumnya, dibanding membaca Surat
Yasin, aktivitas belajar ngaji lebih mendominasi pertemuan. Ini karena hampir
semua perempuan yang hadir belum pintar ngaji.
Banyak kesulitan dihadapi Mama Sugeng untuk mempertahankan kegiatan
yasinan di Desa Transmigrasi Bantuas. Agar para perempuan rajin mengikuti
yasinan, Mama Sugeng mengundang seorang ustad untuk rutin datang berceramah.
Di belakang hari, ceramah ustad terbukti mampu memikat para perempuan untuk
rajin mengikuti yasinan.
Kehadiran seorang ustad ternyata sangat berarti. Banyak hal bermanfaat yang
dipelajari. Sedikit demi sedikit, ceramahnya berhasil merubah perilaku para
perempuan. Bermula dari perubahan cara berbicara dan berbusana, perubahan
sikap juga terjadi yakni menjadi lebih saling menghargai. Yang menarik,
perubahan ini kemudian secara perlahan juga menular kepada para suami dan
anak-anak mereka.
126 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Penuh inisiatif
Kegairahan ngaji dan yasinan boleh saja meningkat, tapi dukungan dari kepala
desa kurang. Itu dapat terlihat dari terbengkalainya atap mushola yang rusak.
“Dulu, kepala desa di sini orangnya kurang mempedulikan warga. Makanya kami tidak
mengharapkan bantuan beliau untuk memperbaiki mushola,” kata Mama Sugeng.
Mama Sugeng kemudian mencari pihak lain yang dapat membantu memperbaiki
mushola. Dari orasi seorang anggota DPRD Samarinda saat berkampanye
untuk salah satu partai di desanya, ia mengetahui Pemerintah Kota Samarinda
menyediakan dana khusus untuk pembangunan sarana umum. Dana ini dapat
dikeluarkan jika warga membuat pengajuan dana dalam bentuk proposal.
Proposal dibuat Mama Sugeng bersama perempuan lain dengan dukungan tokohtokoh
masyarakat. Mereka membuat proposal sederhana untuk pembuatan
mushola yang baru. Isinya, menyebutkan informasi siapa yang mengajukan,
maksud pengajuan dan besarnya dana yang diajukan. Di halaman terakhir
proposal, Mama Sugeng dan empat perempuan lain yang mewakili desa itu
membubuhkan tanda tangan. Dia juga meminta kepala desa, sebagai pimpinan
setempat yang bertanggung jawab, turut menandatangani proposal.
Proposal tersebut mendapat tanggapan positif. Pemerintah Kota Samarinda
bersedia memberikan dana sebesar Rp 5.000.000 untuk pembangunan mushola.
Pembibitan kelapa sawit PT. Agricinal di Desa Bantuas.
Foto oleh Catur Budi Wiati
BAGIAN 11 - Catur Budi Wiati 127
Meski jumlah tersebut hanya cukup untuk membeli bahan bangunan, pengalaman
ini menggugah Mama Sugeng dan kelompok yasinan membuat dua proposal
lain. Pertama, mereka mengusulkan pembuatan jalan alternatif yang lebih dekat
untuk anak sekolah. Kedua, mereka mengusulkan pembangunan TK Alquran
di sebelah mushola. Kedua proposal ini sudah disampaikan ke Pemerintah Kota
Samarinda, tetapi belum mendapat tanggapan sampai sekarang.
Penghijaua n ala Mama Sugeng
Permasalahan lingkungan ternyata juga tidak luput dari perhatian Mama Sugeng.
Permasalahan akibat alang-alang, memunculkan ide konservasi di benaknya.
Sebagai usaha awal, Mama Sugeng menanam petai di lahan tidur miliknya.
Ia memperoleh bibit tanaman ini dari tetangganya. Dari penyuluh pertanian
setempat Mama Sugeng mengetahui petai atau Parkia speciosa Hassk cocok untuk
penanganan alang-alang. Tapi, kebakaran kemudian menghanguskan semuanya.
Usaha ini kemudian diulangnya kembali, tetapi kebakaran kembali menjadi
permasalahan.
Karena kebakaran sering terjadi, Mama Sugeng mempunyai ide baru untuk
menangani padang alang-alang, yaitu menanam biji karet (Hevea braziliensis)
bersamaan saat menanam biji padi. Ide ini bisa menghemat waktu dan tenaga
karena dilakukan sekaligus saat ia membantu suaminya berladang. Agar tidak
terlalu rapat, jarak tanam biji karet lebih jauh dari jarak tanam padi. “Biji padi
kami tanam dengan jarak sekitar 1 langkah (30 cm). Sedang karet ditanam dengan
jarak 2 depa (3 m),” kata Mama Sugeng. Untuk memudahkan saat penanaman,
kedua tempat benih diikatkan Mama Sugeng di pinggang. Sehingga saat
menugal, tangan kirinya yang bertugas menaruh biji di lubang dapat dengan
lincah bergerak.
Walau demikian penghijauan dengan cara ini tidak terlalu berhasil. Pertama,
karena biji karet susah tumbuh. Dari sekitar 10 biji karet yang ditanam, hanya
sekitar - 4 biji yang tumbuh. Lagipula karet yang tumbuh agak menyulitkan saat
memanen padi. “Harus hati-hati agar tidak merusak anakan karet,” jelas Mama
Sugeng. Kedua, tanaman karet juga sangat rentan terhadap kebakaran. Batang
padi yang kering sesudah dipanen mudah sekali terbakar. Kebakaran sulit dicegah
karena pengawasan tidak dilakukan seketat saat padi masih tumbuh. Karena
susahnya menanam biji karet, Mama Sugeng mencari alternatif lain, yaitu
menanam anakan karet. Jika mempunyai cukup waktu, ia mencari anakan karet
yang sudah cukup tinggi di sekitar desanya. Anakan karet mudah ditemukan,
karena dulu desa ini termasuk kawasan penghasil karet lokal.
128 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Seperti yang umum dilakukan orang,
anakan karet dipindahkan Mama
Sugeng dengan cara mencongkel
dari tanah. Untuk mengurangi risiko
kematian, pencongkelan diupayakan
tidak memotong banyak akar dan hanya
dilakukan saat musim hujan datang.
“Cara ini lebih berhasil ketimbang dengan
biji, tapi jarang saya lakukan karena
memerlukan banyak waktu dan tenaga,”
kata Mama Sugeng.
Meski padang alang-alang yang berhasil
ditanami karet tidak terlalu luas, upaya
Mama Sugeng merehabilitasi areal ini
mendapat perhatian warga. Kepedulian
mereka terhadap keberadaan alang-alang
meningkat. Banyak warga kemudian
mengikuti upaya Mama Sugeng.
Meski cara dan jenis tanamannya
berbeda, semangat Mama Sugeng telah
memotivasi warga untuk tidak menyerah
terhadap masalah alang-alang.
Menghadapi Dilema: Emas Hitam atau Kerusaka n
Lingkungan Hadirnya sebuah perusahaa n tamba ng
di Desa Tra nsmigrasi
Mama Sugeng dan masyarakat juga dihadapkan pada permasalahan baru, yaitu
kehadiran sebuah perusahaan tambah batubara (CV. Bara Sakti) setahun terakhir
ini (2005). Meski perusahaan tersebut menawarkan uang ganti rugi yang besar,
tapi kehadirannya juga membawa permasalahan lain yaitu kerusakan lingkungan.
CV. Bara Sakti sejak setahun terakhir telah memulai penambangan batu bara di
Bantuas. Perusahaan ini memegang izin kuasa pertambangan batu bara skala kecil
100 ha dari Walikota Samarinda. Sejauh ini, CV. Bara Sakti telah menambang
seluas kira-kira 50 ha.
Semula banyak warga Desa Transmigrasi Bantuas menyambut positif kehadiran
CV. Bara Sakti. Warga menganggap kehadiran perusahaan ini bagai dewa
penyelamat di tengah sulitnya kehidupan. Uang ganti rugi sebesar Rp 25
Sosok Mama Sugeng, perempuan sederhana
pembaharu desa dari Desa Transmigrasi Bantuas.
Foto oleh Catur Budi Wiati
BAGIAN 11 - Catur Budi Wiati 129
juta per ha diberikan untuk lahan yang diserahkan kepada perusahaan. Bila
sesudah ditambang warga masih menginginkan tanahnya kembali, perusahaan
menawarkan ganti rugi sebesar Rp 20 juta per hektar.
Cukup lama warga baru menyadari penambangan batu bara juga membawa
dampak negatif. Kesadaran baru muncul saat beberapa warga mengaku gagal
panen karena ladangnya kebanjiran. Air yang mengalir di lahan-lahan yang
terkupas menyebabkan sedimentasi sungai. Terlebih kawasan yang dikupas
dekat sungai. Akibatnya terjadi pendangkalan aliran sungai, dan tidak mampu
menahan air saat hujan.
Warga juga meragukan janji Pemerintah Kota Samarinda yang hendak
membangun perkebunan kelapa sawit di lahan bekas tambang. Pembangunan
perkebunan kelapa sawit di areal bekas tambang batubara saat ini memang sedang
dijajaki Pemerintah Kota Samarinda, dan sejauh ini baru sampai tahap survei dan
penelitian. Karena hasilnya belum ada, warga masih meragukan rencana ini.
Karena itu warga menyampaikan keluh kesah mereka kepada kepala desa. Warga
berharap kepala desa dapat menjembatani kepentingan warga dan perusahaan
tambang. Sayangnya keluh kesah warga tidak mendapat tanggapan positif dari
kepala desa. Isu yang berkembang di antara warga menyebutkan kepala desa
tidak mampu berbuat banyak karena sudah menerima uang diam dari perusahaan
tambang.
Pasifnya kepala desa kembali mendorong Mama Sugeng bertindak. Ia mendorong
tokoh-tokoh masyarakat untuk menggagas pertemuan desa. Pertemuan ditujukan
untuk membahas masalah yang dihadapi warga. Untuk itu, selain kepala desa,
pertemuan juga mengundang perwakilan dari pihak perusahaan tambang.
Perjuangan warga belum berakhir. Walau dalam pertemuan disepakati CV. Bara
Sakti akan melakukan pengerukan sungai, hingga sekarang janji tersebut tidak
pernah dilaksanakan. Warga berencana akan menggagas pertemuan desa kembali
dan memaksa perusahaan tambang untuk membuat kesepakatan dalam bentuk
tertulis.
Pelajara n yang dapat diambil
Perjuangan Mama Sugeng membuktikan bahwa setiap perempuan, terlepas dari
tinggi rendahnya pendidikan, sanggup melakukan sesuatu hal yang besar jika
mau berbuat. Pengalaman Mama Sugeng juga menambah bukti adanya peran
130 Dari Desa ke Desa
Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
perempuan dalam keberhasilan pembangunan desa. Melalui kegiatan ngaji dan
yasinan, ia menggerakkan perempuan untuk peka terhadap permasalahan di
sekitarnya, seperti padang alang-alang dan pencemaran akibat penambangan.
Hadirnya CV. Bara Sakti, perusahaan tambang di Desa Transmigrasi Bantuas
membuat Mama Sugeng dan warga lain dihadapkan pada dua dilema, mendapatkan
uang lebih banyak atau rusaknya lingkungan yang selama ini menjadi sandaran
hidup mereka.
Peningkatan pendalaman agama Islam yang diperoleh dari kegiatan mengaji,
yasinan dan majelis ta’lim dapat menyatukan warga Desa Transmigrasi Bantuas
dan membuat warga dapat menjalani kehidupan yang lebih tenang. Perjuangan
Mama Sugeng membuktikan adanya inisiatif lokal yang mampu menggerakkan
perempuan di sekitarnya untuk berperan aktif dalam pembangunan desa. Inisiatif
seperti ini perlu didukung pemerintah dan pihak lain dalam rangka mempercepat
pembangunan desa tertinggal.
Ucapa n Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Fatimah (Mama Sugeng) dan
masyarakat Desa Transmigrasi Bantuas, Kecamatan Palaran, Samarinda yang
telah menjadi inspirasi utama tulisan ini. Secara khusus ucapan terimakasih
penulis sampaikan kepada Pak Hadi Jumadin yang telah banyak membantu
saat melakukan pengambilan data di lapangan. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada CIFOR (Center for International Forestry Research) dan Ford
Foundation yang telah memungkinkan terselenggaranya lokatulis Gender dan
Keanekaragaman Hayati sehingga tulisan ini terwujud.
Bahan Bacaa n
Anonim. 2003. Penerbitan KP Batubara di Kaltim Buat Pengelolaan Tak Terkontrol. http://
www.kapanlagi.com/h/0000059475 (10 Sep 2005)
---------.2003. Deposit Batu Bara di Kaltim Diperkirakan Sekitar 6,45 Miliar Ton. http://www.
kapanlagi.com/h/0000061499.html (10 Sep 2005)
---------.2003. Kaltim Putar Haluan ke ’Emas Hitam’. http://www.kapanlagi.com/h/0000075450_
print.html (10 Sep 2005)
---------. 2004. Daerah Cuma Mendapat Getahnya. Kompas, 15 Desember.
Harijono, T.2003. Tambang Batu Bara, Tak Henti Dililit Masalah. https://www.kompas.com/
kompas-cetak/0309/15/teropong/559000.htm (11 Sep 2005).
Hendarto, K.A. 2005. Proyek Kehutanan Sosial dan Penganggaran Berwawasan Gender:
Suatu Ulasan Teoritis. http://www.dephut.go.id/informasi/SocFor/Gender.htm (14 Sep
2005).
BAGIAN 11 - Catur Budi Wiati 131
Pemerintah Kota Samarinda. 2004. Monografi Kelurahan Bantuas, Kecamatan Palaran.
Samarinda, Indonesia.
Saleh, H.H. 2005. Arah Kebijakan Transmigrasi 2004 – 2009. http://www.202.155.73.229/
PUSINFOTRANS/ARTIKEL (14 Sep 2005).
Sianturi, P. F. 2003. Pemanfaatan Lahan Tidur (Lahan Alang-alang) untuk Pengembangan
Program Transmigrasi. http://www.rudyct.tripod.com (11 Sep 2005).

Center for International Forestry Research (CIFOR) adalah lembaga penelitian
kehutanan internasional terdepan, yang didirikan pada tahun 1993 sebagai
tanggapan atas keprihatinan dunia akan konsekuensi sosial, lingkungan dan
ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan dan kehilangan hutan. Penelitian CIFOR
ditujukan untuk menghasilkan kebijakan dan teknologi untuk pemanfaatan dan
pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di negara-negara berkembang yang bergantung kepada hutan tropis
untuk kehidupannya. CIFOR adalah salah satu di antara 15 pusat Future Harvest di
bawah Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR). Berpusat
di Bogor, Indonesia, CIFOR mempunyai kantor regional di Brazil, Burkina Faso,
Kamerun dan Zimbabwe, dan bekerja di lebih dari 30 negara di seluruh dunia.
Buku ini menceritakan bagaimana masyarakat pedesaan di berbagai pelosok Indonesia berjuang
merawat dan mempertahankan kekayaan alam mereka. Perubahan lingkungan baik alam maupun
sosial politik mempengaruhi kehidupan masyarakat pedesaan baik perempuan maupun lakilaki.
Banyak cerita menakjubkan bagaimana kaum perempuan memegang kunci penting dalam
merespon perubahan di kampungnya, mulai dari kegiatan rehabilitasi hutan, penangkaran kupu-kupu,
rehabilitasi bakau, menghentikan tambang emas, dan membangun aksi-aksi bersama lainnya. Dua
belas pendamping masyarakat dan peneliti muda menulis pengalaman mereka bergumul dengan
masalah gender dan usaha-usaha pelestarian kekayaan alam. Mereka berkumpul pada sebuah lokatulis
selama sepuluh hari pada pertengahan September 2005 di CIFOR, Bogor. Buku ini banyak memberikan
inspirasi bagaimana melakukan inovasi sosial berkenaan dengan masalah-masalah lingkungan hidup
dan pelestarian keragaman hayati melalui proses-proses sederhana dan kreatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar