Minggu, 07 Desember 2014

ebook Argumen Kesetaraan Gender - Perspektif Al-Quran:

Argumen Kesetaraan Gender - PSearrsip 2e4k t (if2 0A0l6-Q) 4u9ra -n 58 49
Argumen Kesetaraan Gender - Perspektif Al-Quran:
Satu Komentar
MUHAMMAD BUKHARI LUBIS
ABSTRAK
Rencana ulasan ini menawarkan diskusi dasar tentang soal gender dan
seksualitas menurut perspektif Islam berbasis buku yang berjudul Argumen
Kesetaraan Gender - Perspektif al-Quran, karya Nasaruddin Umar. Penulis
mengemukakan dua hal pokok yang menjadi dasar dalam diskusi
al-Quran tentang soal hubungan antara pria dan perempuan, yaitu
"Perbedaan" (distinction), dan "diferensiasi" (discrimination). Ternyata bahwa
sertifikat Islam terhadap soal "perbedaan" antara kedua jenis kelamin tidak
sama sekali membenarkan "diferensiasi" yang miring mengakui dominasi
satu gender terhadap gender yang lain. Sebaliknya, "perbedaan" yang
sertifikat itu menjadi landasan bagi termetrinya ikatan kasih sayang
(Mawaddah wa rahmah) antara kedua gender yang saling memahami
peran serta kontribusi masing-masing.
ABSTRACT
This is a review of a book on gender and sexuality from the perspective of
Islam. The author brings up two main issues on the relationship between men
and women and argues that biological sex differences should not equate
domination of one sex over the other. Instead, biological differences make
possible for love between the two to blossom (mawaddah wa rahmah) because
each gender has his or her own roles to play which complement each other.
PENGENALAN
Buku yang diulas ini berasal dari tesis Ph.D yang telah Nasaruddin Umar
ajukan kepada Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri) Syarif
Hadiyatullah, Jakarta. M. Quarish Shihab, supervisor utama penulisan tesis, yang
juga menulis kata pengantar buku ini mengatakan karya ini "memiliki beberapa
kekhususan yang jarang, dan bahkan belum pernah ditemukan di dalam bukubuku
lain. "Buku yang diterbitkan Paramadina di Jakarta pada tahun 1999 itu
terdiri dari enam bab. Bab I dan VI terdiri dari pendahuluan dan
50 Sari 24
kesimpulan. Sementara Bab II memaparkan teori gender sekilas, Bab III
menyorot Jazirah Arab pada al-Quran diturunkan, sementara bab-bab utama
buku ini adalah Bab IV yang membahas identitas gender dalam al-Quran dengan
Bab V membuat tinjauan kritis terhadap konsepnya dalam al-Quran.
Perdebatan kesetaraan gender ini berusaha untuk melahirkan pemahaman
yang benar tentang relasi seksual dan gender. Itulah juga yang diperingatkan
penulis agar kita berhati-hati dalam memahaminya. Kiranya relasi seksual
adalah hubungan antara lelaki dengan perempuan dengan berlandaskan tuntutan
dan kelompok biologi, maka relasi gender adalah konsep dan realitas sosial yang
berbeda, karena menekankan bahwa pembagian kerja seksual antara pria
dengan perempuan tidaklah berpusat pemahaman normatif dan kelompok
biologi, tetapi pada kualitas, keterampilan, keahlian dan peran yang berdasarkan
konvensi sosial. Karena kelalaian atau kealpaan selama ini, menurut
penulis, maka ada beberapa istilah yang terkait gender dalam al-Quran
itu tidak dibedakan, maka menjurus kepada kelompok seksual-biologis yang
mengacu kepada konsep gender, bahkan sering pula dikaburkan.
Sebelum membahas persoalan gender, ada baiknya diketengahkan dua
hal yang terkait perempuan. Pada umumnya, al-Quran mengakui adanya
perbedaan antara pria dengan wanita, meskipun perbedaan itu tidaklah
sampai menjadi pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak
dan merugikan yang lain. Perbedaan ini, demi mendukung obsesi al-Quran, yaitu
lahirnya hubungan harmonis yang berlandaskan rasa kasih sayang (mawaddah
wa rahmah) dalam keluarga (s. al-Rum [30]: 21), sebagai benih yang membawa
kepada masyarakat ideal dalam negeri yang damai dan penuh ampunan
(Baldatun tayyibatun wa Rabbun Ghafur - s. Saba '[34]: 15). Selain itu,
konsep tentang relasi gender dalam agama Islam akan menjurus kepada ayatayat
pohon yang sekaligus menjadi tujuan umum Syari'ah (maqasid al-Sharicah),
seperti yang mewujudkan keadilan dan kesejahteraan (s. al-Nahl [16]: 90), keamanan
dan ketenteraman (s. al-Nisa '[4]: 58) dan menyeru kepada kebaikan serta
mencegah kemungkaran (s. Ali cImran [3]: 104). Nilai-nilai keadilan, tingkat
keamanan, ketenteraman, kebaikan atau keburukan, memang sulit diukur, namun
yang dimaksud dalam ayat-ayat tadi tentulah yang bersifat universal.
Dari satu segi, perempuan yang sering disalahtafsirkan itu memiliki
tampilan tersendiri, seperti yang terekam dalam al-Quran. Yang harus
diambil ikhtibar dari dua gambaran perempuan ini adalah citra yang ideal
dengan citra yang berkembang dalam sejarah dunia Islam. Citra wanita yang
diidealkan dalam al-Quran adalah wanita yang memiliki kemandirian politik (alistiqlal
al-siyasi - s. al-Mumtahanah [60]: 12), sebagaimana yang tergambar
dalam pribadi Ratu Balqis, perempuan penguasa yang memiliki pemerintah
superpower la-ha carshun cazim (s. al-Naml [27]: 23), dan memiliki kemandirian
ekonomi (s. al-istiqlal al-iqtisadi - s. al-Nahl [16]: 97), seperti pemandangan
yang disaksikan Nabi Musa AS di Madyan, wanita pengelola peternakan (s. al-
Qasas [28]: 23) dan juga memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan pribadi
Argumen Kesetaraan Gender - Perspektif Al-Quran 51
(Al-istiqlal al-shakhsi) yang diyakini kebenarannya, biarpun menghadapi suami
bagi wanita yang telah berkeluarga (s. al-Tahrim [66]: 11), atau menentang
pendapat umum bagi wanita yang belum berkeluarga (s. al-Tahrim [66]: 12). Wanita
juga dapat menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan menentang berbagai
kebinasaan (s. al-Tawbah [9]: 71). Bahkan, al-Quran menyeru untuk memerangi
negeri yang menindas kaum wanita (s. al-Nisa '[4]: 5) karena pria dan perempuan
sama-sama berpotensi menjadi khalifatun fi al-ard [s. al-Nahl [16]: 97) dan
sebagai hamba (cabid - s. al-Nisa '[4]: 124).
Dalam bab pendahuluan, yang penting dinyatakan penulis adalah sebabsebab
yang menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap gender, termasuk:
1. Tidak jelas membedakan sex dari gender dalam mendefinisikan peran
lelaki dan perempuan.
2. Pengaruh kisah-kisah Isra'iliyat yang berkembang luas di Asia Barat.
3. Cara penafsiran yang selama ini banyak yang menjurus kepada pendekatan
tekstual, bukannnya kontekstual. Ini adalah karena kecenderungan
menggunakan tafsir secara kronologis (tahlîlî) tanpa memperhitungkan cara
tafsir tematis (mawduci).
4. Mungkin pembaca tidak netral dalam memilih teks ayat-ayat al-Quran
atau terlalu dipengaruhi perspektif lain dalam membaca ayat-ayat gender,
sehingga terasa seolah-olah al-Quran mendukung pria dan mendukung
patriarki yang pada pandangan kaum feminis merugikan kaum wanita.
Pemahaman perbedaan gender ini dapat disebabkan pembacaan ayat-ayat
gender secara sekerat-sekerat.
5. Pengarang menyatakan bahwa penelitiannya ini berdasarkan penelitian
perpustakaan saja. Tujuan utama penyelidikannya pastilah mushaf al
Quran, dan terjemahan yang digunakannya adalah al-Quran dan Terjemahnya
(Hasil usaha Departemen Agama Republik Indonesia) dan The Holy Quran,
terjemahan A. Yusof Ali (rh). Pengarang banyak merujuk kitab tafsir yang
berwibawa, misalnya Tafsir al-Manar oleh MR Rida, Tafsir Ibn Kathir,
Tafsir al-Kabir / Tafsir al-Razi oleh Fakhr al-Razi, Jamic Ahkam al-Qur'an
oleh al-Qurtubi, Jamic al-Bayan can Ta 'wil Ayi al-Qur'an oleh al-Tabari,
Tafsir al-Maraghi, Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an oleh Muhammad
'Ali al-Sabuni, Tafsir al-Jalalayn oleh Jalalu'l-Din Muhammad ibn al-Mahalli
& Jalalu'l-Din cAbd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuti, Tafsir al-Munir Li-
Macalim al-Tanzil oleh Muhammad Nawawi al-Jawi dan al-Mizan fi Tafsir
al-Qur'an oleh Muhammad Husain al-Tabataba'i. Dia juga merujuk
beberapa buku tafsir lain sebagai perbandingan, termasuk indeks al-Quran.
Dalam pendekatan ilmu tafsir, penulis lebih banyak menggunakan cara
tematis dari cara kronologis berdasarkan urutan ayat, karena cara tematis
lebih relevan dengan judul yang dibahasnya; dan secara subtansial, cara ini
lebih mampu menggambarkan metode keadilan gender dalam al-Quran. Walau
Namun, dalam beberapa hal penulis turut menggunakan cara Mahalli
52 Sari 24
untuk memahami konteks ayat. Pendekatan lain yang turut digunakan adalah cara
analisis sejarah dan cara hermeneutik.
Bab II buku ini membahas teori gender secara singkat. Tarifnya tentang
gender, antara lain, berbunyi: "interpretasi mental dan kebudayaan terhadap
perbedaan kelamin (pria dan wanita). Gender sering digunakan untuk
menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi pria dan wanita. "
Ada perbedaan antara sex dengan gender. Ulasan gender lebih
menitikberatkan perkembangan aspek kejantanan (masculinity / rajuliyah) atau
keperempuanan (femininity / nisa'iyah) orang yang bersangkutan. Ini berbeda dengan
penelitian seks yang lebih difokuskan pada perkembangan aspek biologis dan
komposisi kimia dalam tubuh pria (maleness / dhukurah) dan perempuan
(Femaleness / unuthah). Istilah seks pada umumnya mengacu pada soal reproduksi
dan kegiatan seksual, selain itu digunakan pula istilah gender.
Untuk menjelaskan perbedaan dan persamaan peran gender pria dan
perempuan, penulis menggunakan beberapa teori yang berpengaruh, yaitu
1. Teori Psikoanalisis / Identifikasi,
2. Teori Fungsionalis Struktural,
3. Teori Konflik,
4. Teori-teori Feminis (Feminisme liberal, Feminisme Marxis-Sosialis, Feminsime
Radikal), dan
5. Teori Sosio-Biologi.
Karena terlalu berat untuk merumuskan teori-teori itu, maka saya
cuma mengutip pengelompokan teori seperti yang dikemukakan penulis:
Sebelum membahas ayat-ayat al-Quran yang terkait, penulis terlebih
dahulu ingin membicarakan tempat wahyu ini ditanzilkan. Untuk itu, ia
mengkhususkan Bab III untuk membahas Jazirah Arab pada al-Quran
diturunkan. Banyak aspek yang disentuhnya seperti pengertian Jazirah Arab itu
sendiri, sejarah pra-Islam, kondisi internasional, stratifikasi sosial, sistem
kekerabatan dan relasi gender.
Kemudian penulis menjuruskan perdebatan kepada identitas gender dalam
al-Quran, seperti yang dikhususkannya dalam Bab IV. Pertama, beliau mengupas
istilah yang menunjukkan pria dan perempuan. Sehubungan itu, ada
beberapa pengertian untuk al-rajul (pria). Diantaranya adalah:
1. gender pria (misal: s. Al-Baqarah [2]: 282, 228, dan al-Nisa '[4]: 34, 32);
2. orang, baik pria maupun perempuan (misal: s. Al-Acraf [7]: 46, dan al-
Ahzab [33]: 23);
3. Nabi atau Rasul (misal: s. Al-Anbiya '[21]: 7, Saba' [34]: 7;
4. tokoh masyarakat (misal: s. Yasin [36]: 20, al-Acraf [7]: 48);
5. hamba (misal: s. Al-Zumar [39]: 29).
Argumen Kesetaraan Gender - Perspektif Al-Quran 53
No Teori Pertanyaan Karakteristik Evaluasi
Psikoanalisis Bagaimana proses terjadinya
perbedaan gender pada diri setiap
orang
Perbedaan gender ditentukan faktor psikologis.
Perkembangan relasi gender mengikuti perkembangan
psikoseksual, terutama dalam masa phallic stage, ketika
seseorang anak menghubungkan identitas ayah-ibunya
dengan alat kelamin yang dimiliki mereka.
Terlalu sexist. Menyangkal
Faktor lain yang turut
berpengaruh dalam
pembentukan gender.
1
Struktual
Fungsionalisme
Bagaimana masyarakat dapat
bersatu? Unsur apa yang
berpengaruh dalam masyarakat?
Dan apa fungsi setiap unsur
tersebut?
Sistem yang terintegrasi dari berbagai unsur membuat
masyarakat itu stabil. Setiap unsur harus bekerja
menurut fungsinya. Pria dan perempuan menjalankan
perannya masing-masing.
Mentolerir sistem patriarki
yang dinilai merugikan
perempuan. Masyarakat
sudah jauh berubah, fungsi
setiap unsur sulit
dipertahankan.
2
Teori Konflik Bagaimana pembagian kelas
dalam masyarakat? Faktor apa
yang berpengaruh dalam
ketimpangan sosial? Bagaimana
usaha setiap kelas mendapat
posisi yang menguntungkan?
Menekankan pembagian kelas, sebagian diuntungkan
dan sebagian dirugikan. Dasar ekonomi yang tidak adil
memicu terjadinya konflik dan perubahan sosial.
Terjadinya subordinasi perempuan akibat pertumbuhan
hak milik pribadi.
Terlalu berorientasi
ekonomi dalam menilai
posisi perempuan.
Menyangkal semua faktor
biologi.
3
Teori-teori
Feminis
Bagaimana stereotip gender itu
terbentuk? Mungkinkah ada tata
dunia baru yang berkeadilan gender?
Kodrat perempuan tidak ditentukan faktor biologi,
melainkan faktor budaya masyarakat. Sistem patriarki
perlu ditinjau karena merugikan perempuan.
Kemitrasejajaran pria dan perempuan diusulkan sebagai
ideologi dalam tata dunia baru.
Dinilai kurang realistis.
Tidak didukung kekuatan
politik yang didominasi
pria.
4
Teori Sosiobiologi
Faktor biologi dan sosiologi apa
yang menguntungkan pria dan
sebab menjadi kelemahan
perempuan?
Kombinasi faktor biologis dan faktor sosial menyebabkan
pria lebih unggul dari perempuan. Fungsi reproduksi
perempuan dianggap sebagai faktor penghambat untuk
mengimbangi kekuatan pria.
Tidak dapat menjelaskan
variasi penting yang
berpengaruh dalam
pembentukan relasi gender.
5
54 Sari 24
Dalam pada itu, ada pula kata al-rajul yang memberi arti jenis kelamin
pria (al-Dhakar) karena ia berbicara dalam konteks reproduksi dan hubungan
seksual. Namun, setelah dikaji sehalusnya, ternyata ayat tersebut lebih berat
menekankan gender pria. Ayat-ayat itu adalah s. al-Nisa '[4]: 1 dan al-Naml [27]: 55.
Untuk kata al-Nisa 'yang membawa makna yang pertama gender
perempuan (misal: al-Nisa '[4]: 7, 32) dan kedua istri (misal: al-Baqarah
[2]: 222, 223), kata yang turut dibahas ialah al-Dhakar dan al-Untha.
Kata al-Dhakar lebih banyak disebut untuk menyatakan pria dari segi
faktor biologis (misal: s. Ali cImran [3]: 36. Dalam terjemahan Melayu tidak ada
perbedaan antara al-Rajul dan al-Dhakar. Kata al-Dhakar dan al-Untha
ini juga digunakan untuk spesies binatang (misal: s. al-Ancam [6]: 143). Demikian
juga kata al-Dhakarayn dan al-Unthayayn, seperti dalam ayat yang baru
disebut, itu menjurus kepada jenis jantan dan betina pada binatang. Di sini dapat
dibuat rumusan bahwa kata al-Dhakar dan al-Untha lebih ditekankan
kepada hal yang bersifat biologis. Namun, kata ini ada juga yang berhubungan
dengan fungsi dan relasi gender (misal: s. al-Nisa '[4]: 11).
Kata yang mirip dengan al-Rajul adalah al-Mar '. Ini digunakan untuk
orang dewasa yang sudah efisien bertindak (misal: s. cabasa [80]: 34-35, al-Thur
[52]: 21); sementara kata al-Mar'ah atau al-Imra'ah pula menunjukkan arti
perempuan yang mencapai kedewasaan dan kematangan. Oleh sebab itu,
kata imra'ah sering diartikan sebagai istri, seperti istri Firaun, istri 'Imran,
istri Nuh dan istri Lut (s. al-Qashash [28]: 29, Ali cImran [3]: 35, al-Tahrim [66]: 10).
Pengarang berikutnya membahas gelar status yang berhubungan jenis kelamin,
seperti kata suami (al-zawj) dan istri (al-zawjah). Kata al-zawj
memberi keragaman makna. Antaranya pasangan genetik jenis manusia (misal:
al-Nisa '[4]: 1); pasangan genetik dalam dunia fauna (misal: s. al-Syura [42]: 11);
pasangan genetik dalam dunia flora (misal: s. Qaf [50]: 7); pasangan dalam arti
isteri (misal: s. al-Ahzab [33]: 37) dan pasangan dari segala sesuatu yang
berpasang-pasangan (misal: s. al-Dhariyat [51:49).
Kata lain yang terkait adalah ayah (al-ab) dan ibu (al-umm). Kata
al-ab itu dapat dierti sebagai ayah (misal: s. Yusuf [12:63]; orang tua (senior)
(Misal: s. Al-Tawbah [9]: 23); nenek moyang atau leluhur (misal s. al-Baqarah [2]:
170). Sementara itu, al-umm memberi makna ibu kandung (misal: s. Al-Qasas
[28]: 7); untuk menekankan suatu yang dianggap inti dan utama, seperti kata
umm al-kitab (misal: s. Ali cImran [3]: 7) dan juga tempat tinggal atau tempat
kembali (misal: al-Qaricah [101]: 9). Pasangan istilah lain yang penting adalah anak
pria (al-ibn) dan anak perempuan (al-bint). Kebanyakan al-ibn dalam al-Quran
memberi arti anak, apakah anak yang dihubungkan dengan nama ibunya (misal:
'Isa bin Maryam) atau dihubungkan dengan sesuatu (' Uzayr ibn Allah), atau
dengan putera ibu (ibn umm), atau anak-anak yang dalam perjalanan (ibn alsabil).
Ada juga dalam bentuk jamak, seperti Abna ', banin, BANUN. Kesemuanya
menunjukkan pengertian anak-anak atau anak cucu tanpa dibedakan jenis
kelaminnya (misal: s. Ali cImran [3]: 14). Sementara itu, kata jamak kepada
Argumen Kesetaraan Gender - Perspektif Al-Quran 55
bint yaitu banat memberi makna anak-anak perempuan saja (misal: s. al-Nisa '
[4]: 23 dan al-Ahzab [33]: 59). Selain kata ibn, selalu juga digunakan istilah
al-walad dan kata jamaknya awlad. Pengertiannya tidak banyak berbeda dengan
makna al-ibn. Ada masanya al-walad berarti anak lelaki (mial: s. Al-Nisa '[4]: 176)
dan kadang-kadang itu berarti anak tanpa membedakan anak lelaki dan
perempuan dan bentuk begini yang lebih banyak (misal: s. Saba '[34]: 37).
Selanjutnya penulis membahas ganti nama yang berhubungan jenis
kelamin, seperti yang ditunjukkan di bawah ini:
1. Ganti nama orang pertama (Damir mutakallim), apakah tunggal atau jamak
dengan tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan (misal: s. al-Isra '
[17]: 31),
2. Ganti nama orang kedua (Damir mukhatab). Ada perbedaan antara ganti
nama terpisah pria dengan ganti terpisah perempuan (anta dan anti),
dan juga ganti nama terhubung antara lelaki dengan perempuan (ka dan
ki) (misal: s. al-Baqarah [2]: 35, al-Acraf [7]: 19, al-Baqarah [2]: 128, al-Naml
[27]: 24). Untuk dua orang, semuanya sama: ganti nama terpisah antuma dan
ganti nama bersambung kuma yang berarti apakah kedua kamu
itu pria, atau kedua-duanya perempuan, atau seorang pria dan seorang
lagi wanita (misal: s. al-Acraf [7]: 19). Ganti nama pria jamak, baik yang
terpisah antum maupun yang terhubung kum; sementara untuk
perempuan, yang terpisah itu antunna dan yang terhubung itu kunna
(Misal: s. Al-Baqarah [2]: 187, al-Ahzab [33]: 33).
3. Ganti nama orang ketiga (Damir gha'ib). Untuk pria tunggal digunakan
kata huwa bagi yang terpisah, dan hu atau hi bagi yang terhubung
(Misal: s. Yusuf [12]: 23). Untuk perempuan tunggal, bagi yang terpisah
digunakan hiya dan yang terhubung ha (misal: s. Yusuf [12]: 26).
4. Kata sifat yang disandarkan kepada bentuk mudhakkar dan mu'annath
karena ada sifat-sifat tertentu yang disandarkan kepada seseorang, seperti
kata muslimun (orang-orang Islam pria) dan muslimat (orang-orang
Islam perempuan). Contoh lain adalah Mu'minun dan Mu'minat, salihun dan
salihat. Ada masanya contoh begini disebut secara berderetan dan
bergantian antara lelaki dengan perempuan. Sesekali disebut bentuk
mudhakkarnya saja, namun dimaksudkan juga untuk mengikat jenis
mu'annathnya. Penulis mengingatkan bahwa khitab mudhakkar dengan
sendirinya mengikat kaum perempuan (kecuali ada nash lain yang
menafikannya); tetapi sebabnya khitab mu'annath hanya mengikat kaum
wanita saja, tidak mengikat pria. Pernyataan ini jangan sampai mendorong
orang untuk menyimpulkan bahwa berbagai khitab dalam al-Quran penuh
dengan perbedaan gender. Substansi ide dalam sesuatu khitab tidak
semestinya dianggap mengutamakan perbedaan gender karena diungkapkan
dalam bentuk redaksi yang tampaknya sedemikian.
56 Sari 24
Dalam bab V yang meninjau konsep gender ini secara kritis, penulis pada
awalnya mengupas asal usul manusia sebagai makhluk biologis, maksudnya
berasal dari air (lihat s. al-Anbiya '[21]: 30, al-Ancam [6]: 99, dan al-Nur [24]: 45).
Kemudian, ia mengatakan asal usul spesies manusia pertama yang berasal
dari tanah (lihat s. Nuh [71]: 17-18, Taha [20]: 55, Hud [11]; 61, al-Hajj [22]: 5, al-
Ancam [6]: 2, al-Saffat [37]: 1, al-Rahman [55]: 14, al-Hijr [15]: 26, 28-29, al-
Mu'minun [23]: 12, al-Furqan [25]: 54, al-Nisa '[4]: 1, al-Acraf [7]: 11, al-Infitar
[82]: 7-8, dan al-Tin [95]: 4). Penulis juga menjelaskan proses kelanjutan dan
perkembangan manusia, yang sering disebut reproduksi, dengan mengaitkan
beberapa ayat al-Quran, seperti al-Qiyamah [75]: 37, al-Insan [76]: 2, al-Sajdah
[32]: 8 dan al-Mu'minun [23]: 14. Berdasarkan ayat-ayat tadi, terlihat al-Quran
menggunakan dua belas istilah yang dapat dianggap sebagai argumen pokok
kejadian manusia: al-ma '(air), al-ard (tanah / bumi), al-turab (tanah subur), Altin
(Tanah liat), kaleng lazib (tanah liat yang pekat), salsalin ka'l-fakhkhar (tanah
liat seperti tembikar), salsal min hama'in masnun (tanah liat dari lumpur yang
diacu, Nafsin wahidah (diri yang satu), sulalatin min kaleng (sari pati tanah liat),
maniyyin Yumna (mani yang ditumpahkan), nutfatin amshaj (cairan mani yang
bercampur), dan Ma'in mahin (cairan yang hina).
Selanjutnya penulis mengajukan beberapa ukur tara yang baku dalam
menganalisis metode kesetaraan dalam al-Quran. Antara lain:
1. Pria dan wanita sama-sama sebagai hamba (s. Al-Dhariyat [51]: 56).
Yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling banyak bertakwa,
terlepas dari pria atau perempuan (s. al-Hujurat [49]: 13). Memang ada
fitur-fitur khusus yang diperuntukkan kepada pria, seperti suami berada
setingkat lebih tinggi di atas istri (s. al-Baqarah [2]: 228), pria pelindung
bagi perempuan (s. al-Nisa '[4]: 34), mendapat warisan pesaka lebih banyak
(S. Al-Nisa '[4]: 11), menjadi saksi yang efektif (s. Al-Baqarah [2]: 282),
diizinkan berpoligami bagi yang memenuhi syarat (s. al-Nisa '[4]: 3). Akan
tetapi, ini bukanlah tiket untuk menyebabkan pria menjadi hamba-hamba
utama. Keistimewaan ini diberi kepada pria dengan kemampuannya sebagai
anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih, ketika
ayat-ayat al-Quran itu ditanzilkan. Sebagai hamba Allah, baik pria
maupun perempuan, akan mendapat penghargaan dari Tuhan, sesuai
dengan harga pengabdiannya (s. al-Nahl [16]: 97).
2. Pria dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Selain berarti menjadi
cabid, manusia - apakah pria atau perempuan - bertujuan untuk
menjadi khalifah di muka bumi ini (s. al-Ancam [6]: 165, al-Baqarah [2]: 30).
3. Pria dan perempuan menerima perjanjian primordial. Setiap anak yang
lahir harus menerima perjanjian dengan Tuhannya, seperti yang terpapar
dalam surah al-Acraf [7]: 172. Selain itu, Allah memuliakan semua anak
cucu Adam (s. al-Isra '[17]: 70). Menurut tradisi Islam, perempuan tidak
pernah dianggap sebagai subordinasi pria, sebagaimana yang ada
dalam doktrin agama yang lain, bahkan perempuan mukallaf dapat melakukan
Argumen Kesetaraan Gender - Perspektif Al-Quran 57
berbagai perjanjian, sumpah dan nazar, baik sesama manusia maupun kepada
Tuhan. Tidak ada perilaku yang dapat menjatuhkan janji,
sumpah atau nazar mereka sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam surah
al-Ma'idah [5]: 89. Begitu juga dalam tradisi Islam, ayah dan suami juga
memiliki wibawa khusus, tetapi tidak sampai mencampuri urusan iltizam
pribadi perempuan dengan Tuhannya. Dalam urusan keduniaan pun,
perempuan mendapatkan haknya. Dalam politik, perempuan akan berbai'ah
kepada Nabi.
4. Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmos. Beberapa rumusan
dari drama ini dapat diambil. Diantaranya adalah
a. Keduanya dibuat di surga dan memanfaatkan fasilitas
surgawi (s. al-Baqarah [2]: 35).
b. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan
(S. Al-Acraf [7]: 20).
c. Sama-sama memakan buah khuldi dan menerima akibat jatuh ke bumi (s.
al-Acraf [7]: 22).
d. Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (s. Al-
Acraf [7]: 23).
e. Setelah berada di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan
saling melengkapi dan membutuhkan (s. al-Baqarah [2]: 187).
5. Pria dan perempuan berpotensi meraih prestasi. Tidak ada perbedaan dari
segi peluang untuk meraih prestasi seoptimal mungkin. Lihat surah
Ali cImran [3]: 195, al-Nisa '[4]: 124, al-Nahl [16]: 97, dan Ghafir [40]: 40.
Penulis mengaku adanya perbedaan gender dalam pemahaman teks. Dia
menegaskan ada beberapa teori dapat digunakan untuk menganalisis teks. Antaranya
teori semantik, teori semiotik dan teori hermeneutik. Dia menekankan lebih banyak
menggunakan teori hermeneutik dalam penelitiannya karena lebih sesuai dengan
kajian ilmu tafsir yang menjadi tujuan penelitiannya. Dia juga mengingatkan kita
kepada perbedaan gender dalam penafsiran teks. Bila ditelusuri, itu terjadi
karena beberapa faktor:
a. Pembakuan tanda huruf, tanda baca dan qira'at.
b. Pengertian kosakata (mufrada).
c. Penetapan referensi kata ganti (Damir).
d. Penetapan batas pengecualian (istithna).
e. Penetapan arti huruf ca tf.
f. Bias dalam struktur bahasa Arab.
g. Bias dalam kamus bahasa Arab.
h. Bias dalam cara tafsir.
i. Pengaruh riwayat Isra'iliyat.
j. Bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab fiqih.
Faktor-faktor ini diberi contoh dalam penelitian ini.
58 Sari 24
Demikian sedikit sebanyak yang dapat diulas tentang judul yang amat
besar ini. Buku ini sangat baik dibaca, khususnya mereka yang peduli terhadap
faham feminisme atau persoalan gender. Yang ingin memahaminya dengan lebih
jelas dan rinci, rujuklah buku ini. Sebagai finishing ulasan ini, izinkan saya
mengutip paragraf terakhir buku ini:
"Ayat-ayat gender turun secara sistematis di dalam suatu lingkup budaya yang sarat
dengan ketimpangan peran jender. Dengan dipandu oleh pribadi seorang nabi dan Rasul
maka implementasi ayat-ayat jender dapat disosialisasikan dalam waktu yang relatif
cepat. Nabi Muhammad [saw] masih sempat menyaksikan kaum perempuan menikmati
beberapa kemerdekaan yang tidak pernah dialami sebelumnya .... Hanya saja sering kali
ditemukan unsur budaya lokal lebih dominan di dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Termasuk dalam hal ini terjadinya maskulinisasi epistimologis, sebagaimana dapat dilihat
di dalam ... khususnya pembahasan tentang bias jender dalam studi teks ".
Muhammad Bukhari Lubis, PhD
Departemen Sastra Melayu
Fakultas Bahasa
Universiti Pendidikan Sultan Idris
35900 Tanjung Malim
Perak
e-mail: bohari@upsi.edu.my

Tidak ada komentar:

Posting Komentar