Ahmad Fauzi
1112032100055
Perbandingan
Agama (B)
Respondik pepar
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender
di Mesir
Perempuan dalam peradaban Mesir dihormati dan dihargai. Bahkan
perempuan sangat mempunyai peranan yang sangat penting, Bangsa Mesir
mempercayakan Negara kepada kaum perempuan, Mereka mampu menguasai Mesir,
secara individu maupun kolektif. Mereka menyusun undang-undang, mengadakan
hubungan luar negeri dan menciptakan para politisi yang baik. Peradaban Mesir
merupakan satu-satunya peradaban yang memberikan status hukum yang sah kepada
kaum perepuan dan diakui oleh Negara. Peradaban Mesir juga adalah peradaban
yang satu-satunya menjamin hak-hak penuh bagi kaum perempuan untuk
bermasyarakat sebagaimana halnya kaum laki-laki. Jadi perempuan Mesir tidak
direndahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum perempuan dalam
peradaban kuno lainnya. Seorang penulis yang berkebangsaan Perancis Alexandre
Moret berkata bahwa kaum perempuan dalam peradaban Mesir kuno tidak
disia-siakan dan tidak ditolak. “Malah sebaliknya perempuan di peradaban Mesir
sangat dihargai dengan penuh hormat. Bahkan Kaum Fir’aun
memuja dan menghormati kaum perempuan karena menganggapnya sebagai alasan utama
untuk kelangsunga hidup, perkembangbiakan, dan penyatuan bangsa.
Gagasan Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi
diskursus di kalangan ulama Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini
mendapat banyak sorotan dari para ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk
menyuarakannya. Ide emansipasi bertujuan untuk membebaskan kaum wanita sehingga
mereka memiliki keleluasaan dalam berpikir, berkehendak, dan beraktivitas
sebatas yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan mampu memelihara standar moral
masyarakat. Kebebasan dapat menggiring manusia untuk maju dan berjejak pada
kebahagiaan. Tidak seorang pun dapat menyerahkan kehendaknya kepada orang lain,
kecuali dalam keadaan sakit jiwa dan masih anak-anak.23 Karena itulah ia
menyarankan adanya perubahan, karena menurutnya tanpa perubahan mustahil
kemajuan dapat dicapai.
Qasim Amin melihat wanita pada waktu itu bagaikan budak dan hidup
di penjara yang kehilangan kebebasan untuk berbuat dan beraktivitas. Banyak
kaum pria yang masih menganggap bahwa mengurung wanita di rumahnya merupakan
jalan agar wanita menjadi manusia yang terbaik. Bagi Qasim Amin, memberikan hak
kepada lelaki untuk mengurung isterinya jelas bertentangan dengan hak kebebasan
wanita yang tidak bisa dicabut dan sekaligus merupakan hak natural.
Menurut Qasim Amin, syari’ah menempatkan wanita sederajat dengan
pria dalam hal tanggung jawabnya di muka bumi dan di kehidupan selanjutnya.
Jika wanita melakukan tindak kriminal, bagaimana pun juga, hukum tidak begitu
saja membebaskannya atau merekomendasikan pengurangan hukuman padanya. Qasim
meyakini, tidaklah masuk akal menganggap wanita memiliki rasionalitas yang
sempurna, bebas, dan berhak mendapat hukuman jika ia melakukan pembunuhan,
sementara di saat yang sama tidak ada tanggapan apa pun atas wanita ketika
kebebasannya dirampas.
Kebebasan umum bahwa kebebasan kaum wanita akan membahayakan kesucian
mereka, menurut Qasim Amin, tidak berdasarkan pada kenyataan yang kuat.
Pengalaman mengindikasikan bahwa kebebasan wanita bisa menambah pengertian akan
tanggung jawab dan kehormatan dirinya, dan mendorong orang-orang untuk
menghormatinya. Untuk memperkuat analisisnya, Qasim Amin menyajikan data
statistik bahwa kaum
Zainab Al-Ghazali Al-Zubaili adalah wanita yang sangat luar biasa.
Tokoh wanita asal Mesir dan pelopor gerakan perempuan Islam. Untuk
memperjuangkan persamaan hak kaum wanita, yang saat itu tindakan zhalim
pemerintahan Mesir terjadi di mana-mana. ia dilahirkan di wilayah Al-Bihira,
Mesir, pada 1917. Ia adalah keturunan khalifah kedua Islam, Umar bin
Khaththab. Ia wafat dalam usia 88 tahun, meninggalkan warisan berupa perjuangan
membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis wanita yang tanpa ragu melawan
sekularisme dan liberalisme.
Pada usia 10 tahun, ia telah memperlihatkan kepandaian dan
kelancarannya dalam berbicara di depan umum. Keinginannya yang sangat kuat,
dan tekadnya yang membara, membuatnya maju untuk menempuh jenjang pendidikan
tinggi, saat kaum wanita pada saat itu jarang mengenyam pendidikan, karena
dianggap tabu. Pada tahun 1936, ketika itu Zainab Al-Ghazali berusia 18 tahun,
ia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim, untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan
kaum wanita yang sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk
kepentingan-kepentingan Islam. Ia juga aktif di organisasi Persatuan Kelompok
Feminis Mesir, yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923. Namun tak lama,
ia kemudian mengundurkan diri dari organisasi itu, karena bersebarangan
pendapat mengenai perjuangan menuntut kesetaraan. Zainab Al-Ghazali banyak
dipengaruhi oleh pendiri Ikhwanul Muslimin, Syaikh Hasan Al-Banna. Ia memegang
teguh pandangannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik. Ia adalah
orang yang lantang mempertahankan syari’ah dan kerap menghadapi masalah
dengan rezim Mesir pada saat itu, Presiden Gamal Abdul Naser. Ia mengalami
hidup yang penuh siksaan dalam tahanan rezim itu.
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender
di Iran
Negara Iran adalah negara yang menjadi salah satu Negara islam yang
cukup berbeda dari Negara-negara Islam lainnya dalam memandang Perempuan pasca
Revolusi. Revolusi Islam Iran ini melahirkan konfigurasi yang khasa antara
Negara Iran dan Institusi Islam, bahkan revolusi ini merupakan sebuah peristiwa
terbesar dalam sejarah yang menandai puncak pergolkan politik antara penguasa Iran
dan kelompok ulama yang telah berlangsung lama, dalam system ketatanegaraan
Iranyang berpengaruh terhadap system perintahan Iran sekarang akhirnya
berkiblat pada Syariah Islam sebagai konstitusi Negara.
Selain politik kenegaraan, syariat Islam, yang mengatur
undang-undang Republik Iran, juga berbicara tentang hak dan kewajiban kaum
perempuandi dalam Negara, kewajiban perintah memberikan penambahan (proporsi) yang besar atas penuaian hak-hak
kaum perempuan yang rezim sebelumnya menderita opresi yang besar.
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender
di Turki
Di Turki, kehidupan sehari-hari
sangat terganggu oleh militerisasi tak berkesudahan di Timur Tengah dan
meningkatnya konservatisme secara global. Konflik bersenjata antara militer
Turki dan pemberontak Kurdi di wilayah timur dan tenggara Turki serta pemboman
yang terjadi belum lama ini di Istanbul dan Izmir membuat isu-isu kesetaraan
bagi perempuan, pemberantasan kekerasan terkait jender, dan penegakan hukum
berada dalam urutan terrendah dalam agenda public
Pada akhir Agustus 2008, 60 orang
perempuan dari beberapa organisasi yang menangani isu-isu perempuan berkumpul
di sebuah kota kecil di bagian timur Elazig untuk mengikuti lokakarya tiga
hari. Lokakarya ini membahas berbagai isu hak-hak perempuan pada tingkat
nasional dan regional. Kelompok-kelompok yang ikut serta di dalamnya termasuk
Asosiasi Perempuan Saray (Saray Women Association), Asosiasi Perempuan Van (Van
Women's Association), Pusat Perempuan Yaka-Koop and Bitlis Guldunya (Yaka-Koop
and Bitlis Guldunya Women's Center), Koperasi Perempuan Filmmor (Filmmor
Women's Cooperative) serta Perempuan bagi hak-hak Perempuan (Women for Women's
Human Rights)
Gerakan perempuan di Turki telah
berhasil melakukan perubahan hukum revolusioner. Pada tahun 2001 mereka
berhasil memperbaharui hukum perdata hingga mengakui kesetaraan perempuan dan
laki-laki dalam hal pernikahan, perceraian, hak asuh, warisan, dan hak milik.
Hukum Pidana juga diperbarui pada tahun 2004, dan sekarang menjamin otonomi
perempuan serta mengakui kepemilikan perempuan atas tubuh dan seksualitas
mereka.
Tahun lalu, gerakan perempuan di
Turki sekali lagi meregangkan otot politiknya dengan menolak amandemen
konstitusi yang diusulkan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (Justice and
Developmen Party/AKP) yang bertujuan untuk menghilangkan klausa “laki-laki dan
perempuan adalah setara” dalam konstitusi yang ada sekarang. Karena penolakan
ini, upaya amandemen ini pun gagal.
Perempuan dan LSM-LSM perempuan di
Turki tidak boleh kehilangan arah tujuan mereka, terutama selama atmosfir
militeristik masih berlangsung. Mereka harus terus bekerja berdampingan untuk
mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Gerakan perempuan harus
memanfaatkan momentum dan pengaruh politik yang telah mereka bangun selama
tahun-tahun terakhir ini dengan terus mendorong solusi-solusi yang adil dan
tanpa kekerasan mencapai tujuan-tujuan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar