Ahmad
Fauzi
1112032100055
Relasi Gender dalam Agama-agama
RESPONDING PAPER
PERGERAKAN
PEREMPUAN DARI MASA KE MASA
Ketika
masa prakemerdekaan, gerakan perempuan di Indonesia ditandai dengan munculnya
beberapa tokoh perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti:
Kartini, Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi
kondisi perempuan di lingkungannya. Perlu dipahami bila model gerakan Dewi
Sartika dan Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan
mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil, karena baru sebatas
itulah yang memungkinkan untuk dilakukan di masa itu. Sementara Cut Nya’ Dien
yang hidup di lingkungan yang tidak sepatriarkhi Jawa, telah menunjukkan
kesetaraan dalam perjuangan fisik tanpa batasan gender. Apapun, mereka adalah
peletak dasar perjuangan perempuan kini. Sejarah kadang-kadang membangun
sungainya sendiri, ia mengalir dari aliran yang berbeda dari hulunya, dengan
segala cerita yang kemudian berkembang menjadi penafsiran yang meluas tapi
kadang kehilangan substansi atas pemaknaan bagaimana sejarah terjadi.
Hari
Ibu 22 Desember, adalah salah satu contoh besar bagaimana arus sungai sejarah
kehilangan maknanya dan menemukan makna baru, makna yang awalnya adalah
diperingati sebagai “Hari dimana perempuan memperoleh ruang keterlibatan dalam
dialektika masyarakat” dimana arus besarnya pada tahun 1920-an yang lalu adalah
“Keterlibatan pergerakan kemerdekaan dan penentuan posisi perempuan terhadap
diskriminasi patriarki dan prasangka-prasangka gender”.
2.
Pergerakan Perempuan Masa Pra-Kemerdekaan
Sepanjang
tahun 1920-an arus besar sejarah saat itu adalah penyadaran besar-besaran kelas
menengah-intelektual Indonesia terhadap “Pembebasan kolonialisme”
tahapan-tahapan kesadaran itu berawal dari tuntutan membentuk organisasi
pribumi sampai pada puncaknya menuntut kemerdekaan Indonesia yang jelas-jelas
disuarakan pada rapat-rapat politik. Kemerdekaan menjadi wacana yang amat
digandrungi oleh kaum elite-intelektual, dimensi-dimensi kemerdekaan yang
menyedot ke segala lini kehidupan seperti soal-soal ekonomi, politik,
kebudayaan dan pengetahuan menjadi sebuah alat keberpihakan menuju satu tujuan
yaitu : Kemerdekaan Indonesia. Perempuan Indonesia yang saat itu juga mulai
mendapatkan sinar pencerahan atas pengetahuan modern dimulai dalam sebaran buku
Kartini berusaha masuk ke dalam “Ruang Keterlibatan” dalam arus pergerakan
kemerdekaan, lalu diadakanlah Kongres Perempuan Indonesia pada 22 Desember
1928. Isu yang diangkat saat kongres itu masih isu yang mendasar dalam
alam pikiran kaum perempuan Indonesia, seperti peranan perempuan dalam
keluarga, kesadaran gizi bayi-bayi dan penempatan kesehatan ibu sebagai
landasan pembentukan bangsa, namun ada yang paling penting dicatat dalam
kongres itu adalah “Usaha sistematis pergerakan perempuan menjadi bagian paling
penting dalam dinamika politik nasional”. Benih inilah yang kemudian berkembang
menjadi besar namun pada satu saat juga menjadi bencana politik terbesar dalam
sejarah pergerakan perempuan di Indonesia.
Pada
masa Revolusi Kemerdekaan, pergerakan perempuan menjadi lebih bernyali.
Saat itu setiap pertemuan-pertemuan politik selalu melibatkan organisasi
perempuan yang memiliki afiliasi terhadap ideologi politik yang bersangkutan,
gerakan politik menjadi jawaban paling singkat atas pergerakan perempuan
Indonesia.
3.
Pergerakan Perempuan Masa Orla
Di
masa kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan perempuan terbilang cukup dinamis
dan memiliki bergaining cukup tinggi. Dan kondisi semacam ini mulai tumbang
sejak Orde Baru berkuasa. Bahkan mungkin perlu dipertanyakan: adakah gerakan
perempuan di masa rejim orde baru? Bila mengunakan definisi tradisonal di mana
gerakan perempuan diharuskan berbasis massa, maka sulit dikatakan ada gerakan
perempuan ketika itu. Apalagi bila definisi tradisonal ini dikaitkan dengan
batasan a la Alvarez yang memandang gerakan perempuan sebagai sebagai sebuah
gerakan sosial dan politik dengan anggota sebagian besar perempuan yang
memperjuangkan keadilan gender. Dan Alvarez tidak mengikutkan organisasi
perempuan milik pemerintah atau organisasi perempuan milik parpol serta
organisasi perempuan di bawah payung organisasi lain dalam definisinya ini. Namun
definisi baru gerakan perempuan tidak seketat ini, hingga dapat disimpulkan di
masa Orba pun telah muncul gerakan perempuan. Salah satu buktinya adalah
munculnya diskursus seputar penggunaan istilah perempuan untuk menggantikan
istilah wanita.
Gerakan
perempuan di masa rejim otoriter Orba muncul sebagai hasil dari interaksi
antara faktor-faktor politik makro dan mikro. Faktor-faktor politik makro
berhubungan dengan politik gender orba dan proses demokratisasi yang semakin
menguat di akhir tahun 80-an. Sedangkan faktor politik mikro berkaitan dengan
wacana tentang perempuan yang mengkerangkakan perspektif gerakan perempuan masa
pemerintahan Orba. Wacana-wacana ini termasuk pendekatan Women in Devolopment
(WID) yang telah mendominasi politik gender Orba sejak tahun 70-am, juga wacana
femnisme yang dikenal oleh kalangan terbatas (kampus/akademinis) dan ornop.
4.
Pergerakan Perempuan Masa Orba
Sebagaimana
negara-negara berkembang lainnya, pemerintahan Orba diidentikkan dengan
peratutaran yang otoriter yang tersentralisasi dari militer dan tidak
dikutsertakannya partisipasi efektif partai-partai politik dalam proses
pembuatan keputusan. Anders Uhlin berpendapat bahwa selain dominasi negara atas
masyarakat sipil, struktur ekonomi dan politik global, struktur kelas,
pembelahan atas dasar etnis dan agama, maka hubungan gender juga mendukung
kelanggengan kekuasaan rejim Orba. Untuk memahami politik gender ini sangat
penting, menganalisis bagaimana rejim Orba ini berhubungan dengan
hubungan-hubungan gender sejak ia berkuasa setelah persitiwa 1965. Rejim Orba
di bangun di atas kemampuannya untuk memulihkan ketaraturan . Pembunuhan
besar-besaran berskala luas yang muncul digunakan untuk memperkuat kesan di
masyarakat Indonesia bahwa Orla adalah kacau balau dan tak beraturan. Rejim
Orba secara terus-menerus dan sistemis mempropagandakan komunis adalah amoral
dan anti agama serta penyebab kekacauan. Seterusnya Gerwani sebagai bagian dari
PKI juga menjadi alat untuk menciptakan pondasi politik gender yang secara
mendasar mendelegitimasi partisipasi perempuan dalam kegiatan-kegiatan politik.
Kampanye ini ternyata tidak hanya menghancurkan komunis, tetapi juga
menghancurkan gerakan perempuan. Kodrat menjadi kata kunci, khususnya dalam
mensubordinasi perempuan. Orba mengkonstruksikan sebuah ideologi gender yang
mendasarkan diri pada ibusime, sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi
perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan partisipasi perempuan
dalam politik sebagai tak layak. Politik gender ini termasnifestasikan dalam
dokumen-dokumen negara, seperti GBHN, UU Perkawinana No. 1/1974 dan Panca
Dharma Wanita.
Dalam
usaha untuk memperkuat politik gender tersebut, pemerintah Orba merevitalisasi
dan mengelompokkan organisasi-organisasi perempuan yang berafiliasi dengan
departemen pemerintah pada tahun 1974. Organisasi-organisasi ini (Dharma
Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK) membantu pemerintah menyebarluaskan ideologi
gender ala Orba. Gender politik ini telah diwarnai pendekatan WID sejak tahun
70-an. Ini dapat dilihat pada Repelita kedua yang menekankan pada “partisipasi
populer” dalam pembanguan, dan mengkonsentrasikan pada membawa perempuan supaya
lebih terlibat pada proses pembangunan. Di bawah rejim otorioter, implikasi
politik gender ini ternyata sangat jauh, tidak sekedar mendomestikasi
perempuan, pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga telah menggunakan
tubuh perempuan sebagai instrumen-instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Ini
nampak pada program KB yang dipaksanakan untuk “hanya” perempuan dengan ongkos
yang tinggi, yang khususnya dirasakan oleh perempuan kalangan bawah di
pedesaan. Ringkasnya politik gender Orba telah berhasil membawa perempuan
Indonesia sebagai kelompok yang homogen apolitis dan mendukung peraturan
otiritarian.
5.
Gerakan Perempuan Masa Reformasi
Bila
sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi
pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan
perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah
berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah
jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, justru ada
penurunan di banding masa-masa akhir rejim orba. Namun, secara kualitatif,
peran perempuan itu semakin diperhitungkan juga di pos-pos strategis, seperti
yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk
menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin
terperbaiki. Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan
di sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi
perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap
perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih berbasis
kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan
budaya (termasuk dalam rumah tangga), maka kini diperlengkap dengan basis
industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas. Setidaknya
di bidang perundangan, Indonesia mempunyai UU Penanggulangan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, UU Trafficking, UU Partai Politik
dan Pemilu, UU Kewarganegaraan, UU Pornografi, rencana revisi UU Perkawinan,
dan lain-lain.
Setidaknya
di bidang perundangan, Indonesia mempunyai UU Penanggulangan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, UU Trafficking, UU Partai Politik
dan Pemilu, UU Kewarganegaraan, UU Pornografi, rencana revisi UU Perkawinan,
dan lain-lain. Meski demikian, beberapa perundangan tersebut masih memerlukan
kajian gender yang lebih mendalam, terutama soal implementasi di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar