Minggu, 07 Desember 2014

5. Respondik paper Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender di Mesir

Ahmad Fauzi
1112032100055
Perbandingan Agama (B)
Respondik pepar

Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Mesir
Perempuan dalam peradaban Mesir dihormati dan dihargai. Bahkan perempuan sangat mempunyai peranan yang sangat penting, Bangsa Mesir mempercayakan Negara kepada kaum perempuan, Mereka mampu menguasai Mesir, secara individu maupun kolektif. Mereka menyusun undang-undang, mengadakan hubungan luar negeri dan menciptakan para politisi yang baik. Peradaban Mesir merupakan satu-satunya peradaban yang memberikan status hukum yang sah kepada kaum perepuan dan diakui oleh Negara. Peradaban Mesir juga adalah peradaban yang satu-satunya menjamin hak-hak penuh bagi kaum perempuan untuk bermasyarakat sebagaimana halnya kaum laki-laki. Jadi perempuan Mesir tidak direndahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Seorang penulis yang berkebangsaan Perancis Alexandre Moret berkata bahwa kaum perempuan dalam peradaban Mesir kuno tidak disia-siakan dan tidak ditolak. “Malah sebaliknya perempuan di peradaban Mesir sangat  dihargai  dengan penuh  hormat. Bahkan Kaum Fir’aun memuja dan menghormati kaum perempuan karena menganggapnya sebagai alasan utama untuk kelangsunga hidup, perkembangbiakan, dan penyatuan bangsa.
Gagasan Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi diskursus di kalangan ulama Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini mendapat banyak sorotan dari para ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk menyuarakannya. Ide emansipasi bertujuan untuk membebaskan kaum wanita sehingga mereka memiliki keleluasaan dalam berpikir, berkehendak, dan beraktivitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan mampu memelihara standar moral masyarakat. Kebebasan dapat menggiring manusia untuk maju dan berjejak pada kebahagiaan. Tidak seorang pun dapat menyerahkan kehendaknya kepada orang lain, kecuali dalam keadaan sakit jiwa dan masih anak-anak.23 Karena itulah ia menyarankan adanya perubahan, karena menurutnya tanpa perubahan mustahil kemajuan dapat dicapai.
Qasim Amin melihat wanita pada waktu itu bagaikan budak dan hidup di penjara yang kehilangan kebebasan untuk berbuat dan beraktivitas. Banyak kaum pria yang masih menganggap bahwa mengurung wanita di rumahnya merupakan jalan agar wanita menjadi manusia yang terbaik. Bagi Qasim Amin, memberikan hak kepada lelaki untuk mengurung isterinya jelas bertentangan dengan hak kebebasan wanita yang tidak bisa dicabut dan sekaligus merupakan hak natural.
Menurut Qasim Amin, syari’ah menempatkan wanita sederajat dengan pria dalam hal tanggung jawabnya di muka bumi dan di kehidupan selanjutnya. Jika wanita melakukan tindak kriminal, bagaimana pun juga, hukum tidak begitu saja membebaskannya atau merekomendasikan pengurangan hukuman padanya. Qasim meyakini, tidaklah masuk akal menganggap wanita memiliki rasionalitas yang sempurna, bebas, dan berhak mendapat hukuman jika ia melakukan pembunuhan, sementara di saat yang sama tidak ada tanggapan apa pun atas wanita ketika kebebasannya dirampas.
Kebebasan umum bahwa kebebasan kaum wanita akan membahayakan kesucian mereka, menurut Qasim Amin, tidak berdasarkan pada kenyataan yang kuat. Pengalaman mengindikasikan bahwa kebebasan wanita bisa menambah pengertian akan tanggung jawab dan kehormatan dirinya, dan mendorong orang-orang untuk menghormatinya. Untuk memperkuat analisisnya, Qasim Amin menyajikan data statistik bahwa kaum
Zainab Al-Ghazali Al-Zubaili adalah wanita yang sangat luar biasa. Tokoh wanita asal Mesir dan pelopor gerakan perempuan Islam. Untuk memperjuangkan persamaan hak kaum wanita, yang saat itu tindakan zhalim pemerintahan Mesir ter­jadi di mana-mana. ia dilahirkan di wi­layah Al-Bihira, Mesir, pada 1917. Ia adalah  keturunan khali­fah kedua Islam, Umar bin Khaththab. Ia wafat dalam usia 88 tahun, meninggalkan warisan berupa perjuangan membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis wanita yang tanpa ragu melawan sekula­risme dan liberalis­me.
Pada usia 10 tahun, ia telah memper­lihat­kan ke­pandaian dan kelancar­an­nya da­lam berbicara di depan umum. Ke­inginannya yang sangat kuat, dan tekadnya yang membara, membuat­nya maju untuk menempuh jenjang pen­didik­an tinggi, saat kaum wanita pada saat itu jarang mengenyam pendidikan, ka­rena dianggap tabu. Pada tahun 1936, ketika itu Zainab Al-Ghazali berusia 18 tahun, ia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim, untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum wanita yang sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam. Ia juga aktif di organisasi Persatuan Ke­lompok Feminis Mesir, yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923. Na­mun tak lama, ia kemudian mengundur­kan diri dari organisasi itu, karena ber­sebarangan pendapat mengenai per­juangan menuntut kesetaraan. Zainab Al-Ghazali banyak dipenga­ruhi oleh pendiri Ikhwanul Muslimin, Syaikh Hasan Al-Banna. Ia memegang teguh pandangannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik. Ia ada­lah orang yang lantang mempertahan­kan syari’ah dan kerap menghadapi ma­sa­lah dengan rezim Mesir pada saat itu, Presiden Gamal Abdul Naser. Ia menga­lami hidup yang penuh siksaan dalam tahanan rezim itu.

Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Iran
Negara Iran adalah negara yang menjadi salah satu Negara islam yang cukup berbeda dari Negara-negara Islam lainnya dalam memandang Perempuan pasca Revolusi. Revolusi Islam Iran ini melahirkan konfigurasi yang khasa antara Negara Iran dan Institusi Islam, bahkan revolusi ini merupakan sebuah peristiwa terbesar dalam sejarah yang menandai puncak pergolkan politik antara penguasa Iran dan kelompok ulama yang telah berlangsung lama, dalam system ketatanegaraan Iranyang berpengaruh terhadap system perintahan Iran sekarang akhirnya berkiblat pada Syariah Islam sebagai konstitusi Negara.
Selain politik kenegaraan, syariat Islam, yang mengatur undang-undang Republik Iran, juga berbicara tentang hak dan kewajiban kaum perempuandi dalam Negara, kewajiban perintah memberikan penambahan (proporsi) yang besar atas penuaian hak-hak kaum perempuan yang rezim sebelumnya menderita opresi yang besar.

Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Turki
Di Turki, kehidupan sehari-hari sangat terganggu oleh militerisasi tak berkesudahan di Timur Tengah dan meningkatnya konservatisme secara global. Konflik bersenjata antara militer Turki dan pemberontak Kurdi di wilayah timur dan tenggara Turki serta pemboman yang terjadi belum lama ini di Istanbul dan Izmir membuat isu-isu kesetaraan bagi perempuan, pemberantasan kekerasan terkait jender, dan penegakan hukum berada dalam urutan terrendah dalam agenda public
Pada akhir Agustus 2008, 60 orang perempuan dari beberapa organisasi yang menangani isu-isu perempuan berkumpul di sebuah kota kecil di bagian timur Elazig untuk mengikuti lokakarya tiga hari. Lokakarya ini membahas berbagai isu hak-hak perempuan pada tingkat nasional dan regional. Kelompok-kelompok yang ikut serta di dalamnya termasuk Asosiasi Perempuan Saray (Saray Women Association), Asosiasi Perempuan Van (Van Women's Association), Pusat Perempuan Yaka-Koop and Bitlis Guldunya (Yaka-Koop and Bitlis Guldunya Women's Center), Koperasi Perempuan Filmmor (Filmmor Women's Cooperative) serta Perempuan bagi hak-hak Perempuan (Women for Women's Human Rights)
Gerakan perempuan di Turki telah berhasil melakukan perubahan hukum revolusioner. Pada tahun 2001 mereka berhasil memperbaharui hukum perdata hingga mengakui kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam hal pernikahan, perceraian, hak asuh, warisan, dan hak milik. Hukum Pidana juga diperbarui pada tahun 2004, dan sekarang menjamin otonomi perempuan serta mengakui kepemilikan perempuan atas tubuh dan seksualitas mereka.
Tahun lalu, gerakan perempuan di Turki sekali lagi meregangkan otot politiknya dengan menolak amandemen konstitusi yang diusulkan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (Justice and Developmen Party/AKP) yang bertujuan untuk menghilangkan klausa “laki-laki dan perempuan adalah setara” dalam konstitusi yang ada sekarang. Karena penolakan ini, upaya amandemen ini pun gagal.
Perempuan dan LSM-LSM perempuan di Turki tidak boleh kehilangan arah tujuan mereka, terutama selama atmosfir militeristik masih berlangsung. Mereka harus terus bekerja berdampingan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Gerakan perempuan harus memanfaatkan momentum dan pengaruh politik yang telah mereka bangun selama tahun-tahun terakhir ini dengan terus mendorong solusi-solusi yang adil dan tanpa kekerasan mencapai tujuan-tujuan mereka. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar