Minggu, 07 Desember 2014

6. Responding Paper Gender Dalam Agama Yahudi Gender Perspektif Yahudi

Ahmad Fauzi
1112032100055
Perbandingan agama (B)
Responding Paper Gender Dalam Agama Yahudi
Gender Perspektif Yahudi
Dalam tradisi Yahudi, perempuan di satu sisi digambarkan sebagai mahluk yang kuat, baik dan sopan, seperti: Batsheba sebagai perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi perempuan, Ruth seorang yang terpandang dan Esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa perempuan merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan. Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya /kotornya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan dalam Talmud, ada teks doa: “saya berterimakasih pada-Mu Tuhan, karena tidak menjadikanku perempuan.”
Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran.
Gender dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominasi laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap sebagai suatu kebenaran. Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak manusiawi ini.Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari surga.
Seperti halnya dalam hukum waris agama Yahudi bahwa anak laki-laki lah yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertua lah yang lebih utama, dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang lain. Sedangkan anak perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan. Dalam hukum perkawinan agama Yahudi poligami diharuskan dan jumlahnya tidak dibatasi, karena tidak terdapat larangan dan batasan untuk itu. Kedudukan seorang istri atau anak perempuan berdasarkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya sebagai anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berhak membeli ataupun menjual. Semua harta bendanya menjadi milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya.  Disamping itu, kaum wanita sebagai istri wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat.
Dalam kehidupan Yahudi Kontemporer, keberadaan gender menjadi salah satu kunci penting untuk memahami peran fundamentalisme, yang berdampak pada konstruksi identitas perempuan yahudi, budaya yahudi, dan kehidupan perempuan yahudi.Contemporary social scientists assume that while certain aspect of sexuality are biologically determined, gender roles are constructed by societies.(Ilmuwan sosial kontemporer mengasumsikan bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari seksualitas secara biologis ditentukan, peran gender yang dibangun oleh masyarakat).
Dalam upaya membangun tatanan baru dunia, pejuang Feminis Yahudi dan Kristen, berusaha melakukan koreksi terhadap dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan dari wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi feminis, sebagaimana yang muncul di Inggris sejak abad ke-17. Teologi feminis berupaya membaca ulang teks suci dari perspektif perempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan harkat dan martabat perempuan.
Para Pendeta Yahudi telah memberikan sembilan kutukan yang dibebankan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam & Hawa:  "Kepada wanita Tuhan memberikan sembilan kutukan dan kematian; beban berupa darah menstruasi dan darah keperawanan, kehamilan, kelahiran, membesarkan anak, penutupan kepala dalam dalam berkabung, menjadi budak ang melayani tuannya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah itu semua adalah kematian."
Hingga saat ini, orang Yahudi Ortodoks, dalam setiap kali berdo'a mengatakan, "Terimakasih Kepada Tuhan, Raja Alam Semesta, Yang tidak  menjadikan kami seorang wanita".
Pandangan Tokoh-tokoh Yahudi tentang Gender
Berbicara mengenai gender berarti membicarakan peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuandalam masyarakat. Hubungan laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah hubungan antara umat manusia. Apapun yang baik dalam hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lain, adalah baik dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan menghindari ketidakadilan gender (gender inequalities).  Baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, tetapi ia menjadi persoalan karena perbedaan gender ini seringkali menimbulkan ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender dimaksud adalah stereotipe, marjinalisasi,diskriminasi, tindak kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan relasi laki-laki dan perempuan yang adil dan harmonis.
Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan antara kaum laki-laki  dan kaum perempuan  adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu ketika mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. Karena sudah jelas bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa, dan tidak bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.
Tokoh berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita. “
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4 Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang "The Feminine Mystique". Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam masyarakat industri. Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak wanita.
Buku Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan Freidan pun digadang-gadang menjadi pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad 18.
Teori yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.
Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik;
“Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringankan beban ganda perempuan (keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?” 

Dalam buku The Book of Hiding Gender Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limitdikatakan: Although some may view the Christian Coalition as an extreme example, it represents a much more common tendency in contemporary culture—both within and without the academy—to conceive of biblical literature primarily as moral literature, that is, as literature that provides role models and guidelines for how to live one’s life, socially, sexually, spiritually, and so on. With regard to the book of Esther, this tendency is clearly and poignantly evident in the passage from Sedgwick. And we must not forget that, although it is primarily in non-Jewish interpretive circles that one finds moralistic repudiations of the Jewishness of the text, both Jewish and Christian traditions have used Esther to shore up normative representations of women as objectively beautiful, passive, obedient (Meskipun beberapa mungkin melihat Koalisi Kristen sebagai contoh ekstrim, itu merupakan kecenderungan yang jauh lebih umum dalam budaya kontemporer  dan tanpa akademi untuk memahami sastra Alkitab terutama sebagai sastra moral, yaitu, sebagai sastra yang memberikan model peran dan pedoman cara hidup seseorang, secara sosial, seksual, spiritual, dan sebagainya. Berkenaan dengan kitab Ester, kecenderungan ini jelas dan pilu jelas dalam bagian dari Sedgwick. Dan kita tidak boleh lupa bahwa, meskipun terutama di kalangan non-Yahudi penafsiran bahwa orang menemukan repudiations moralistik Keyahudian dari teks, baik tradisi Yahudi dan Kristen telah digunakan Esther untuk menopang representasi normatif perempuan sebagai obyektif cantik, pasif, patuh, rela berkorban. Artinya Ester ini memandang perempuan sebagai objek normative yang memiliki karakteristik seperti telah disebutkan diatas, dan ia menyatakan demikian karena berlandaskan apa yang telah tertulis dalam Bible sebagai sumber ajaran moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar