Ahmad Fauzi
1112032100055
Perbandingan agama (B)
Responding Paper Gender Dalam Agama Yahudi
Gender Perspektif Yahudi
Dalam tradisi Yahudi, perempuan di satu
sisi digambarkan sebagai mahluk yang kuat, baik dan sopan, seperti: Batsheba
sebagai perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi perempuan, Ruth seorang
yang terpandang dan Esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi
Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa perempuan merupakan asal mula dosa dan juga
melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan
harus melahirkan dalam kesakitan. Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari
selebihnya dianggap kotor dan tidak suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa
gelap atau diasingkan dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari
dianggap kotor apabila anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa
tidak sucinya /kotornya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa tidak
sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan
dalam Talmud, ada teks doa: “saya berterimakasih pada-Mu Tuhan, karena tidak
menjadikanku perempuan.”
Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai
posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini
menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh
laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran.
Gender dalam pandangan Kitab Suci
Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat dengan pandangan tentang
Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum. Pandangan Allah
sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominasi laki-laki,
sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan laki-laki.
Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang menggeser
perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Pranata kehidupan
yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap sebagai suatu kebenaran.
Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata
kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II
Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat
sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata
kehidupan tidak manusiawi ini.Dalam pandangan Yahudi,
martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah
sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari surga.
Seperti halnya dalam hukum waris agama
Yahudi bahwa anak laki-laki lah yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya.
Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertua lah yang lebih utama, dan
memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang lain.
Sedangkan anak perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak
menerima warisan. Dalam hukum perkawinan agama Yahudi poligami diharuskan dan
jumlahnya tidak dibatasi, karena tidak terdapat larangan dan batasan untuk itu.
Kedudukan seorang istri atau anak perempuan berdasarkan hukum Yahudi adalah
lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli
oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya
sebagai anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berhak membeli ataupun
menjual. Semua harta bendanya menjadi milik suaminya. Istri tidak berhak
memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya. Disamping itu,
kaum wanita sebagai istri wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik
yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat.
Dalam kehidupan Yahudi Kontemporer,
keberadaan gender menjadi salah satu kunci penting untuk memahami peran
fundamentalisme, yang berdampak pada konstruksi identitas perempuan yahudi,
budaya yahudi, dan kehidupan perempuan yahudi.Contemporary
social scientists assume that while certain aspect of sexuality are
biologically determined, gender roles are constructed by societies.(Ilmuwan
sosial kontemporer mengasumsikan bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari
seksualitas secara biologis ditentukan, peran gender yang dibangun oleh
masyarakat).
Dalam upaya membangun tatanan baru
dunia, pejuang Feminis Yahudi dan Kristen, berusaha melakukan koreksi terhadap
dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan dari
wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi feminis, sebagaimana yang muncul di
Inggris sejak abad ke-17. Teologi feminis berupaya membaca ulang teks suci dari
perspektif perempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan harkat dan
martabat perempuan.
Para Pendeta Yahudi
telah memberikan sembilan kutukan yang dibebankan kepada wanita sebagai hasil
dosa Adam & Hawa: "Kepada wanita Tuhan memberikan sembilan
kutukan dan kematian; beban berupa darah menstruasi dan darah keperawanan,
kehamilan, kelahiran, membesarkan anak, penutupan kepala dalam dalam berkabung,
menjadi budak ang melayani tuannya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah
itu semua adalah kematian."
Hingga saat ini, orang
Yahudi Ortodoks, dalam setiap kali berdo'a mengatakan, "Terimakasih Kepada
Tuhan, Raja Alam Semesta, Yang tidak menjadikan kami seorang
wanita".
Pandangan Tokoh-tokoh Yahudi tentang
Gender
Berbicara mengenai gender berarti
membicarakan peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuandalam masyarakat.
Hubungan laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah hubungan antara umat
manusia. Apapun yang baik dalam hubungan antara satu manusia dengan manusia
yang lain, adalah baik dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan
menghindari ketidakadilan gender (gender inequalities). Baik bagi
kaum laki-laki maupun perempuan. Perbedaan gender tidak menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, tetapi ia menjadi persoalan karena
perbedaan gender ini seringkali menimbulkan ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk
ketidakadilan gender dimaksud adalah stereotipe, marjinalisasi,diskriminasi,
tindak kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan
relasi laki-laki dan perempuan yang adil dan harmonis.
Menurut Erich Fromm seorang Yahudi,
seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota
Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan antara kaum
laki-laki dan kaum perempuan adalah hubungan antara sebuah kelompok
yang menang dan yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu
ketika mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. Karena sudah jelas
bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak,
tidak merasa, dan tidak bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia
menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab
itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.
Tokoh
berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada
saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda.
Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan
terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan
keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar
meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita. “
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran
wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang
tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai
presiden pertama National
Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk
mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat
maskulin oleh wanita.
Betty
Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4
Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis
feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya
terjadi setelah ia berhasil mengarang "The Feminine Mystique".
Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam
masyarakat industri. Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh
waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak
wanita.
Buku
Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique berubah menjadi
“kitab suci” bagi kaum wanita dan Freidan pun digadang-gadang menjadi pencetus
feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad 18.
Teori
yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan
istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk
menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada
saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani
yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang
berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait
tentang gender.
Namun
sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam
Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang
bermasalah dalam tradisi Yahudi.
Akan
tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia
feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang
yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah
Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari
Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita
bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal
Feminism, Eisenstsein mengkritik;
“Tidak
pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringankan beban ganda perempuan
(keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang
bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini
dilaksanakan?”
Dalam buku The Book of Hiding Gender Ethnicity
Annihilation and Esther Biblical Limitdikatakan: Although some may view
the Christian Coalition as an extreme example, it represents a much more common
tendency in contemporary culture—both within and without the academy—to
conceive of biblical literature primarily as moral literature, that is, as
literature that provides role models and guidelines for how to live one’s life,
socially, sexually, spiritually, and so on. With regard to the book of Esther,
this tendency is clearly and poignantly evident in the passage from Sedgwick.
And we must not forget that, although it is primarily in non-Jewish
interpretive circles that one finds moralistic repudiations of the Jewishness
of the text, both Jewish and Christian traditions have used Esther to shore up
normative representations of women as objectively beautiful, passive, obedient
(Meskipun beberapa mungkin melihat Koalisi Kristen sebagai contoh ekstrim, itu
merupakan kecenderungan yang jauh lebih umum dalam budaya kontemporer dan
tanpa akademi untuk memahami sastra Alkitab terutama sebagai sastra moral,
yaitu, sebagai sastra yang memberikan model peran dan pedoman cara hidup
seseorang, secara sosial, seksual, spiritual, dan sebagainya. Berkenaan dengan
kitab Ester, kecenderungan ini jelas dan pilu jelas dalam bagian dari Sedgwick.
Dan kita tidak boleh lupa bahwa, meskipun terutama di kalangan non-Yahudi
penafsiran bahwa orang menemukan repudiations moralistik Keyahudian dari teks,
baik tradisi Yahudi dan Kristen telah digunakan Esther untuk menopang
representasi normatif perempuan sebagai obyektif cantik, pasif, patuh, rela
berkorban. Artinya Ester ini memandang perempuan
sebagai objek normative yang memiliki karakteristik seperti telah disebutkan
diatas, dan ia menyatakan demikian karena berlandaskan apa yang telah tertulis
dalam Bible sebagai sumber ajaran moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar